JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mari kita sedikit menengok ke belakang, tepatnya ke tanggal 24 April kemarin. Saat itu di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah digelar rapat kerja antara Komisi VI DPR dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Rapat itu berlangsung cukup alot sampai memakan waktu 9 jam lebih, dimulai pukul 10.30 pagi dan berakhir pukul 19.30.

Alotnya rapat saat itu memang bisa dimaklumi karena isu yang dibahas juga merupakan isu panas yaitu soal privatisasi BUMN. Ketika itu, Rini meminta izin DPR untuk melakukan privatisasi atas tiga BUMN yaitu PT Aneka Tambang, Adhi Karya dan Waskita Karya.  

Rini menjelaskan porsi kepemilikan saham pemerintah di Antam saat ini sebesar 65%. Rencananya Antam akan memperoleh dana segar Rp4,39 triliun lewat rights issue. Sebanyak Rp3,5 triliun merupakan Penyertaan Modal Negara (PMN) dan setoran publik Rp1,89 triliun. Dana ini akan dipakai membiayai proyek FeNi di Halmahera Timur dan Anode Slide.

Sedangkan untuk Adhi Karya rinciannya ialah porsi kepemilikan saham pemerintah 51%. Pemerintah melalui dana PMN akan menyuntik Rp1,4 triliun dan publik Rp1,345 triliun. Dana tersebut akan dipakai membiayai proyek transportasi massal perkotaan, Light Rail Transit (LRT) di Jabodetabek.

"Waskita kepemilikan saham pemerintah ada 66,02%. Dana PMN Rp3,5 triliun dan dana publik Rp1,8 triliun. Dana itu dipakai untuk membangun tol di Pulau Jawa dan Sumatera serta bangun transmisi listrik 500 KV di Sumatera," jelasnya.

DPR ketika itu memang menyetujui usulan Rini. Hanya saja para anggota dewan ketika itu memberikan catatan khusus terkait privatisasi BUMN ini. Mayoritas catatan meminta agar pemerintah berusaha keras agar kepemilikan saham asing di perusahaan pelat merah terbuka (Tbk) tidak bertambah.

"Saham asing secara effort dijaga agar nggak ditambah. Ini memang nggak wajibkan. Karena pemerintah nggak punya kewenangan untuk itu," kata pimpinan rapat Komisi VI Achmad Hafisz.

Kementerian BUMN sendiri akan memulai program rights issue untuk Adhi Karya dan Waskita Karya pada akhir Juli 2015 mendatang. Sedangkan Aneka Tambang ditargetkan bisa berjalan pada triwulan III-2015.

REGULASI LEMAH PRIVATISASI TERLALU MUDAH - Harapan Komisi VI DPR RI agar pemerintah berusaha keras supaya saham asing di BUMN tak bertambah sepertinya saat ini terancam hanya sekadar harapan kosong. Pasalnya, pemerintahan Jokowi-JK sendiri tampaknya justru terlalu bersemangat untuk mengobral BUMN ke pihak asing.

Indikasi ini terlihat dari tak ada pengaturan tentang pemberian dividen dari BUMN ke negara yang mengakibatkan persentase dividen yang disetorkan BUMN ke negara lesu. Hal inilah yang mengakibatkan sepanjang lima tahun ke belakang BUMN malah menyumbang kerugian negara.

Gilanya, masalah ini malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk pelan-pelan melegalisasi privatisasi BUMN. Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yeni Sucipto mengatakan saat ini terdapat beberapa BUMN yang disinyalir akan diprivatisasi oleh Menteri BUMN Rini Soemarno dengan penjualan melalui Initial Public Offering (IPO). "Penjualan lebih banyak ke infrastruktur, kenapa digerilya sama Rini? Sebenarnya apa di balik ini semua?" ujarnya kepada Gresnews.com, Sabtu (20/6).

Menurutnya, saat ini perlindungan regulasi BUMN di Indonesia belumlah ada. Hal ini pun dimanfaatkan sejumlah pihak untuk mengobral BUMN ke asing. "BUMN tanpa ada perlindungan regulasi yang jelas dapat dimanfaatkan para elit politik untuk bermain ´belakang´," kata Yenni.

Beberapa kelemahan regulasi BUMN ini diantaranya pertama, tidak ada pengaturan pernyertaan modal dan suntikan negara ke BUMN. Kedua, tak adanya aturan jumlah dividen yang harus disetor BUMN ke negara. Ketiga, tak ada pengaturan laba yang ditahan. "Ekspansi pengembangan bisnisnya tak ada, aturan penjualan piutang lancarnya pun nihil, itulah menggapa BUMN di tahun SBY menjadi sapi perah," katanya.

BUMN, kata Yenni, cukup menjadi lembaga yang memuluskan jalan para elit politik untuk memperkaya diri. Ketiadaan regulasi ini menurutnya sejalan dengan kinerja DPR, dimana pembahasan UU BUMN terus-terusan mangkrak padahal sudah masuk dalam prolegnas."Kita juga tak ada UU Penjaminan, ini kan uangnya bisa masuk ke tempat lajn," katanya.

BUMN WAJIB DIJAUHKAN DARI ASING - Hasil pengamatan FITRA pada tahun 2008-2012 mengungkapkan, BUMN telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp125,5 triliun. Kerugian ini terdiri dari 2000 kasus baik induk maupun anak perusahaan yang buruk pengendalian internalnya maupun terdapat ketidakpatuhan.

Padahal berdasar Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menyatakan perekonomian Indonesia berdasarkan demokrasi ekonomi dijalankan melalui tiga cara. Yakni pertama, menyusun perekonomian sebagai usaha bersama berlandaskan asas kekeluargaan. Kedua, penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga, penguasaan negara terhadap bumi, air, dan segala yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sebagai jangkar pembangunan nasional, peran BUMN sangat vital untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Karenanya, keberadaannya harus dijauhkan dan dibersihkan dari intervensi asing dan pengaruh lembaga-lembaga neoliberal seperti IMF, Bank Dunia, ADB, dan WTO. Sebab, lembaga-lembaga tersebut mengebiri keberadaan BUMN melalui kebijakan privatisasi, deregulasi dan liberalisasi.

"Dorongan Go Public dengan mencatatkan saham di pasar modal harus diwaspadai agar tidak menjurus ke arah pengambil-alihan perusahaan negara kepada modal asing dengan dukungan regulasi di bidang investasi yang liberal," kata Yenni.

Menurut catatan FITRA, pada akhir tahun 2013 telah terdapat 20 BUMN yang terdaftar di pasar modal dengan kapitalisasi pasarnya mencapai Rp793 triliun. Pada dokumen Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, dilaporkan nilai aset BUMN sebesar Rp4.216 triliun per 31 desember 2013, dengan nilai PMN yang dikeluarkan oleh pemerintah kepada BUMN telah mencapai Rp793 triliun, nilai ini sangat tinggi karena hampir mencapai separuh nilai APBN.

Nilai PMN tersebut tersebar di 141 BUMN diantaranya 14 Perum, 109 Perseroan Terbatas, dan 18 Perseroan Terbuka. Sedangkan laba yang dihasilkan per tahun BUMN dan dividen yang disetor ke APBN jauh dari laba yang didapat.

Pada tahun 2010 dari laba Rp102,4 triliun, dividen yang disetor ke APBN hanya sebesar Rp30,1 triliun. Tahun 2011 dari laba Rp115,6 triliun, dividen yang disetor ke APBN hanya sebesar Rp28,2 triliun. Tahun 2012 sejumlah laba Rp140,4 triliun, dividen yang disetor ke APBN hanya sebesar Rp30,8 triliun. "Di tahun 2013 laba sebesar Rp 220,2 triliun, deviden yang disetor ke APBN hanya sebesar Rp 34,0 triliun," ujar Yenni.

Data tersebut di atas membuktikan BUMN tetap menjadi potensi pendapatan terbesar negara selain pajak. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah dividen yang disetor BUMN ke negara dimana besaran rata-rata hanya mencapai 21,3 % tiap tahunnya selama 2010-2013. Kecilnya setoran laba BUMN tersebut karena sebagian besar laba yang diperoleh cenderung ditahan di masing-masing BUMN. "Bahkan per Desember 2013, laba di tahan telah mencapai Rp509,8 triliun," paparnya.

ATURAN SETORAN DIVIDEN KE NEGARA HARUS ADA - Dari data dan fakta di atas, problem mendasar BUMN adalah kecilnya laba yang disetor ke negara, tidak sebanding dengan PMN yang dikeluarkan dan laba yang ditahan oleh BUMN. Hal ini terjadi karena tidak adanya perlindungan regulasi yang menyatakan dengan tegas tentang berapa persentase minimal laba yang bisa ditahan dan laba yang harus disetorkan ke negara serta jumlah PMN yang bisa diterima BUMN.

"Akibat dari ketiadaan regulasi itu, adalah tidak terbangunnya tata kelola BUMN, terutama pada pemanfaatan PMN, dan laba yang ditahan untuk alasan ekspansi pengembangan bisnis, sehingga berdampak pada rendahnya tingkat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya," terang Yenni.

Salah satu faktor yang membuat BUMN menjadi beban keuangan negara juga adalah akibat rendahnya laba yang disetor, tidak sebanding dengan penambahan penyertaan modal yang dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya. Dalam kurun waktu tahun 2010-2013 APBN mengeluarkan Rp269,7 triliun untuk tambahan penyertaan modal, sementara total setoran laba BUMN ke APBN hanya Rp123,1 triliun.

Dalam kurun waktu 3 tahun pada 2010-2012 pula, terdapat 38 BUMN dengan total laba Rp15,1 triliun, sama sekali tidak memberikan setorannya ke negara. Dari ke 38 BUMN tersebut, 20 BUMN telah mendapatkan tambahan penyertaan modal dengan total Rp4,3 triliun dari negara. Secara keseluruhan, nilai penyertaan modal per 31 Desember 2013 telah mencapai Rp770,4 triliun, dengan nilai laba ditahan oleh BUMN sebesar Rp509,8 triliun dan kontribusi ke negara dalam bentuk dividen rata-rata pertahun hanya sebesar 24%.

UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN yang dibuat atas perintah IMF dan Bank Dunia, memberikan kerangka legal bagi diadakannya praktik privatisasi BUMN yang sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi. "Padahal seharusnya pemerintah melindungi peran BUMN sebagai motor penggerak pembangunan nasional dalam melaksanakan ekonomi kerakyatan di Indonesia," ujarnya.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Kementerian BUMN telah memproses 25 privatisasi BUMN dan privatisasi (BUMN) minoritas. Nilai privatisasi yang telah diperoleh sebesar Rp53,4 triliun, dimana sebesar Rp42,6 triliun masuk dalam modal BUMN, dan sisanya sebesar Rp10,9 triliun masuk dalam APBN. Jika dicermati lebih jauh, baik privatisasi maupun profitisasi sesungguhnya tidak memberikan kontribusi yang besar bagi APBN.

Privatisasi hanya menyetor rata-rata 1-2,5 persen dari total APBN. Profitisasi bergerak pada kisaran 2-3,25 persen saja. Jadi kontribusi BUMN ke APBN dengan kisaran hanya 6 persen. Dalam konteks ini, arah strategi kebijakan dalam reformasi keuangan negara harus mampu mendorong perombakan format APBN, khususnya untuk menghilangkan pos penerimaan privatisasi sebagai bagian dari penerimaan pembiayaan APBN.

ANCAMAN INTERVENSI ASING MAKIN NYATA - Dengan dicantumkannya pos penerimaan privatisasi dalam APBN, sebenarnya pemerintah dan DPR telah memberi ruang bagi intervensi pihak pemodal, khususnya pihak asing dalam struktur kebijakan anggaran. Dimana hal ini memungkinkan mereka dapat menguasai faktor-faktor produksi yang penting dan strategis di Indonesia.

Salah satunya contohnya adalah pengucuran PMN untuk infrastruktur dan kemaritiman yang diberikan kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dengan alokasi sebesar Rp20,356 triliun. PT SMI adalah sebuah BUMN yang didirikan atas pinjaman Bank Dunia sebesar US$100 juta pada tahun 2009. Tambahan PMN kepada PT SMI ini merupakan pengalihan seluruh investasi yang telah sebelumnya dialokasikan kepada Pusat Investasi Pemerintah (PIP) termasuk yang disalurkan ke PT PLN (persero).

"Tingginya pemberian ke PT SMI, alasan klasik pemerintah adalah untuk percepatan penyediaan infrastruktur nasional, padahal model kemitraan yang dibangun adalah dengan pihak swasta atau lembaga keuangan internasional," kata Yenni.

Karena PT SMI, melalui anak perusahaannya bernama PT Indonesia Infrastructure Finance ditujukan untuk membiayai proyek infrastruktur yang dilakukan oleh pihak swasta, berarti dari total PMN infrastruktur sebesar Rp50,713 triliun dalam APBNP 2015 tidak sepenuhnya dilakukan oleh BUMN. Sekurang-kurangnya uang rakyat sebesar Rp20,356 triliun diperuntukan secara langsung untuk perusahaan swasta yang pengelolaan infrastrukturnya dilakukan secara komersial.

Oleh karenanya, dapat dipastikan bahwa pemberian PMN infrastruktur patut diwaspadai sebagai mekanisme komersialisasi infrastruktur di Indonesia. Selain itu, dengan terbatasnya waktu pembahasan APBN Perubahan 2015 di DPR, sulit mengharapkan dana PMN ke BUMN ini akan menghasilkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan infrastruktur yang baik dan melibatkan partisipasi rakyat serta diperuntukan bagi hajat hidup orang banyak di Indonesia. "Dalam kondisi ini, kita patut khawatir bahwa penambahan PMN dapat kembali menjadi bancakan para elit politik," katanya.

Berkaca pada paparan di atas, seharusnya, Rini melihat kinerja BUMN yang minim lantaran pengelolaan BUMN yang tak akuntabel. "Ini harus dievalusi sebelum kembali minta duit ke negara sebesar Rp68 triliun, atau sebelum meng-IPO kan BUMN," kata Yenni.

BUMN DIAMBANG KEHANCURAN - Potensi penjualan BUMN lewat mekanisme IPO yang akan semakin membuka kran privatisasi juga dibenarkan pengamat ekonomi Rahmat Bagja. Dia bahkan menduga privatisasi pelan-pelan mulai akan dilakukan Rini dengan menjual piutang lancar sesama BUMN kepada asing.

"Banyak BUMN yang piutangnya dijual ke luar negeri. Padahal piutang ini yang bagus dan masih berjalan pembayarannya. Jika seperti ini maka BUMN akan hancur," katanya kepada Gresnews.com, Sabtu (20/6).

Jika langkah ini dilakukan dan berlangsing terus menerus, maka BUMN yang piutangnya telah hancur akan diakuisisi sahamnya. "Ini harusnya tidak boleh, sayangnya tak ada UU yang mengatur, Rini sudah pikirkan ini jauh ke depan," katanya.

Menurutnya, lantaran tak ada aturannya, siapapun yang menjual BUMN akan sulit ditarik ke ranah hukum lantaran tak ada kebijakan yang melarangnya. Pun dengan masalah dividen dan laba ditahan yang telah dijabarkan di atas.  

Dalam proses dagang, jual utang-piutang memang tak bermasalah secara etis. Namun secara etik jika dijual ke luar negeri maka berarti investasi tak akan masuk dan luar negeri akan diuntungkan. "Pelan-pelan akan menghancurkan BUMN," tandasnya. (dtc)

BACA JUGA: