JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pada dasarnya peran perlindungan dan keamanan seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) termasuk Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri merupakan tanggung jawab negara. Ketika di Timur Tengah para TKI tak lagi mendapatkan keamanan yang layak maka pemerintah pun mengambil tindakan dengan menghentikan alias moratorium pengiriman TKI.

Moratorium TKI ke Timur Tengah diwujudkan melalui Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja tentang penghentian penempatan TKI ke negara-negara Timur Tengah per 4 Mei 2015. Aturan moratorium diberlakukan untuk sejumlah negara tujuan tenaga kerja di kawasan Timur Tengah antara lain Kuwait, Saudi Arabia, Yordania, Aljazair, Bahrain, Irak, Iran, Qatar, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Yaman.

Namun, di tengah upaya pelarangan dan penghentian sementara tersebut, beredar kabar masih ada sejumlah pekerja Indonesia yang masuk ke sejumlah wilayah Timur Tengah, bahkan di daerah konflik seperti Suriah. Sesuai keterangan pihak KBRI Damaskus seperti dilansir media BBC (8/10), pihak dimaksud adalah Tenaga Kerja Wanita yang berusaha masuk ke wilayah konflik tersebut. Namun, keterangan dan kepastian rinci masih ditelusuri pemerintah.

"Hingga saat ini masih diberlakukan moratorium TKI ke Timur Tengah. Jadi secara resmi tidak ada pengiriman ke sana. Jika masih ada sebagian yang nekat berangkat, maka itu itu pekerja gelap dan tidak resmi," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir kepada gresnews.com, Sabtu (10/10).

Menurut keterangannya, para pekerja tersebut menggunakan jalur melalui perbatasan Turki. Pria yang akrab disapa Tata itu menegaskan, oknum yang melanggar sesuai aturan setempat dapat segera ditangkap dan kena deportasi karena Pemerintah Turki sendiri telah menutup perbatasannya untuk orang asing ke Suriah. Pengawasan dan peningkatan wilayah batas tengah diintensifkan otoritas Turki seiring meluasnya isu gerakan radikal dan separatis negara Islam Irak dan Syiria alias (ISIS).

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menilai, perlu ada pemahaman terhadap aturan moratorium yang diberlakukan pemerintah saat ini. Sebab, tingginya jumlah kasus TKI bermasalah di Timur Tengah, kata dia, menjadi alasan diberlakukan aturan moratorium.

Berdasarkan data Kemlu tahun 2014 yang dihimpun KBRI Riyadh dan KBRI Jeddah, sebut Iqbal, setidaknya sudah ada 2.033 kasus yang melibatkan TKI di Arab Saudi. "Rasio kasusnya cukup besar sehingga perlu ada evaluasi," kata Iqbal dihubungi gresnews.com.


PENGIRIMAN ILEGAL -
Tampaknya pemberlakuan aturan pelarangan belum tegak lurus karena ada diindikasikan terdapat  keterlibatan sejumlah agen pengiriman tenaga kerja. Masalahnya, yang dihadapi adalah ketidakjelasan status tenaga kerja yang tidak dilengkapi dokumen dan persyaratan.

Anggota DPR Dede Yusuf menjelaskan, mekanisme pengiriman TKI selama ini dikelola agen-agen penyalur yang telah resmi mendapat izin Kementerian Tenaga Kerja. Tetapi tidak semua agen yang diberikan mandat, menjalankan tugasnya secara legal.

"Masih banyak agen yang melanggar ketentuan dan prosedur. Akibatnya, TKI kerap menjadi korban para calo-calo yang memiliki kerjasama dengan negara tujuan," kata politisi Partai Demokrat itu.

Sebagai gambaran umum, ia menyebutkan saat ini jumlah TKI yang ada di luar negeri mencapai 8 juta jiwa. Sementara, khusus di wilayah Timur Tengah, TKI diprediksi mencapai 5 juta.

Dede menilai, tingginya jumlah tersebut perlu diperkuat dengan pengawasan dan aturan yang ketat. Dalam hal ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) dapat menjalankan fungsi perlindungan bagi setiap tenaga kerja yang ada di luar negeri.

Tak dipungkiri, pengiriman TKI dinilai masih berlangsung walaupun pemerintah sudah resmi melarang ekspor tenaga kerja ke Timur Tengah. Koordinator Aliansi TKI Menggugat (ATKIM) Yusri Albima menilai, aturan moratorium dengan cara mengubah atau mengalihkan kawasan tujuan penempatan agak sulit diterima dan dipatuhi para TKI.

Bahkan, sempat ditemui banyak kasus penempatan dan pemberangkatan secara non prosedural. Sesuai data ATKIM, diperkirakan masih ada sekitar 3 ribu pekerja tiap bulan yang masih dikirim ke Timur Tengah. Yusri pun mengungkapkan, pengiriman melalui cara nonprosedural itu turut melibatkan pihak petugas bandara keberangkatan. Bahkan, aturan pelarangan justru menguntungkan aparat pemerintah di area embarkasi bandara dan pelabuhan.

"Aksi cegat di area embarkasi pemberangkatan sarat dengan kolusi dan pungutan liar," ungkapnya.

BACA JUGA: