JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kendati terjadi pro dan kontra atas penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang pidana tambahan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan tak akan mundur untuk menerapkannya. Bahkan pihak kejaksaan telah menyiapkan teknis pelaksanaannya.

Jaksa Agung Mohammad Prasetyo mengaku tak akan ambil pusing dengan polemik kehadiran Perppu tersebut. Menurutnya, Perppu tersebut diperlukan karena kejahatan seksual terhadap anak-anak termasuk kejahatan luar biasa. Maka penanganannya pun harus dengan tindakan luar biasa.

"Memang ada pro dan kontra tapi kita harus melihat dari sisi korban biar adil, mereka anak kecil kehilangan masa depannya. Bahkan kehilangan nyawa," kata Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jumat (27/5).

Dengan disahkannya Perppu tersebut oleh DPR nantinya tak ada kata menolak untuk tidak melaksanakannya. Kewajiban aparat penegak hukum mulai dari Polri, kejaksaan dan pengadilan untuk menerapkannya saat menangani perkara kekerasan seksual terhadap anak. Meskipun masih dibahas di DPR, jaksa selaku eksekutor mengaku telah menyiapkan teknis pelaksanaannya. Mulai dari penyidikan di kepolisian akan diarahkan untuk menerapkan Perppu ini.

Prasetyo menambahkan penerapan Perppu Kebiri juga tak akan sembarangan. Penyidik akan memilah para pelaku. Bagi pelaku anak-anak akan diperlakukan berbeda dengan orang dewasa.

"Apalagi kalau orang dewasa sudah puluhan kali melakukan, itu tidak ada ampun lagi. Kita hukum maksimal dan hukuman tambahan yakni kebiri dipasang chip dan diumumkan identitasnya ke media massa," jelas Prasetyo.

Seperti diketahui Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi, Rabu (25/5), sebagai respons atas maraknya kejahatan dengan kekerasan terhadap anak-anak perempuan. Pelaku kejahatan ini diperberat hukuman penjaranya menjadi minimal 10 tahun, paling lama 20 tahun dan seumur hidup serta pidana mati. Ketentuan baru ini juga mengatur tentang kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik dan pemasangan alat deteksi elektronik terhadap pelaku berulang.

Perppu ini memperberat hukuman pada Pasal 81 dan Pasal 82 dan menambah Pasal 81 pada UU Perlindungan Anak.

PENOLAKAN DOKTER - Penolakan terhadap Perppu Kebiri datang dari pegiat HAM dan kalangan dokter. Mereka berpendapat pelaksanaan kebiri dinilai melanggar HAM dan melanggar kode etik profesi dokter.

Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Daeng M Fakih berharap dokter tidak dilibatkan sebagai eksekutor suntik kebiri. Dia menawarkan eksekutor bisa menggunakan pihak lain. Sebab suntik kebiri bukan termasuk pelayanan medis melainkan sebuah hukuman.

Menurut dia, kepiawaian menyuntik bisa dipelajari, karenanya eksekutor bisa dilatih sebelum jadi eksekutor. Jadi eksekusi kebiri bukan jadi domain dokter.

Tentu penolakan tersebut bakal menjadi dilema karena selama ini eksekutor pelaksana suntik kebiri akan diserahkan kepada dokter. Namun Jaksa Agung HM Prasetyo meminta dokter untuk tidak takut membantu pelaksanaan eksekusi kebiri atas terpidana pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang sudah divonis oleh pengadilan.

"‎Polisi menyatakan siap membantu pelaksana eksekusi kebiri, tentu dengan adanya ketentuan undang-undang saya pikir dokter pun harusnya tidak perlu takut dan merasa bersalah ketika membantu eksekusi kebiri," katanya di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (27/5).

Dia menjelaskan jika Perppu hukuman kebiri yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo disahkan oleh DPR berarti pelaksana atau eksekutor hukuman kebiri dilindungi undang-undang.

"Jadi dokter tidak perlu harus takut merasa bersalah, ini bukan bagian dari perbuatan tindak pidana, tapi ini perintah undang-undang," jelasnya.

OPTIMALKAN PERAN AGAMA -  Sementara itu Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar menilai tindak kejahatan seksual terhadap anak tidak bisa hanya ditangani oleh penegakan hukum. Dia menilai pembinaan dari tokoh-tokoh masyarakat khususnya tokoh agama merupakan poin penting dalam memerangi tindak pidana tersebut.

"Kita enggak bisa menggantungkan pada penegakan hukum saja tapi harus bisa memberikan perlindungan lebih kepada anak. Tokoh agama, orang tua, harus ikut andil dalam membina warga," kata Boy di Jakarta, Jumat (27/5).

"Nilai-nilai agama harus diperkuat. Kami ingin anak-anak dari kampung dan desa bisa tersentuh nilai-nilai agamanya. Sehingga diharapkan dia tetap berperilaku yang tidak menyimpang dengan nilai agama," timpalnya.

Hal senada disampaikan oleh Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda. Bukan hanya pemerintah melainkan semua pihak termasuk orang tua juga harus ikut bagian memberantas tindak pidana kejahatan terhadap anak tersebut. KPAI dan Polri mencatat hampir 50 persen anak-anak di berbagai daerah di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual.

"Harus dibenahi pola asuh dari keluarga dan lingkungan pendidikan. Ini peran-peran para stakeholder," pungkas Erlinda.

BACA JUGA: