JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah negara-negara anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk menurunkan produksi minyak mentah hingga 1,2 juta barel per hari mulai Januari 2017 ternyata diikuti oleh negara produsen minyak non-OPEC. Rusia dan 10 negara produsen minyak non-OPEC, pada Sabtu lalu, menyatakan sepakat memangkas produksi minyak mereka lebih dari 500.000 barel per hari.

Kesepakatan pemangkasan produksi itu secara efektif telah mendongkrak harga minyak mentah dunia yang tadinya lesu di bawah angka US$50/barel, mulai bergerak di atas harga tersebut. Harga kontrak minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Januari 2017 naik US$2,28/barel menjadi US$53,78/barel.

Sementara harga minyak jenis Brent naik US$2,29/barel menjadi US$56,62/barel. "Kesepakatan pemangkasan produksi oleh OPEC dan non-OPEC jelas menjadi pengerek harga minyak," kata analis Jeffrey Halley dilansir dari AFP, Senin (12/12).

Terkait kesepakatan OPEC tersebut, tadinya pemerintah dan Pertamina optimistis kenaikan harga minyak akibat kebijakan OPEC itu tak akan mempengaruhi harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang mengatakan pihaknya belum bisa memastikan apakah kebijakan itu akan membuat harga BBM Indonesia melonjak.

Menurut Ahmad, harga minyak dunia belum bisa dipastikan meningkat meski OPEC memutuskan untuk memotong produksinya. "Pertama, jika memang keputusan ini berlaku pada 1 Januari 2017, apakah negara OPEC itu komitmen untuk memotong produksinya sesuai janji?" imbuhnya di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (7/12).

Selain itu, negara produsen minyak di luar OPEC masih banyak. Dia menilai, negara-negara tersebut pastinya akan meningkatkan produksinya agar bisa menutup kebutuhan minyak dunia, sehingga kebijakan OPEC tidak akan berpengaruh apa pun terhadap harga minyak dunia.

"Dengan begitu, harga minyak dunia tidak bisa naik lagi. Karena kalau sudah menyentuh US$60/barel, Shell Oil akan produksi lagi dan minyak akan jatuh lagi. Terlebih lagi sekarang dunia tengah mengembangkan energi baru terbarukan," jelas Ahmad.

Optimisme serupa juga disampaikan anggota Komisi VII DPR Idris Luthfi yang mengatakan, harga minyak dunia yang rendah akibat produksi yang melimpah di pasaran tak akan segera terdongkrak naik hanya karena negara-negara OPEC memangkas produksinya. Kalaupun naik, kata Idris, tak akan melonjak tajam, karena biaya eksplorasi yang rendah akibat adanya teknologi varu.

"Jadi, meskipun OPEC komitmen dengan kebijakan memangkas produksi, harga minyak tidak akan naik tajam," katanya kepada gresnews.com, Senin (12/12).

Namun nyatanya negara-negara non-OPEC ikut memangkas produksi sehingga diperkirakan harga minyak mentah akan naik. Ini dinilai bisa berpengaruh pada harga BBM dalam negeri.

Pengamat energi Mamit Setiawan mengatakan, pemotongan produksi OPEC saat ini sudah memberikan dampak terhadap harga minyak dunia di mana saat ini sudah mencapai US$55/barel. Diperkirakan harga dalam negeri juga terancam naik karena produksi nasional meski tak dipangkas, namun sulit mencapai target.  

Menurut Mamit, bisa dipastikan tahun depan Indonesia akan mengalami kenaikan harga BBM. "Untuk produksi kita sangat berat ditingkatkan, karena lapangan kita sudah tua," paparnya.

SUDAH DIINGATKAN - Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo sudah mengingatkan agar pemerintah cermat dalam mengambil sikap terkait langkah OPEC. Dia mengatakan, jangan sampai harga BBM melonjak tajam akibat kenaikan harga minyak mentah sehingga berpengaruh pada kenaikan angka inflasi.

Karena itu, kata Sasmito, harga BBM dinaikkan secara bertahap. "Jadi, misalnya harga BBM dalam negeri perlu dinaikkan secara gradual seiring perkembangan harga dunia, sehingga tidak bergejolak," ujar Sasmito, beberapa waktu lalu.

Menurut Sasmito, kontribusi kenaikan harga BBM terhadap laju inflasi adalah sekitar 3 persen. Belum lagi dampak ikutannya yaitu kenaikan tarif angkutan umum dan barang yang juga bisa memicu inflasi. Karenanya, menurut Sasmito, dampaknya tak akan signifikan bagi pengguna jasa jika kenaikan harga BBM dilakukan secara bertahap. "Naiknya kan paling 1-2 persen," katanya.

Meski bisa membawa dampak pada naiknya harga BBM, kenaikan harga minyak mentah dunia sebenarnya bisa membawa sedikt "berkah" bagi sektor hulu minyak dalam negeri yaitu terkait eksplorasi. Seperti diketahui, harga minyak yang rendah selama kurun waktu dua tahun terakhir ini menyebabkan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di industri minyak dan gas bumi (migas) terganggu.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengatakan, reformasi peraturan dan kebijakan fiskal dalam negeri merupakan salah satu upaya yang diyakini dapat membangkitkan kembali industri hulu migas di Indonesia. Christina mengungkapkan, IPA dan pemerintah telah melakukan banyak diskusi dan pertemuan untuk membahas reformasi aturan dan kebijakan fiskal sepanjang tahun ini.

"Ke depan, kami akan terus bersama pemerintah untuk mencari formula dan implementasi yang tepat guna memperbaiki iklim investasi migas di Indonesia," kata Christina dalam Rapat Umum Tahunan IPA, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (7/12).

Beberapa hal yang menjadi diskusi antara IPA dan pemerintah di tahun ini di antaranya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 (PP 79/2010), tata kelola gas bumi, pengembangan lapangan laut dalam, penyederhanaan perizinan, dan masukan untuk draft UU Migas yang baru.

Menurutnya, upaya pemerintah Indonesia untuk menarik investasi ke sektor hulu migas sudah terlihat dengan banyaknya perubahan peraturan terkait. "Tapi di sisi lain, masih banyak tantangan dari para pemangku kepentingan lainnya yang memiliki kepentingan berbeda," tukasnya.

Sementara itu, Direktur IPA Tenny Wibowo menyatakan investor butuh stabilitas dan kepastian dari pemerintah agar kalkulasinya ketika menanam modal tidak meleset akibat perubahan kebijakan di tengah jalan. "Ini yang harus jadi perhatian, kalau iklim investasi kurang baik, investasi juga jadi kurang. Stabilitas itu jadi penting, dan hal-hal yang baru menurut saya terbaik itu tidak memotong tengah jalan sehingga kita bisa kalkulasi," papar Tenny.

Beberapa kebijakan terbaru yang ´memotong di tengah jalan´ itu misalnya soal penurunan harga gas untuk industri, dana abandonment and site restoration (ASR). "Jelaskan dari awal agar kami bisa mengkalkulasi, jangan di tengah jalan. Misalnya gas price, dana ASR. Ini beberapa contoh, kalau diterapkan di tengah-tengah menurut saya kurang bagus," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: