JAKARTA, GRESNEWS.COM - Japin dan Vitalis Andi, dua orang anggota masyarakat adat Dayak di Silat Hulu, Ketapang, Kalimantan Barat, bisa kembali bernapas lega. Mahkamah Agung lewat putusannya hari ini, Senin (5/10), mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang mereka ajukan.

"Putusan ini sekaligus membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2292 K/Pid.Sus/2011 dan merehabilitasi nama para terpidana dan memulihkan hak-hak para terpidana dalam kedudukan, harkat dan martabatnya," kata Koordinator Public Interest Lawyer Network (PILNET) Andi Muttaqien yang menjadi kuasa hukum Japin dan Andi dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Senin (5/10).

Japin dan Andi terpaksa menjadi pesakitan karena tersangkut kasus menghambat usaha perkebunan. Kasus ini bermula ketika masyarakat hukum Adat Dayak Silat Hulu berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit PT Bangun Nusa Mandiri (BNM) yang merupakan anak perusahaan Sinar Mas Group. Konflik bermula pada April 2008, ketika PT BNM melakukan penggusuran dan perusakan wilayah adat Silat Hulu seluas 350 hektare.

Areal yang digusur adalah areal perladangan, kebun karet, kebun buah-buahan, dan dua buah kuburan yang merupakan kawasan milik masyarakat Dayak Silat Hulu. Atas penggusuran dan perusakan ini, masyarakat adat Dayak Silat Hulu pun melakukan perlawanan dan menyita alat berat milik PT BNM.

Perusahaan pun melawan dan melaporkan masyarakat ke Polisi. Selanjutnya Vitalis Andi dan Japin diproses hukum karena dianggap melakukan tindak pidana mengganggu jalannya usaha perkebunan. Mereka didakwa melanggar Pasal 21 jo. Pasal 47 UU Perkebunan.

Japin dan Vitalis Andi selanjutnya ditangkap, diadili dan dinyatakan bersalah melakukan perbuatan mengganggu jalannya usaha perkebunan. Pada tingkat pertama, keduanya dipidana penjara selama 1 tahun oleh Pengadilan Negeri Ketapang.

Keduanya kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Pontianak, namun putusan PT Pontianak malah menguatkan putusan PN Ketapang. Mereka kemudian mengajukan kasasi ke MA. Malangnya, lagi-lagi MA menguatkan putusan dua pengadilan di bawahnya, sehingga kemudian mereka mengajukan Peninjauan Kembali.

JALAN PANJANG MENCARI KEADILAN - Jalan kedua anggota masyarakat adat Dayak Silat Hulu untuk memperjuangkan keadilan ini memang tidaklah mudah. Sebelum mengajukan peninjauan kembali, mereka terlebih dulu mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 21 dan Pasal 47 UU Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

Pasal 21 UU Perkebunan menyatakan: "Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan".

Selanjutnya, ketentuan Pasal 47 UU Perkebunan menyatakan:

(1) "Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)";

(2) "Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)".

Japin dan Andi melayangkan uji materi atas pasal-pasal tersebut bersama dua pemohon lain yang juga mengalami nasib serupa yaitu Sakri dan Ngatimin. "Pasal-Pasal UU Perkebunan itu membuka ruang bagi perusahaan perkebunan untuk mengeksploitasi lahan rakyat secara besar-besaran," kata kuasa hukum pemohon, Wahyu Wagiman, ketika itu.

Wahyu juga menegaskan, UU tersebut juga dapat memidanakan yang kebanyakan petani yang memperjuangkan hak-haknya. "Karena tidak ada pengaturan luas maksimum dan minimum tanah untuk lahan perkebunan, yang menimbulkan adanya konsentrasi hak penggunaan tanah yang berlebihan oleh perusahaan," katanya.

Menurut Wahyu, dengan bekal hak guna usaha, perusahaan kerap menggusur masyarakat adat atau petani di sekitar lahan perkebunan. Akibatnya, masyarakat adat dan petani itu tak lagi bisa mengakses tanah yang telah turun temurun mereka kuasai, atau bahkan kehilangan lahannya.

Dia juga mengatakan, UU Perkebunan ini juga memberi ancaman pidana bagi pelanggar beleid tersebut. Masalahnya, rumusan larangannya tidak jelas dan terperinci, sehingga berpeluang disalahgunakan untuk mempidanakan petani.

"Bahkan menginjak rumput perusahaan saja, petani bisa dipidana lima tahun penjara," katanya.

Akibat UU ini, berdasarkan data dari lembaga swadaya masyarakat Sawit Watch, terjadi 514 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan petani pada 2007, 576 kasus pada 2008, dan 604 kasus pada 2009. Sedangkan di semester pertama 2010 tercatat telah ada 608 kasus. Konflik ini melibatkan sejumlah grup perusahaan besar seperti PTPN, PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas, dan Salim Group.


MK BATALKAN UU PERKEBUNAN - Upaya perlawanan Japin dan Andi untuk membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan itu tak sia-sia. Dalam putusannya tanggal 9 September 2011, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010, telah membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan.

Putusan MK itu pun dijadikan dasar bagi Japin dan Andi untuk mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan kasasi MA. Putusan itu, menurut kuasa hukum kedua anggota masyarakat adat itu, telah menimbulkan keadaan baru dimana perbuatan mengganggu jalannya usaha perkebunan yang sebelumnya dianggap sebagai perbuatan pidana, tak lagi menjadi perbuatan pidana.

MA pun sepertinya setuju dengan pendapat itu dan kemudian memutuskan untuk mengabulkan PK yang diajukan Japin dan Andi. Majelis Hakim PK yang terdiri dari Dr. Salman Luthan, S.H., M.H; Dr. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., dan Dr. H. Margono, S.H., M.Hum., M.M., mempertimbangkan bahwa dalam perkara yang diajukan Japin dan Vitalis Andi terdapat keadaan baru (Novum). Keadaan baru itu adalah Putusan MK No: 55/PUU-VIII/2011 yang membatalkan pasal yang menjadi dasar menjerat Japin dan Vitalis Andi.

Andi Muttaqien mengatakan, putusan MK itu bisa dijadikan dasar untuk memutuskan perkara Japin dan Andi karena putusan MK dalam pengujian undang undang bersifat deklaratoir dan tidak mengenal putusan yang bersifat condemnatoir. Meski bersifat deklaratoir, akan tetapi putusan tersebut secara konstitutif mengubah hukum yang berlaku.

"Terlebih MK telah menyatakan bahwa Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan yang dijadikan dasar untuk menghukum Japin dan Vitalis Andi tersebut inkonstitusional dan karenanya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," ujarnya.

Andi mengatakan, PIL-Net selaku kuasa hukum Japin dan Andi mengapresiasi putusan Majelis Hakim PK, karena telah memeriksa dengan seksama perkara tersebut dan memberikan keadilan bagi Japin dan Vitalis Andi. Putusan ini menegaskan bahwa ketentuan-ketentuan pemidanaan yang diatur di dalam UU Perkebunan merupakan pasal represif yang hanya menyasar masyarakat petani.

"Pasal pemidanaan ini kerap digunakan untuk membungkam perjuangan-perjuangan masyarakat yang lahannya digusur atau dirampas pihak perusahaan perkebunan," pungkas Andi.

BACA JUGA: