JAKARTA GRESNEWS.COM - Perekonomian dunia sedang lesu darah, banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya turunnya harga minyak dunia hingga ke level US$ 50 per barel yang menyeret harga komoditas seperti batubara terjun bebas.

Gresnews.com mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga batubara dengan kandungan kalori 7.000 berada pada kisaran US$ 63,75 per ton. Harga komoditas batubara ini telah turun jauh sejak 2012 saat  komoditas ini mencapai US$ 103,89 per ton. Sementara harga batubara pada Februari 2011 sebesar US$ 127,05 per ton dan rata-rata di tahun 2011 yang menyentuh US$ 122 per ton.

Saat ini, harga batubara acuan bulan Juni 2015 turun US$ 1,49 atau 2,4 persen menjadi hanya US$ 59,59 per ton, dibandingkan harga bulan sebelumnya US$ 61,08 per ton. Sementara harga batubara pada Juni tahun lalu mencapai US$ 73,64 per ton. Artinya bila dibandingkan year on year, harga batubara sudah anjlok 19 persen atau sebesar US$ 14,05/ton.

Loyonya harga batubara memaksa pemerintah menunda rencana menaikkan setoran royalti batubara tahun ini. Tentu saja keputusan ini disambut positif oleh para pelaku usaha. Pemerintah sebenarnya sudah berencana menaikkan harga batubara mengingat naiknya target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun ini.

Penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batubara dipatok naik di angka Rp 52 triliun. Sedangkan PNBP yang masuk sampai akhir Mei kemarin masih di bawah target, yaitu baru mencapai angka Rp 13,3 triliun.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Adi Wibowo menegaskan rencana kenaikan royalti batu bara ditunda. "Pak Menko (perekonomian)nya ngomong gitu," ujarnya kepada gresnews.com di Kantor Dirjen Minerba, Rabu (29/7).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil di Jakarta pada Kamis (23/7) lalu mengatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk menunda kenaikan royalti batubara karena harganya sangat lesu dan sulit. Jika royalti dinaikkan, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik bagi industri batubara Indonesia. Kenaikan royalti akan menambah beban yang dipikul oleh pelaku usaha.

APRESIASI DAN HARAPAN - Keputusan pemerintah menunda kenaikan royalti ini mendapatkan apresiasi dari pengusaha tambang batubara. Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa asosiasi menyambut baik dan positif pemerintah yang memahami kondisi lesunya industri batubara.

"Kami apresiasi pemerintah yang mau mendengar. Dan pemerintah juga sepertinya paham bahwa situasinya tidak memungkinkan (untuk menaikkan royalti)," katanya Kepada gresnews.com, Rabu (29/7).

Hendra mengapresiasi pemerintah karena mau mempertimbangkan usulan yang diajukan oleh asosiasi tambang batubara. Hendra menjelaskan, sebelumnya asosiasi membuat satu kajian yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi serta pengamat.  Hasil kajian menyimpulkan bahwa kurang tepat kalau pemerintah menaikkan royalti batubara tahun ini sebab harga batubara tengah merosot.

Selain itu, jika pemerintah memutuskan untuk menaikkannya, maka penerimaan negara dari sektor ini diprediksi  tidak akan banyak. Justru industri batubaranya akan banyak yang kolaps. Selanjutnya, jika perusahaan banyak yang tutup pada akhirnya pemerintah juga yang rugi. "PHK makin meningkat, penerimaan negara juga tidak signifikan. Yang dirugikan sebenarnya pemerintah juga, bangsa kita," katanya.

Namun, selain memberi apresiasi, asosiasi juga berharap memberi kejelasan mengenai waktu penundaan. Hendra mengatakan tidak tahu pasti kapan sejauh mana pemerintah mau menunda kenaikan ini. Asosiasi menurutnya sempat mengusulkan kepada pemerintah, kenaikan royalti mungkin dapat dilakukan saat harga batubara sudah naik di angka US$ 85 per ton.

"Ini nggak tahu sampai kapan. Mungkin sebaiknya ini harus ada pembicaraan yang lebih detil lagi, di harga berapa nanti kalau mau diterapkan. Kemarin kami sempat usulin di angka US$ 90, lalu kita turunin lagi di US$ 85 per ton. Kita usulin, kalau mau naikin ya di harga US$ 85 lah” katanya.

Selain mengusulkan agar kenaikan royalti ditunda, APBI juga meminta pemerintah agar meninjau ulang kebijakan-kebijakan lain yang dirasa memberatkan industri batubara. Misalnya, diadakannya pajak ekspor sebesar 1,5 persen.

Kebijakan yang akan diberlakukan pada 1 Agustus besok ini juga dianggap semakin menambah beban pengusaha batubara. "Aturan ini baru, dari Kementerian Keuangan. Sebelumnya tidak ada. Ini makin memberatkan. Harga makin tipis, keuntungan kecil," katanya.

Terkait kebijakan ini, pihak asosiasi sudah melayangkan surat keberatan ke Kementerian Keuangan, namun belum direspon. "Sudah, kami sudah tulis (surat) saja. Kami bisanya cuma itu. Kami nggak dilibatkan juga (dalam penyusuannya)," katanya.

Lebih lanjut, Hendra mengatakan bahwa pemerintah juga punya pekerjaan rumah untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku Pada Kementerian ESDM. Sebab peraturan ini bukan hanya mengatur mengenai PNBP dari royalti batubara. Melainkan juga mengatur royalti dari mineral lain, seperti tembaga, nikel dan lainnya. "Semuanya ada di situ," katanya.

BANYAK PERUSAHAAN TUTUP - Hendra mengatakan bahwa saat ini sudah banyak perusahaan batubara yang merugi, bahkan gulung tikar akibat lesunya harga batubara. Lebih dari separuh perusahaan batubara Indonesia dalam posisi minus. Yaitu kas margin atau keuntungannya negatif karenanya, banyak yang memilih berhenti produksi. Hendra mengaku tak tahu persis berapa perusahaan yang sudah tidak beroperasi.

"Kita minjam hasil kajian konsultan dari luar, ada yang menyebut Desember tahun lalu (2014) itu kisarannya 40 persen (perusahaan yang minus). Tapi kan dengan berjalannya waktu prediksi saya lebih dari 40. Mungkin 50-60 persen kali. Ini yang minus ya, negatif. Dalam artian bukan tutup semua. Itu (jumlah perusahaan) yang negatif kas marginnya. Karena harga rendah, cost produksi tinggi, kan nggak nutup," katanya.

Kondisi minus ini tak hanya terjadi di Indonesia. Di China situasinya lebih parah. "Di China pun bahkan 80 persen industri batubara yang minus, negatif,” katanya.

Hendra menambahkan, perusahaan yang kasnya negatif atau minus tidak berarti tutup. Ada yang masih melakukan produksi namun, kembali lagi ke hukum alam. Tergantung, sejauh mana mereka bisa bertahan. Perusahaan-perusahaan berskala besar mungkin masih bisa menyiasatinya dengan melakukan efisiensi.

Namun hal itu tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan kecil sebab margin keuntungan yang didapat makin menipis. "Ada yang minus ada yang positif. Tapi positif juga misalnya untungnya awalnya US$ 10, lama-lama makin kecil. Jadi US$ 7, US$ 6, US$ 5 per ton," katanya.

Perkiraan Hendra, saat ini perusahaan batubara yang masih melakukan produksi di Indonesia hanya sekitar 600 sampai 700-an. Sisanya berhenti produksi. "Tadi pak Dirjen (Direktur Mineral dan Batu Bara) bilang kan izin berapa, ada 4.000an. Kalau batubara izin sekitar 3.000an. Berarti yang mungkin produksi kemarin itu (hanya sekitar) 600-700 (perusahaan. Sekarang nggak tahu ini, dengan harga segini," ucapnya miris.

Perusahaan yang gulung tikar ada banyak di Sumatera. Terutama di daerah Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan yang kandungan kalori batubaranya rendah. Di Kalimantan, banyak perusahaan tutup di daerah Kalimantan Timur. "Cuma kan kita tidak tahu persis, karena itu di daerah. Yang (melapor) ke (direktorat Jenderal) Minerba kan yang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) sama beberapa IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang PMA (Penanaman Modal Asing). Tapi yang itu (tutup) ratusan ada di daerah. Mereka (lakukan) PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), laporannya ke daerah. Daerah nggak lapor ke sini," kata Hendra.

Terkait perusahaan batubara yang gulung tikar ini, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara, Adi Wibowo juga mengaku tidak punya data. Adi menjelaskan, perusahaan pemegang PKP2B sampai saat ini belum ada yang berhenti produksi. Dia menduga, perusahaan yang tutup dari pemegang IUP.

"Nggak tahu aku, nggak punya data. Mungkin di program. Lebih banyak IUP kali itu, PKP2B mah nggak ada, masih jalan terus semua," katanya.

PENYEBAB HARGA RONTOK - Hendra menyebut penyumbang terbesar anjlok harga batubara Indonesia adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi China. Sebab pasar terbesar ekspor batubara kita adalah China. Sebelum harga lesu, ekspor batubara Indonesia sekitar 300-350 juta ton per tahun, bahkan lebih. Dari jumlah itu sekitar 40 persen diekspor ke Cina, yaitu sekitar 100 juta ton lebih.

Selain faktor melambatnya ekonomi China, produksi batubara Indonesia juga berlebih. Di sisi lain permintaan batubara menurun. Alhasil harga pun tak bisa naik. "Selain berkurang, juga slow juga permintaannya. Selain itu juga, jumlah batubara kebanyakan. Suplainya kebanyakan jadi harganya rendah," kata Hendra.

Selain itu, pertambangan batubara ilegal juga dituding ikut berkontribusi  memerosokkan harga.  Hendra menyebut saat ini banyak sekali tambang ilegal yang masih berproduksi. Dan produksinya juga tidak sedikit.  Penambang ilegal ini memperburuk keadaaan karena mereka menjual hasil produksinya dengan harga yang murah. Di sisi lain, pembeli juga suka karena mendapat harga batubara yang rendah.

"Mereka nggak bayar pajak sehingga harga jualnya bisa murah," katanya.

Data APBI menyebutkan bahwa di tahun 2012 produksi batubara dari tambang ilegal sebesar 60-70 juta ton. Di tahun 2013 jumlahnya juga ada di angka 70 juta ton. "Banyak dan gede jumlahnya," ujarnya.

Hendra menyebut, jika tambang ilegal ini bisa diberantas maka kemungkinan akan dapat memperbaiki harga jual batubara, meskipun tidak banyak. Kalau tambang ilegal ditertibkan maka pelan-pelan harga ada perubahan.

Hendra mengatakan, selama ini tambang ilegal ini sulit untuk ditertibkan karena mereka punya backing. "Ya sudah jadi rahasia umum kan, mereka didukung oleh backing-backingnya. Itulah, ada kepentigan-kepentingan. Sulit lah yang ilegal gitu diberantas," katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh F. Hary Kristiono, Vice President Corporate Strategic And Commercial PT Medco Energi Mining Internasional. Menurutnya, saat ini pasokan batubara Indonesia banyak sedangkan permintaan kecil. hal itu membuat harga tertekan.

Dia mengatakan, kondisi ini akan terus terjadi ke depan. "Ini harga batubara ini nggak akan naik ya, gini-gini terus. Perekonomian global juga melemah," katanya kepada gresnews, Rabu (29/7).

Karena itu dia meminta kepada pemerintah agar membantu mengatur untuk mengurangi kelebihan pasokan ini. Namun, dia mengakui, sepertinya sulit untuk menurunkan produksi karena hal itu juga berarti akan menurunkan pendapatan negara dari royalti dan lainnya.

"Kita minta  ke Pak Menteri (ESDM),  harusnya Indonesia dikurangi supply-nya. Sehingga ini (mengimbangi) demandnya yang juga lemah, sehingga harganya terapresiasi," usulnya.

Untuk informasi, jumlah produksi batubara Indonesia tahun 2012 mencapai 386 juta ton. Dari jumlah itu, sebesar 82 juta ton untuk konsumsi dalam negeri dan 304 juta ton diekspor. Di tahun 2013, produksi melonjak menjadi 421 juta. Melampaui target pemerintah yang hanya 391 ton.

Sementara tahun ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melansir angka produksi batubara Indonesia sepanjang Januari hingga Mei 2015 mencapai 166 juta ton. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu di angka 206 juta ton, jumlah tersebut diketahui susut 40 juta ton atau sekitar 19,4 persen.

Dari angka produksi sebesar 166 juta ton, tambah Adhi sekitar 135 juta ton batubara Indonesia diekspor untuk memenuhi kebutuhan luar megeri. Sementara sisanya sekitar 31 juta ton dipasok untuk kebutuhan dalam negeri. (Agus Hariyanto)

BACA JUGA: