JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya tidak perlu mengharapkan dukungan permodalan dari pemerintah untuk meningkatkan kinerja bisnisnya. Sebab hingga kini, belum ada kajian akademis yang menyatakan bahwa pemberian penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN berdampak langsung terhadap kegiatan ekonomi masyarakat.
 
Executive Director & CEO IPMI International Business School Jimmy M Rifai Gani mengatakan BUMN seharusnya seperti sebuah perusahaan swasta yang harus dikelola profesional. Sehingga tidak harus mengandalkan anggaran negara untuk mendongkrak kinerja bisnis. Menurutnya kebutuhan pendanaan BUMN bisa dipenuhi dengan banyak cara, seperti penerbitan obligasi, go public, joint venture, right issue, dan lain-lain.

"Itu lebih cocok buat BUMN ketimbang mengharapkan tambahan dana PMN," kata Jimmy, Jakarta, Senin (23/2)
 
Menurut Jimmy BUMN di China dan Singapura berhasil mengkapitalisasi modal domestik dengan cara mengaktifkan partisipasi publik, selain dari bantuan pemerintah. Termasuk melakukan kerja sama dengan partner asing yang berguna untuk meningkatkan kemampuan perseroan dan mendapatkan transfer teknologi.
 
Maka tak heran apabila BUMN-BUMN tersebut berdaya saing tinggi dan mampu berkompetisi di tingkat global. Jika direksinya bagus, bahkan tanpa mengandalkan PMN dari pemerintah. Apalagi saat ini belum ada kajian tentang dampak langsung PMN kepada rakyat.

"Jangan-jangan dampak PMN hanya untuk BUMN saja, tidak untuk publik," kata Jimmy.

Jimmy menyarankan agar pemerintah fokus mengimplementasi peningkatan daya saing, pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan produktivitas bangsa, apabila negara memiliki ruang fiskal yang cukup besar. Hal tersebut lebih efektif dalam menggerakkan perekonomian rakyat.
 
Pemerintah juga harus mendorong produk dan jasa domestik mampu bersaing dengan asing sehingga dapat mempertahankan pangsa pasar dalam negeri, bahkan meraih pasar ekspor.
 
"Pak Jokowi jangan hanya membicarakan revolusi mental saja, tapi juga perlu revolusi skill atau kemampuan SDM menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.  Sebab, kalau mentalnya bagus tapi keahlian SDM minim, daya saing negara kita akan kalah dengan bangsa lain dan kita akan kehilangan kesempatan yang baik," kata Jimmy.

Sementara itu, peneliti dari Institute Global Justice Salamuddin Daeng menilai saat ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintahan Jokowi dalam kondisi sekarat. Hal itu dikarenakan menurunnya harga minyak, minerba yang selama ini menjadi andalan penerimaan pemerintah. Selain itu, tingginya beban bunga dan utang jatung tempo yang menyedot APBN.

Sementara untuk mendapat utang baru, belum tentu pemerintah dapat dipercaya oleh internasional. Menurutnya cara yang ditempuh Jokowi menyehatkan APBN yaitu dengan cara memeras bangsa sendiri melalui kenaikan pajak setinggi-tingginya dari sektor konsumsi, deposito atau tabungan. Kedua, menaikkan cukai tembakau setinggi-tingginya. Ketiga, memperluas ekstensifikasi pajak.

Keempat, menaikan bunga setinggi-tingginya untuk menyedot penerimaan dari obligasi negara. Menurutnya keempat cara tersebut adalah cara yang paling instan untuk mendapatkan penerimaan negara. Pemerintahan ini dituntut lebih tega dan agresif memburu pajak untuk membiayai beberapa sektor yaitu pertama, cicilan dana bunga utang luar dan dalam negeri.
Kedua, penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN. Ketiga, menalangi perusahaan-perusahaan nasional yang mengalami krisis anggaran karena utang luar negeri yang besar. Keempat, setoran pengusaha-pengusaha di sekitar penguasa melalui berbagai mega proyek infrastruktur.

"Sehingga hanya jika rakyat urunan dengan bersedia untuk dipajaki setinggi-tingginya maka APBN pemerintahan Jokowi bisa diselamatkan," kata Salamuddin.

BACA JUGA: