JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tak ada pilihan lain bagi Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong dua guru Jakarta Intercultural School (JIS) yang kini harus mendekam di penjara, selain mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Pasalnya Mahkamah Agung telah menganulir putusan bebas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap mereka atas kasus pelecehan seksual terhadap siswa Taman Kanak-kanak JIS.    

Majelis hakim kasasi Mahkamah Agung yang diketuai Artidjo Alkotsar, Salman Luthan dan Suhadi telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang sebelumnya memutus bebas keduannya. MA mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas putusan PT DKI Jakarta tersebut.

Kini kedua guru Neil dan Ferdi harus meringkuk di Lapas Cipinang setelah tim eksekutor dari Kejari Jaksel menangkapnya. Neil ditangkap sepulang  dari Bali. Sementara Ferdi ditangkap di rumahnya di Pondok Aren.

"Kami akan melakukan upaya hukum PK setelah menerima salinan putusan kasasinya," kata Patra M Zen, kuasa hukum Neil dan Ferdi, saat konferensi pers di Bangi Kopi Kawasan SCBD, Jakart (26/2).

Niat mengajukan PK Neil dan Ferdi dilakukan karena kedua guru ini mengaku tak bersalah. Menurut Patra, ada dua pertimbangan alasan PK diajukan. Pertama, ia melihat ada kekhilafan majelis hakim kasasi saat mengambil keputusan.

Putusan mengabulkan kasasi jaksa diduga diambil tanpa melalui prosedur pemeriksaan yang cermas dan teliti. Putusan dibuat terkait dengan masa pencekalan Neil dan Ferdi yang berakhir pada 25 Februari 2016. Keputusan diambil pada 24 Februari satu hari sebelumnya. Apalagi di media kejaksaan meminta agar perkara di tingkat kasasi diputus cepat.

Menurut Patra, sebuah putusan yang menentukan nasib orang tidak bisa diambil secara terburu-buru apalagi diambil karena dipengaruhi alasan-alasan di luar alasan keadilan. Dalam situs informasi perkara Kepaniteraan MA tidak tercantum tanggal distribusi berkas perkara.

"Lazimnya, putusan diambil paling cepat kurang lebih dua minggu dari tanggal distribusi berkas perkara dan membutuhkan waktu lebih lama untuk perkara yang rumit dan menyita perhatian masyarakat," ujar Patra.

NOVUM BARU - Patra menyatakan, selain dugaan kekhilafan hakim, ada novum baru terkait kasus ini. Yakni bahwa korban bernama MAK tak pernah mengidap penyakit menular.

Novum baru itu merupakan hasil pemeriksaan sebuah klinik di Belgia. Setelah Neil dan Ferdi diputus bebas, MAK melakukan pemeriksaan di Belgia. Hasil medisnya menyatakan negatif bahwa MAK tidak pernah terkena penyakit menular.

"Kami tengah berupaya untuk mendapatkan medical record ini karena ini bisa dinilai novum, bukti baru dalam PK," kata Patra.

Patra mengatakan akan terus mengungkap fakta yang sesungguhnya terjadi. Dua kliennya itu tak bersalah dan tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan.

"Apalagi sejak pengadilan pertama, fakta-fakta medis tidak menunjukan bahwa kekerasan seksual itu terjadi," jelas Patra.

Juru Bicara MA Suhadi kepada gresnews.com mengatakan pertimbangan majelis hakim menerima kasasi jaksa berdasar bukti, kedua guru JIS terbukti melakukan perbuatan cabul. Dan majelis hakim membenarkan putusan pengadilan tingkat pertama.

"Artinya terdakwa sudah bisa dieksekusi," kata Suhadi.

Disoal putusan Pengadilan Tinggi yang memutus bebas, Suhadi mengatakan itu soal penafsiran. Namun kenyataannya, Hakim Agung berpandangan lain dan memberatkan putusan kedua guru itu.

"Itu penafsiran soal pembuktiannya," kata Suhadi.

Diketahui, pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan kedua terdakwa. Sementara pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan bagi Neil dan Ferdinant. Kini pada tingkat kasasi MA memvonis 11 tahun penjara.

PROTES PENANGKAPAN - Siska Tjiong, istri Ferdi sempat tak terima prosedur penangkapan suaminya yang dilakukan tengah malam. Menurut Siska yang dilakukan jaksa tak patut dilakukan karena Ferdi disamakan dengan teroris.

"Mereka datang ke rumah saya jam 2 pagi, menaiki pagar rumah saya yang terkunci. Gedor kaca rumah saya, saya pikir mereka perampok, membawa senjata laras panjang. Suami saya bukan teroris dan saya punya anak. Kenapa diperlakukan seperti itu?" kata Siska dengan tersedu dalam acara yang sama.

Hal yang sama disampaikan Tracy, istri Neil. Tracy menyatakan bahwa suaminya tak kabur dari Indonesia. Kebetulan saat putusan kasasi keluar, mereka tengah berlibur di Bali. "Kami tak kabur, suami saya taat hukum," kata Tracy

PERJALANAN KASUS JIS - April 2015 lalu menjadi mimpi buruk Neil dan Ferdi. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) akhirnya memvonis bersalah dua guru ini dalam kasus pencabulan terhadap muridnya.

Neil dan Ferdi divonis pidana 10 tahun penjara dan diharuskan membayar denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. Vonis dibacakan secara bergantian oleh majelis hakim di PN Jaksel yang diketuai oleh Nuraslam Bustaman dengan anggota Achmad Rivai, SH. dan H. Baktar Jubri Nasution.

Dalam pertimbangannya hakim menyatakan terdakwa, baik Neil maupun Ferdi, terbukti bersalah sesuai dakwaan primer Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Apa yang dilakukan Neil, menurut majelis hakim, tidak sepantasnya dilakukan oleh Neil sebagai seorang pendidik. Perbuatan Neil dan Ferdi juga dinilai telah mencoreng nama baik pendidikan di Indonesia.

Dalam pertimbangan yang memberatkan, hakim mengatakan Neil dan Ferdi dalam keterangannya kerap berbelit-belit selama persidangan. Begitu juga adanya materi persidangan yang terpublikasi di luar sidang melalui media massa.

Pihak Neil dan Ferdi mengaku kecewa atas putusan tersebut. Keduanya menyatakan banding atas vonis tersebut. "Neil dan Ferdi sangat kecewa dan kaget luar biasa dengan putusan majelis hakim ini. Mereka tidak menyangka dengan bukti-bukti yang sangat lemah dari pihak JPU, majelis hakim mengambil keputusan menghukum keduannya," kata Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum kedua guru JIS, di Jakarta, Kamis (2/4).

Hotman menambahkan, putusan pengadilan ini sangat memalukan penegakan hukum di Indonesia. Tidak hanya majelis mengesampingkan seluruh saksi tanpa dasar yang jelas, tapi juga kontradiktif dalam pertimbangan hukumnya sendiri. Dengan mendengarkan pertimbangan hakim maka guru manapun juga bisa saja divonis melakukan pelecehan seksual terhadap murid.

Kuasa hukum Neildan Ferdi lainnya, Mahareksa Dillon, juga menilai Kasus yang melibatkan Neil dan Ferdi, sangat tidak wajar, tidak didukung bukti-bukti yang kuat dan terlihat sangat dipaksakan. Terbukti selama persidangan, JPU tidak berhasil menunjukkan alat bukti yang kuat baik mengenai saksi fakta, lokasi dan waktu terjadinya peristiwa yang dituduhkan ini.

"Bahkan, secara medis, anak yang dilaporkan mengalami kekerasan seksual diketahui kondisi anusnya normal," kata Dillon.

Fakta medis berikutnya adalah keterangan Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) di persidangan yang dihadirkan sebagai ahli. Menurut Dr Lufti, MAK atau anak pertama yang mengaku menjadi korban sodomi, tidak pernah mengidap penyakit herpes. Laporan adanya nanah di anus MAK bukan disebabkan oleh virus melainkan diduga bakteri.

Dr Lutfi juga menyatakan, hasil pemeriksaan UGD yang digunakan oleh ibu MAK untuk melaporkan kasus dugaan sodomi anaknya ke polisi baru pemeriksaan awal. Hotman Paris mengatakan, berdasarkan keterangan ahli, untuk menentukan ada tidaknya sodomi harus dilakukan pemeriksaan lanjutan dan hal itu tidak pernah dilakukan oleh ibu MAK.

Bahkan pihak JIS juga mengungkapkan, seiring dengan pelaporan kasus dugaan tindak kekerasan seksual di JIS, ibu MAK yang berinisial TPW juga menggugat secara perdata JIS di PN Jakarta Selatan. Awalnya, nilai gugatan sebesar US$12 juta. Namun  kemudian, TPW meningkatkan tuntutannya menjadi US$125 juta atau senilai Rp1,5 triliun seiring dengan tuduhan keterlibatan dua guru JIS dalam kasus ini.

Kedua guru melakukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hasilnya membuat lega Neil dan Ferdi. Keduanya diputus bebas pada Agustus 2015.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan dua guru JIS yang menjadi terdakwa yakni Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak kekerasan seksual terhadap dua muridnya. Majelis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memutus perkara Neil dan Ferdi tidaklah bulat berpendapat.

Dari tiga hakim yang menyidangkan perkara tersebut yakni Silvester Djuma dengan hakim anggota Mochamad Djoko dan Sutoto Hadi, satu hakim yakni Mochamad Djoko menyatakan dissenting opinion (DO) atau pendapat berbeda.

Djoko menyatakan sependapat dengan hakim tingkat pertama yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan putusan itu telah tepat dan benar. Dalam pertimbangannya, Djoko memaparkan bahwa keterangan saksi Cristopher alias Alex, DA, MA (saksi korban) keterangannya tidak begitu saja disampaikan. Meski keterangan ketiga saksi korban tidak disumpah, tapi apabila ditinjau dari psikologi anak, ketiga saksi tersebut kecil kemungkinan akan berbohong. Karena akan takut pada dirinya sendiri.

"Menimbang bahwa ditinjau dari teori koherensi, keterangan ketiga saksi korban apabila dihubungkan dengan saksi lain yang disumpah maka keterangan ketiga saksi korban itu berhubungan," katanya.

Atas putus Pengadilan Tinggi itu Jaksa melakukan kasasi. Dan MA menganulir putusan Pengadilan Tinggi yang membebaskan Neil dan Ferdi. Kini Neil dan Ferdi harus kembali menginap di hotel prodeo.

BACA JUGA: