JAKARTA - Diskresi dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas merupakan hal lazim. Asalkan penerapan diskresi tersebut tidak digunakan oleh "penumpang gelap" untuk membelokkan tujuan peraturan tersebut dibuat. Keputusan Menteri Agama Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal yang dikeluarkan pada tanggal 12 November 2019 memuat kebijakan diskresi yang mengukuhkan kerjasama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH).

Diskresi ini diberlakukan karena sejak pemberlakuan UU JPH tanggal 17 Oktober 2019 hingga saat ini belum ada peraturan menteri keuangan tentang tarif sertifikasi halal, padahal peraturan tarif menjadi salah satu dasar pijakan layanan sertifikasi halal oleh BPJPH. Kekhawatiran kondisi ini akan mengganggu layanan sertifikasi halal menyebabkan lahirnya KMA 982.

Namun KMA 982 itu justru mengundang polemik berbagai kalangan, utamanya Halal Center dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), juga pelaku usaha. LPH-LPH yang rata-rata berasal dari perguruan tinggi negeri dan ormas Islam menilai KMA ini mencederai undang-undang dan peraturan di bawahnya karena mengembalikan monopoli LPPOM MUI. Sedangkan pelaku usaha menilai KMA 982 ini menyebabkan layanan sertifikasi halal menjadi semakin rumit.

Ketua Harian Halal Institute, H. SJ. Arifin menyatakan KMA ini memiliki banyak cacat dan terindikasi ada "penumpang gelap" di dalamnya. "Ini kan persoalan awalnya adalah soal tarif menkeu yang belum keluar, kok tiba-tiba ada penetapan LPPOM MUI sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa halal. Masalah tarif kok melompat jadi soal kewenangan. Ini ada apa sebenarnya?" kata Arifin kepada Gresnews.com, Sabtu (07/12).

Arifin menjelaskan sumber catatan aturan tersebut. "Lihat saja konsideran menimbang huruf b, darimana menteri menyatakan kerjasama BPJPH dengan LPPOM MUI sesuai ketentuan peraturan perundangan. Peraturan yang mana? Kemudian lihat juga putusan diktum kedua huruf c, memberi kewenangan LPPOM MUI, itu dasarnya apa?" ujarnya.

"Itu kan mematikan LPH-LPH yang sudah didirikan PTN, NU, Muhammadiyah dll. Katanya terbuka, kok malah monopoli lagi. Tidak bisa dong kebijakan diskresi tapi melanggar banyak peraturan," ungkapnya.

Menjawab pertanyaan bahwa hingga saat ini baru LPPOM MUI yang sah sebagai LPH, Arifin menjelaskan bahwa persoalan ini harus dikembalikan ke masalah utamanya. Salah satu penyebabnya adalah karena calon auditor halal LPH-LPH belum disertifikasi oleh MUI.

"Kan itu calon-calon auditor sudah lama lulus diklat, kenapa tidak segera disertifikasi oleh MUI. Berarti MUI-nya dong yang belum siap melaksanakan sertifikasi. Ini kan seperti bottle neck, salurannya hanya satu, MUI. Makanya tersumbat. Jadi calon auditor halal yang telah lulus diklat terbengkalai. Kemudian LPH-nya menjadi tidak terakreditasi. Kok saya melihat semuanya berhubungan ya. Mudah-mudahan ini tidak disengaja," katanya.

Mengenai masalah tarif, yakni belum adanya peraturan tentang tarif layanan sertifikasi halal dari menteri keuangan, Arifin menjelaskan bahwa seharusnya dapat diatasi dengan pengusulan kepada menteri keuangan agar kewenangan penetapan tarif layanan sertifikasi halal dapat didelegasikan kepada menteri agama atau kepala BPJPH sebagai BLU, sesuai dengan Pasal 9 ayat (9) dan (10) PP Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Pasal 9 dan 10 Permenkeu Nomor 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum.

"Ini kan sebenarnya persoalan mudah, kenapa jadi berbelit ya. BPJPH sebagai BLU bisa kok menerbitkan tarif sementara. Ini kan malah lari ke mana-mana yang ujungnya adalah monopoli lagi. Semoga Kementerian Agama evaluasi semuanya, tidak mudah ditunggangi kepentingan-kepentingan aktor non-negara," sambungnya.

"Semua pihak harap mengingat, UU JPH ini semangatnya kan membuktikan negara hadir untuk membebaskan dan menjaga rakyat, khususnya umat Islam Indonesia. Kok ada peraturan yang malah menjauhkan rakyat dari negaranya karena diambil alih oleh aktor non-negara. Ini juga bertolak belakang dengan misi yang diberikan presiden pada tiap kementerian yakni untuk memudahkan, memurahkan, dan mencipta lapangan kerja baru. Jangan ada yang terindikasi merusak rencana presiden untuk menyejahterakan rakyat dan umat Islam," pungkasnya. (G-2)

 

BACA JUGA: