JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung terus menggali keterangan soal kasus kredit macet PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN) Pembiayaan Maritime terkait kasus dugaan korupsi pengucuran kredit Rp1,3 triliun ke PT Meranti Maritime dan PT Meranti Bahar, anak usaha Meranti Group. Penyelidikan dugaan korupsi ini karena ada indikasi ‎mark up dalam pengucuran kredit untuk membeli tiga kapal yakni KM Kayu Putih, KM Kayu Ramin dan KM Kayu Eboni.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah mengatakan kasus ini masih dalam tahap penyelidikan. Tim jaksa tengah mengumpulkan keterangan dari sejumlah pihak. Dan hingga kini pihak PANN, BUMN bidang pembiayaan kapal, itu telah dimintai keterangan soal pemberian fasilitas kredit ini.

"Sudah ada tujuh orang kami minta keterangan terkait penyelidikan PT PANN ini, semua dari PANN," kata Arminsyah di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (28/4).

Armin enggan menjelaskan kasus ini lebih jauh dengan dalih masih penyelidikan. Dia mengatakan penyelidikan ini menyangkut adanya kucuran kredit untuk membeli tiga buah kapal sejak 2011 hingga 2015.

Kasus ini mencuat setelah adanya perkara Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Meranti Maritime dan PT Meranti Bahari di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2015. Kedua perusahaan itu diketahui dalam kesulitan keuangan. Dan ternyata utang terbesar kepada PT PANN yang jumlahnya mencapai Rp1,3 triliun. Sementara untuk membayar kewajibannya, kedua perusahaan tersebut hanya memiliki aset senilai Rp150 miliar.

Lalu pada Selasa (26/1) sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat bernama Kawal Uang Rakyat (LSM KURI), Selasa (26/1), ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KURI melaporkan bahwa adanya Dugaan Tindak pidana Korupsi pemberian kredit dari PT PANN pembiayaan Maritime kepada PT Meranti Maritime dan PT Meranti Bahari dengan total kerugian Negara sekitar Rp1,3 triliun.

KURI mendesak KPK memeriksa direksi PT PANN Pembiayaan Maritime yakni Suhardono (Presiden Direktur), Herry S. Soewandi (Direktur Keuangan), Libra Widiarto (Direktur Operasional) serta Direktur sekaligus pemilik PT Meranti Maritime dan Meranti Bahari, Henry Djuhari.

DUGAAN MARK UP - Kasus ini bermula pada 10 Februari 2011. Saat itu masih bernama PT PANN Multi Finance mengucurkan kredit kepada perusahaan Group PT Meranti Maritime untuk pengadaan kapal KM Kayu Putih melalui sewa guna usaha. Namun dalam perjalanannya Kapal KM Kayu Putih ternyata tidak layak jalan dan tak dapat beroperasi.

Pembayaran kreditnya akhirnya macet. Lalu Kapal KM Kayu Putih ini dikembalikan dalam kondisi tidak baik. Saat itu utangnya tercatat yang belum dibayar kepada PT PANN US$18 juta dan Rp21 juta dengan jatuh tempo pembayaran 2015.

PT Meranti Bahari, anak perusahaan dari PT Meranti Maritime mendapat kucuran kredit dari PT PANN untuk membiayai pengadaan kapal KM Kayu Ramin US$27 juta dan Kapal KM Kayu Eboni sebesar US$27 juta pada 2010. Dan yang dijadikan jaminan hanya kapal yang dibiayai tersebut tidak jaminan lainnya.

Setiap kali memberi kecuran kredit, PANN Pembiayaan Maritime tidak mengikat dengan jaminan (agunan) kecuali hanya kapal yang dibiayai tersebut dimana nilai keekonomiannya kondisinya sudah menurun. Meski pembiayaan yang diberikan kepada Meranti Group macet, PT PANN Pembiayaan Maritime memberikan kredit baru kepada PT Meranti Bahari sebesar US$9,18 juta.

Kredit tersebut dikucurkan untuk pengoperasian kapal KM Kayu Putih yang sudah dikembalikan PT Meranti Maritime kepada PT PANN Pembiayaan Maritime. Bahkan 2015 setelah itu PT PANN Pembiayaan Maritime kembali mengucurkan dana talangan tunai sebesar US$4 juta untuk operasional PT Meranti Maritime.

Dari sini dugaan muncul dugaan adanya tindak pidana sebab pemberian dana talangan oleh PANN Pembiayaan Maritime diduga telah melanggar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor: 29/POJK.05/2014 tentang Penyelengaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan mengenai larangan pemberian dana talangan. Dalam Pasal 52 Ayat (1) disebutkan "Dalam melakukan kegiatan usaha, perusahaan pembiayaan dilarang melakukan pembiayaan secara dana tunai kepada debitur".

Atas kasus tersebut, Direktur Eksekutif Kawal Uang Rakyat Indonesia (KURI) Leonardus Pasaribu menduga telah terjadi persekongkolan yang sangat sistematis dalam mengemplang uang negara dengan modus pemberian fasilitas pembiayaan pengadaan kapal oleh PT PANN Pembiayaan Maritim kepada dua perusahaan Meranti Group senilai Rp1,3 triliun, termasuk dana talangan.

Modusnya, PT PANN akan mengajukan tagihan kepada PT Meranti Bahari melalui permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tapi tujuannya mengemas seolah-olah antara PT PANN dengan PT Meranti Maritime dan PT Meranti Bahari hanya masalah kredit macet biasa.

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, seorang debitur diizinkan menawar pengurangan pembayaran hutangnya kepada kreditur atau inisiatif debitur. Dengan memintakan proses ini kepada pengadilan artinya seolah-seolah PT PANN sudah melakukan upaya penagihan kepada PT Meranti.

Sementara dalam kasus ini, Kejaksaan Agung sendiri menemukan dugaan mark up pemberian fasilitas keuangan negara untuk pembelian kapal yang dilakukan oleh PT Meranti Maritime dan PT Meranti Bahari. "Penyilidikannya seputar mark up pemberian kredit untuk pembelian tiga kapal tadi," kata Arminsyah.

BACA JUGA: