JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Agama bersikeras menginginkan pembentukan badan resmi sertifikasi halal yang dikelola Pemerintah. Alasannya pembentukan badan resmi sertifikasi halal itu sebagai jaminan perlindungan konsumen oleh negara. Persoalan pembentukan badan khusus inilah yang menjadi penyebab alotnya pembahasan Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal di DPR.    

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama, Abdul Djamil mengatakan pembentukan badan khusus sertifikasi produk halal bertujuan memperjelas tanggung jawab dan badan hukum mengenai sertifikasi produk halal. "Jadi dalam pandangan pemerintah, badan itu di bawah Kementerian Agama dan government. Karena kalau badan itu di bawah government (badan itu punya) legal binding yang jelas," kata Abdul kepada Gresnews.com pada Rabu (27/11).

Abdul menambahkan pembentukan badan resmi pemerintah mengenai sertifikasi halal itu nantinya akan bersinergi dengan LPPOM milik MUI. Meski enggan menjelaskan detail teknis sinerginya, Abdul menyatakan pemberian sertifikasi itu bisa dilakukan bersama dengan LP POM.

Abdul menegaskan usulan membentuk badan resmi sertifikasi halal itu menjadi jaminan perlindungan konsumen oleh negara. Terkait kesiapan pemerintah bila badan itu disetujui DPR, Abdul mengaku sudah siap dengan sumber daya manusianya.

Menurutnya, di Subdirektorat Halal milik Kementerian Agama sudah ada orang-orang yang ahli di bidang penghalalan. Disamping itu keberadaan badan sertifikasi milik pemerintah akan memperkuat fungsi dan tugas dari Subdirektorat Halal Kementerian Agama.

Diungkapkan Abdul, ada dua skema pembentukan badan khusus sertifikasi milik pemerintah itu. Pertama, badan yang berdiri sendiri dibawah Presiden. Kedua, berdiri dibawah Kementerian Agama Republik Indonesia. Pembentukan badan khusus sertifikasi nasional, itu nantinya juga akan berimbas pada anggaran dana untuk badan baru tersebut .

Saat ditanya mengenai besaran anggaran yang ada di Subdirektorat Halal, Abdul menyatakan tidak ingat. "Wah saya lupa, tapi tidak sampai miliaran. Dana itu diberikan untuk membantu organisasi-organisasi sosial yang ada," kata Abdul.

Abdul menambahkan, selama ini Kementerian Agama sudah memberikan bantuan sertifikasi ke-13 provinsi di Indonesia. Masing-masing provinsi itu mendapat bantuan dana pemerintah sebesar Rp 100 juta. Selama ini beberapa produk ekspor Indonesia, terutama produk makanan olahan, ke negara-negara Timur Tengah dituntut untuk memberikan label halal pada produknya. Sehingga dengan adanya jaminan halal itu akan mempermudah proses perdagangan antar negara, selain juga konsumen dalam negeri.

Menyangkut sifat sertifikasi halal itu, Abdul mengatakan pemerintah tetap bersifat sukarela.
"Kalau sifatnya mandatory konsekuensinya ada beberapa produk yang memang dikonsumsi bukan bagi orang Muslim. Seperti daging babi kan tidak perlu diberikan jaminan halal," ujarnya.

Untuk pembiayaan  kegiatan sertifikasi MUI, menurut Abdul,  menerima dana dari Kementerian Agama yang sifatnya bantuan dari Direktorat Bimbingan Masyarakat. Bantuan-bantuan itu diberikan relatif, tergantung dari agenda acara. Abdul juga membantah bila selama ini ada anggaran khusus yang diberikan kepada MUI. Ia mengatakan anggaran dari Kementerian Agama sifatnya sama kepada seluruh Lembaga Sosial Keagamaan.

Senada dengan Abdul Djamil, Kepala seksi Penerapan Standar Kementerian Perdagangan Rully Indrayana menyatakan pihaknya tidak menyepakati jaminan produk halal sebagai sebuah mandatory. "Kita bukan negara Muslim. Ada produk-produk yang khusus dikonsumsi atau digunakan konsumen yang non-muslim. Akan jadi repot kalau sifatnya mandatory," kata Rully kepada Gresnews.com pada Rabu (27/11).

Rully menegaskan perlu ada aturan mengenai Jaminan Produk Halal. Keperluan itu terkait jumlah konsumen Indonesia yang sebagian besar muslim. Menurutnya, dengan ada label jaminan halal akan meningkatkan daya saing sebuah produk. Dengan ada jaminan produk halal maka konsumen tidak ragu untuk membeli sebuah produk.

Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) diajukan oleh pemerintah sejak 2008, namun hingga saat ini belum juga menemukan titik temu antara pemerintah, MUI dan DPR. Menurut DPR kebuntuan dalam proses penggodokan RUU PJH disebabkan belum disepakatinya bentuk badan dan sifat sertifikasi.

Pihak pemerintah yang terdiri dari Kementerian Agama, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian Pertanian, tetap menginginkan  ada pembentukan badan khusus sertifikasi. Sedangkan bentuk sertifikasi yang diinginkan pemerintah bersifat   sukarela.

Namun hingga saat ini pihak MUI masih menolak keberadaan badan khusus sertifikasi itu dan menginginkan ada beberapa produk sertifikasinya  bersifat mandatory. Disisi lain ada organisasi massa seperti Nadhatul Ulama yang ingin diberi kewenangan terlibat dalam badan sertifikasi halal.  

Ketua Komisi VIII DPR, Ledia Hanifah Amaliah menargetkan RUU ini selesai sebelum periode masa kerja DPR berakhir pada Oktober 2014 mendatang. (Mungky Sahid/GN-02)

BACA JUGA: