JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pengesahan beleid yang tenar dengan sebutan Perppu Kebiri itu, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada anak dengan cara memberatkan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana perkosaan.

Bentuk pemberatan itu adalah dengan melakukan pengebirian secara kimiawi kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Tujuannya agar yang bersangkutan bisa mengendalikan keinginan seksualnya untuk melakukan perkosaan terhadap anak. Dalam Perppu itu, pengebirian kimiawi (chemical castration) dilakukan setelah perkara yang bersangkutan berkekuatan hukum tetap.

Meski sudah disusun dengan sangat hati-hati, pasal pengebirian ini tetap saja menimbulkan kontroversi. Para aktivis hak asasi manusia (HAM) menilai Perppu Kebiri bertentangan dengan dengan kewajiban negara untuk  memajukan hak asasi manusia.

"Metode hukuman kebiri kimiawi dan metode hukuman mati merupakan manifestasi bentuk penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia," kata Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Andi Muttaqien dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (28/5).

Andi menyitir pendapat Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan  Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) Wimpie Pangkahila. Menurut Wimpie, kebiri kimia akan merusak dan menganggu  fungsi organ tubuh lain, seperti otot yang mengecil, tulang yang keropos, sel darah merah berkurang, dan fungsi kognitif terganggu. Dengan kata lain, menurut Wimpie, kebiri justru akan  melanggar hak asasi manusia  karena merusak fungsi organ tubuh lain.

Sementara itu, kata Andi, bentuk pemberatan lainnya yaitu penetapan hukuman mati untuk pelaku bertentangan dengan komitmen politik pemerintah untuk menerapkan hukuman mati sebagai pidana alternatif sepertinya yang terumuskan dalam Rancangan KUHP dan akan menambah jumlah terpidana yang masuk dalam fenomena deret kematian (death row phenomenon). "Penetapan hukuman kebiri dan hukuman mati bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk melindungi warga negara untuk bebas dari ancaman dari segala bentuk penyiksaan dan  penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia," terangnya.

Larangan ini tercantum dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, Konvensi Anti Penyiksaan, dan Konvensi Hak Anak yang keseluruhan instrumen ini telah diratifikasi oleh Pemerintah. Hal ini juga bertentangan dengan hak konstitusi warga negara, karena Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Konstruksi norma sebangun juga terdapat pada Pasal 4  dan Pasal 33 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Andi menilai, tujuan penjeraan yang melandasi dikeluarkannya Perppu Kebiri tidak menyasar akar permasalahan munculnya kekerasan seksual, yakni keinginan untuk mendominasi dan menundukkan anak dan perempuan melalui manifestasi instrumen dan operasional budaya patriarkhi. "Dengan kata lain, pola pikir yang memengaruhi hasrat seksual tidak teratasi dengan memberikan hukuman kebiri kepada pelaku," kata Andi.

Selain itu, belum ada kajian yang dapat menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif dan berkorelasi secara positif untuk menekan tindakan kekerasan seksual. Lebih jauh, pemberatan hukuman melalui kebiri yang bertujuan menciptakan efek jera dan balas dendam (pendekatan retributif) sudah semakin ditinggalkan. "Kini upaya tersebut diarahkan untuk merehabilitasi pelaku," ujarnya.  

Permasalahan lain yang perlu mendapatkan catatan, penghukuman kebiri juga tidak mempertimbangkan aspek cost benefit analysis karena hukuman ini  memiliki dampak secara ekonomi karena harus mengalokasikan anggaran untuk menerapkannya. Andi kemudian menyitir pendapat spesialis urologi Dr. Arry Rodjani, SpU.

Arry mengatakan, pemberian obat membutuhkan biaya mulai Rp700 ribu–Rp1 juta  untuk sekali penggunaan dan jangka waktu 1-3 bulan. Sementara, angka kekerasan seksual terhadap anak cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Melihat fakta tersebut, kata Andi, semestinya pemerintah lebih mencurahkan sumber daya yang tersedia untuk membangun kerangka kebijakan yang diorientasikan kepada pemulihan hak-hak korban (victim oriented). Upaya pemulihan ini merupakan bentuk kompensasi dari negara yang teah gagal menciptakan mekanisme perlindungan yang efektif terhadap anak dari kekerasan seksual.

Karena itulah, ELSAM mendesak DPR untuk menolak Perppu Kebiri menjadi undang-undang. "Perppu ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hak asasi manusia, prinsip rule of law, tatanan negara demokratis,  dan tidak berperspektif terhadap korban," pungkasnya.

TAK JAMIN EFEK JERA - Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, pihak meragukan keluarnya Perppu Kebiri dilakukan berdasarkan analisis dan kajian yang tepat terhadap persoalan kekerasan seksual di Indonesia khususnya yang terjadi terhadap anak. "ICJR mencatat beberapa kelamahan penting Perppu ini," katanya kepada gresnews.com, Sabtu (28/5).

Pertama, dalam pertimbangan Perppu ini, pemerintah menyatakan secara jujur bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu segera mengubah UU Perlindungan Anak. Pertimbangan ini kurang lebih merupakan alasan sama ketika UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Kedua Regulasi tersebut berada pada spektrum yang sama yaitu menitik beratkan pada pemberatan pidana, efek jera dan pencegahan komprehensif," kata Supriyadi.

Namun, kata dia, sampai saat ini ICJR tidak menemukan kajian, analisis, serta evaluasi terkait penerapan UU No 35 Tahun 2014 sehubungan dengan efek jera yang ingin ditimbulkan dan persoalan kejahatan seksual terhadap anak. ICJR juga tidak dapat menemukan informasi persoalan peradilan pidana yang menyangkut anak yang melatarbelakangi disahkannya Perppu ini, tidak jelas pula apa yang dimaksud pemerintah dengan pencegahan yang komprehensif.

"Alasannya sederhana, sebab didalam Perppu ini, justru tidak ditemukan apa pun mengenai pencegahan yang komprehensif, pendekatan satu-satunya adalah pendekatan pidana, tidak ada pendekatan lain semisal keluarga, sosial, psikologis dan lingkungan," terangnya.

Kedua, pemerintah secara jelas tidak memahami masalah di lapangan khususnya masalah penegakkan hukum pidana. Pencegahan komprehensif sebagaimana dimaksudkan dalam Perppu ini hanya menyasar kejahatan yang diatur dalam UU Pelrindungan anak, lebih Spesifik Pasal 76D dan 76E tentang Persetubuhan dan Percabulan dengan anak.

Perppu ini malah tidak menjawab persoalan Kejahatan Perdagangan Orang dan eksploitasi seksual yang melibatkan anak, Kekerasan dalam Rumah Tangga, kasus pedofil yang memanfaatkan regulasi dispensasi perkawinan dengan anak dan kasus-kasus lainnya di luar lingkup Pasal 76D dan 76E UU Perlindungan anak.

Ketiga, pemberatan pidana dalam Perppu ini sangat emosional namun tanpa perumusan hukum yang rasional dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Pidana minimum khusus masih dipertahankan, kali ini, minimal dapat mencapai 5 sampai 10 tahun penjara. Pidana maksimal mencapai 15 tahun sampai 20 tahun dengan beberapa syarat.

Selain itu, Pemerintah juga memperberat 1/3 dari pidana tersebut dalam beberapa kondisi semisal pengulangan tindak pidana dan pidana dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya dan seharusnya melindungi anak. "Tidak jelas apakah pemberatan bisa dilakukan dua kali atau hanya satu kali," kata Supriyadi.

Keempat, Perppu ini memperkenalkan konsep tindakan, ada dua tindakan yaitu kebiri dan pemasangan chip. Supriyadi mengatakan, kebiri kimiawi tidak pernah diatur di hukum Indonesia. Demikan pula dengan pemasangan chip. ICJR mempertanyakan, apakah apakah posisi pemasangan cip dan pelaksanaan kebiri kimiawi betul merupakan tindakan?

Sejauh ini dalam Rancangan KUHP yang disebut sebagai tindakan adalah jika tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau disabilitas mental. "Singkatnya, pidana pokok dan tindakan tidak dapat dijatuhkan bersamaan," kata Supriyadi.

Karena itu dia melihat, perumusan Perppu No 1 Tahun 2016 bisa jadi tidak melalui proses harmonisasi yang memadai sehingga pengaturan  pemasangan chip dan kebiri kimiawi menjadi tidak rasional untuk dijadikan sebagai salah satu jenis sanksi. Sayangnya, pengaturan pemidanaan yang dianut dalam Perppu No 1 Tahun 2016 semakin membuat pengaturan pidana di Indonesia menjadi amburadul karena pengaturan harmonisasi yang berantakan.

Kelima, terkait pemasangan chip, sebelumnya tidak satupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengenal istilah "chip" bahkan penjelasannya tidak ditemukan dalam Perppu ini. Satu-satunya petunjuk adalah pemasangan chip dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok, apabila terkait pebuatan cabul atau dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok apabila terkait persetubuhan dengan anak.

Tidak dijelaskan apa fungsi dari chip ini, apabila maksudnya untuk melacak keberadaan orang yang dipasangi chip, maka aneh apabila chip dipasang selama terpidana menjalani pidana pokok. "Pemasangan chip ini pada dasarnya lebih mirip mekanisme teknis daripada tindakan," katanya.

Dari beberapa hal itu, menurut ICJR, Perppu ini tidak akan dapat secara efektif menekan angka kejahatan seksual termasuk kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia. "Perppu ini menunjukkan bahwa politik hukum pidana yang dianut pemerintah tidak berdasarkan kajian dan alasan yang rasional namun mendasarkan pada alasan-alasan yang emosional," tegas Supriyadi.

Yang paling mengkhawatirkan, kata dia, Perppu Kebiri ini menjadi juga dapat menjadi dasar untuk membuka lebih luas peluang korupsi di dalam sistem peradilan pidana karena persoalan penegakkan hukum yang lebih krusial untuk diatur justru tidak ditemukan pengaturannya. "Posisi korban juga semakin lemah karena pengaturan rehabilitas yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual tidak diatur dalam Perppu ini," pungkasnya.

KPAI DUKUNG PEMERINTAH - Terkait sikap para pegiat HAM yang menolak Perppu ini dengan alasan melanggar HAM, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Erlinda mengatakan, hukuman yang diperberat dalam Perppu Kebiri dibuat untuk memenuhi rasa keadilan para korban.

"Hukuman mati, kebiri melanggar HAM. Tolong titip pesan kepada mereka, kami hargai mereka tetapi tolong dilihat tidak hanya bagian A dan B saja tetapi juga I dan J. HAM dibatasi oleh hak asasi orang lain dalam hal ini undang-undang. Nah anak-anak itu memiliki undang-undang, mereka harus dilindungi," ujar Erlinda.

Keputusan pemerintah kata Erlinda dalam pemberatan hukuman jangan dilihat dari satu sudut pandang. Perppu itu juga menjadi jalan masuk untuk revisi UU Perlindungan Anak.

"Pemerintah katakan ada hukuman tambahan ada hukuman pemberatan yaitu hukuman kebiri termasuk hukuman pokok diganti hukuman mati. Tolong lihat sisi lainnya, Kami berharap hal ini diujikan setelah dilakukan pelaksanaan, Perppu itu pintu terbang untuk revisi perlindungan anak kedua," paparnya.

Dia menjelaskan kebiri dan hukuman mati diberikan sesuai kriteria tindak pidana kekerasan seksual. Jangan lagi ada polemik yang menganggu rasa keadilan korban.

"Kebiri itu paling akhir jika dipenuhi sesuai dengan kriteria-kriterianya, sehingga tolong yang di luar sana jangan berpolemik dan buat gaduh. Karena rasa keadilan korban bisa terluka kembali, berempati pada keluarga korban yang sudah meninggal. Mereka juga merasak sakit yang luar biasa,"

Pihaknya akan mengawal kasus ini tidak hanya pada penanganan kasus tetapi sampai penegakan hukum. Termasuk pemulihan psikologis dari korban tersebut.

"Revisi perlindungan anak tidak hanya sampai pada penanganan kasus tetapi juga penengakan hukum. Termasuk juga optimaliasi pencegahan di level pemerintahan pusat maupun daerah. Fakta membuktikan pemicu hal ini akibat anak-anak Indonesia tidak mendapatkan pendidikan formal sehingga mereka menjadi tertinggal," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: