JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aliansi Petani Indonesia (API) menyatakan Inpres No 5 Tahun 2015 tentang Harga Pembelian Pemerintah (HPP) atas gabah dan beras yang telah ditandatangani Presiden Jokowi pada 17 Maret 2015 belum menguntungkan petani. Meski terjadi peningkatan jika dibandingkan HPP sebelumnya namun belum meningkatkan pendapatan petani padi.

Wakil Ketua API Slamet Nurhadi mengatakan saat ini harga Gabah Kering Panen (GKP) ditingkat petani berdasarkan HPP 2015 sebesar Rp3700 per kg dan Rp3750 per kg di penggilingan. Untuk Gabah Kering Giling (GKG) Rp4600 per kg di penggilingan atau Rp4650 per kg di gudang Bulog. Sedangkan untuk harga pembelian beras sebesar Rp7300 per kg.

Dia menambahkan penetapan harga baru tersebut meningkat 10 persen dari HPP berdasarkan Inpres No 3 tahun 2012 yang sebelumnya Rp3350 per kg di penggilingan, GKG di tingkat penggilingan Rp4150 per kg dan Rp4200 per kg di gudang Bulog, beras Rp6600 per kg di gudang Bulog.

Menurutnya HPP 2012 yang berlaku dan bertahan selama lebih dari 3 tahun dan baru diubah pada medio Maret 2015 menjadikan peningkatan 10 persen tidak cukup berarti bagi petani. Hal itu dikarenakan fakta di pasaran saat ini harga pembelian gabah di tingkat petani sudah jauh di atas ketetapan HPP baru yaitu berkisar rata-rata antara Rp4000 hingga Rp4500 seperti di daerah Jombang, Madiun dan Bojonegoro serta beberapa kabupaten lain di Jawa Timur.

Kemudian, harga juga tak jauh beda di daerah Jawa Tengah seperti Boyolali, Magelang dan Solo Raya serta sentra beras Karawang, di Jawa Barat. Demikian pula di beberapa daerah lain di luar Jawa seperti Lampung, yakni Rp. 4500/kg dan Kalimantan Tengah yang bahkan harga GKP sempat tembus Rp. 8500/kg.

Menurutnya fakta peningkatan harga di pasaran tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor meningkatnya biaya produksi seperti biaya pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja maupun biaya non produksiĀ  lainnya seperti transportasi. "Semua faktor tersebut dipengaruhi oleh berbagai kondisi ekonomi di dalam negeri seperti harga BBM, yang juga memiliki dampak langsung terhadap kebutuhan hidup sehari-hari petani," kata Nurhadi, Jakarta, Sabtu (28/3).

Sementara itu, menurut Sekjend API M. Nuruddin, peningkatan 10% HPP gabah/beras berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2015 belum menjawab kebutuhan petani untuk dapat hidup secara layak karena masih senjangnya antara biaya pengeluaran produksi dan pendapatan rumah tangga tani. Petani lantas lebih memilih menjual padi/gabahnya ke tengkulak karena harganya lebih tinggi dibanding harus menjualnya ke Bulog, dimana keadaan tersebut tentu akan berdampak pula pada rendahnya serapan Bulog atas gabah/padi petani.

Di sisi lain jika HPP ditetapkan tinggi maka dikhawatirkan dapat menyebabkan harga-harga lain terkoreksi dan dapat berakibat pada terjadinya inflasi. "Mungkin inilah alasan pemerintah untuk tidak menaikkan HPP lebih dari 10%," kata Nuruddin.

Sementara itu, Nuruddin menilai sikap Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang meminta Bulog untuk dapat melakukan penyerapan gabah petani sebanyak 4 juta ton pada tahun 2015, hal yang dalam perhitungan Bulog sendiri tampak mustahil dilakukan. "Bahkan Bulog sendiri justru pesimis dengan menurunkan target penyerapan dari 3,2 juta ton menjadi 2,5 juta ton pada tahun 2015," kata Nuruddin.

Menurutnya jika menilik waktu dikeluarkannya Inpres No.5 Tahun 2015 dimana bersamaan dengan saat panen raya di berbagai wilayah di Indonesia, maka dapat ditengarai bahwa pemerintah saat ini sedang mengantisipasi jatuhnya harga gabah akibat produksi yang berlimpah. "Saat harga jatuh maka diasumsikan Bulog akan dengan mudah menyerap hasil produksi dengan menggunakan acuan HPP 2015, yang notabene tak menguntungkan petani," katanya.

BACA JUGA: