-
Menulis Populer Turunkan Sikap Radikalis
Sabtu, 14/10/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM – Wakil Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Dr. Waryono, M.Ag., menegaskan, gerakan menulis populer di kalangan akademisi dan peneliti, dipastikan mampu menurunkan penyebaran sikap radikalis di kalangan peneliti.
"Pelatihan menulis populer dan opini mampu menurunkan penyebaran sikap radikalis di kalangan masyarakat Indonesias," ujar Waryono, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (14/10).
Ia menjelaskan, dengan menulis populer yang didasarkan pada data-data dan karya tulis ilmiah, maka pemberitaan yang beredar di masyarakat diwarnai oleh informasi yang akurat. Sebab setiap tulisan ilmiah yang dilakukan peneliti telah melewati saringan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dampaknya, jelas Waryono, masyarakat tidak serta merta menggunakan pendekatan keagamaan untuk membenarkan tindakannya. Dengan demikian, tindakan radikalisme dapat diminimalisasi. "Ada pencerahan yang didapatkan masyarakat dari penulisan populer," papar dia.
Selain itu, penyebaran tulisan populer berdasarkan karya ilmiah juga dapat meningkatkan kecerdasan masyarakat yang membacanya. Sehingga bisa lebih selektif dalam memilah informasi yang perlu dibaca dan yang tidak.
"Menulis populer juga dapat menurunkan penyebaran hoax atau berita palsu yang beredar di masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat tidak terpengaruh untuk bertindak yang tidak tepat," papar dia.
Menurutnya, penulisan populer sangat penting bagi kalangan mahasiswa sebagai bagian dari kalangan akademisi dan peneliti. Apalagi mahasiswa merupakan tulang punggung bangsa yang harus berjuang bagi penyebaran berita-berita produktif dan edukatif.
"Kebiasaan untuk menulis populer akan mendorong mahasiswa untuk menyebarkan informasi berbasis data yang akurat. Hal itu tentunya akan mencegah penyebaran berita hoax dan sifat radikal di kalangan kampus. Dan kami menyambut baik kegiatan ini sebagai upaya perguruan tinggi mengantisipasi penyebaran gerakan radikalisme dan hoax," tandas dia. (mag)
Peringatan 15 Tahun Bom Bali, Momen Ingatkan Tanggung Jawab Negara Kepada Korban
Jum'at, 13/10/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kamis, 12 Oktober merupakan momen bagi masyarakat Indonesia dan beberapa negara, untuk memperingati 15 tahun serangan Bom Bali 1. Peristiwa tragis tersebut telah menewaskan 202 jiwa dan 209 luka-luka.
Intitute for Criminal Justice Reform, (ICJR) dalam kesempatan ini menyatakan, peringatan ini menjadi momen penting bagi Negara Indonesia untuk memberikan dukungan yang sebesar-besarnya kepada para korban serangan Bom Bali. "Terutama bagi para survivor di Indonesia yang belum tersentuh layanan keadilan secara memadai. ICJR melihat masih banyak survivor yang masih mengalami penderitaan, trauma dan penurunan kualitas hidup setelah mengalami peristiwa tersebut," kata Peneliti ICJR Ajeng Gandini Kamilah, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com
Data layanan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 2017 menunjukkan bahwa masih sedikit jumlah korban Bom Bali yang mampu mengakses layanan bantuan medis, psikologis dan psikosial dari Negara. Tercatat bahwa sejak tahun 2016 dan 2017 jumlah korban yang mendapatkan layanan bantuan medis, psikologis dan psikososial di LPSK hanya sebanyak 36 orang.
Dari 36 orang yang masih aktif di tahun 2017 sebanyak 26 korban sedangkan 10 orang layanan telah ditutup. "Namun LPSK lah satu satunya lembaga resmi yang saat ini melakukan layanan bagi korban bom bali," kata Ajeng.
Terkait pemberian kompensasi, secara formal tidak ada satu pun korban yang tercatat mendapat pemberian kompensasi oleh Negara jika di dasarkan pada putusan pengadilan sesuai dengan mekanisme UU No 15 Tahun 2003. "Pemberian kompensasi berdasarkan putusan pengadilan baru diberikan pada kasus Mariot dan kasus Samarinda 2017. Dan kompensasi ini pun belum di eksekusinya," terang Ajeng.
ICJR masih mendorong secara aktif upaya kompensasi korban dalam Revisi UU Terorisme yang saat ini sedang dibahas DPR agar tidak melulu digantungkan kepada putusan pengadilan. "Mekanisme ini jelas akan mempersulit para korban bom bali untuk mengakses kompensasi karena kasus bom bali telah selesai dalam pengadilan," tegasnya.
ICJR juga mendorong langkah-langkah aktif lembaga-lembaga negara untuk memperkuat layanan bagi para survivor Bom Bali. Langkah langkah ini harus di lakukan dengan cara cara memperkuat layanan, memperkuat porsi anggaran bagi korban dan mulai menyusun-memverifikasi jumlah survivor agar dapat mengakses layanan korban.
"ICJR sangat yakin masih banyak survivor yang belum tersentuh secara memadai oleh layanan," pungkas Ajeng. (mag)
Diatur Dua UU, Dasar Hukum Pemenuhan Hak Korban Terorisme Kuat
Kamis, 12/10/2017 12:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM – Dasar hukum pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme diatur oleh dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, karena diatur oleh dua undang-undang sekaligus, maka perlindungan dan pemenuhan hak korban terorisme dianggap sudah sangat kuat, baik hak untuk mendapatkan bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial maupun kompensasi.
"Bagaimana mekanisme korban terorisme mengakses hak-haknya, termasuk dalam hal kompensasi, ini yang belum diatur perundang-undangan. Dalam pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, inilah salah satu hal yang akan disempurnakan," kata Semendawai dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (12/10).
Semendawai mengungkapkan, hingga saat ini, LPSK tengah memberikan sebanyak 118 layanan bagi korban terorisme, terdiri dari bantuan medis sebanyak 38 layanan, rehabilitasi psikologis 29 layanan, rehabilitasi psikososial 28 layanan dan fasilitasi kompensasi sebanyak 18 layanan.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menuturkan, awalnya fokus pada pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya fokus pada pencegahan, penindakan dan deradikalisasi. Kemudian LPSK berinisiatif agar perlindungan saksi dan korban dapat diatur dalam revisi UU. "Hanya ada 6 pasal tentang perlindungan saksi dan korban dalam UU tersebut," katanya.
Menurut Edwin, pada kenyataannya banyak hal yang dibutuhkan korban namun belum ter-cover dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dan harus dimasukkan dalam revisi UU Terorisme. Hal tersebut belajar dari pengalaman LPSK dalam melakukan pemenuhan hak korban terorisme selama ini, seperti penanganan sesaat bagi korban setelah terjadinya peristiwa terorisme.
Dalam memberikan bantuan kepada korban, lanjut Edwin, juga dibutuhkan surat keterangan korban dari penyidik. Terkait itulah, dalam pembahasan revisi UU Terorisme, dimasukkan kewajiban penyidik untuk menetapkan siapa saja korban dalam suatu peristiwa terorisme.
Sedangkan untuk kompensasi, dalam praktik selama ini dimasukkan dalam tuntutan. "LPSK meminta agar kompensasi sudah masuk sejak penyidikan. Ini penting agar proses kompensasi terus dibawa dari mulai penyidikan hingga sidang," ujar Edwin. (mag)
Dua Hal Penting Antisipasi Aksi Teror Kombatan ISIS yang Kembali ke Indonesia
Kamis, 21/09/2017 12:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Meski 84 Warga Negara Indonesia yang diduga terlibat dalam kelompok ISIS di Irak dan Suriah sudah kembali ke Indonesia, aparat keamanan tetap tak bisa menangkap mereka. Alasannya, aparat keamanan tak memiliki bukti terkait kegiatan mereka di luar negeri.
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin, sejatinya aparat keamanan bisa melakukan tindakan terhadap WNI yang terafiliasi dengan kelompok teroris dan terlibat dalam pertempuran di negara lain, kalau saja ada Undang undang yang mengatur khusus soal itu.
"Pertama yang harus dilakukan adalah membuat aturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan aparat keamanan dalam menindak WNI yang terlibat dalam aksi terorisme di negara lain," ujar Hasanuddin di Jakarta, Rabu (20/9).
Kedua, sambung Hasanuddin, guna mengantisipasi adanya aksi teror, aparat keamanan dan masyarakat juga harus aktif dalam melakukan pengawasan terhadap para terduga kombatan ISIS yang telah kembali ke Indonesia.
"Tidak hanya aparat saja yang aktif melakukan pengawasan, masyarakat juga harus berperan aktif. Misalnya, RT dan RW di setiap lingkungan harus sering berinteraksi dengan warganya. Kalau ada gerak gerik warganya yang mencurigakan, segera lapor aparat keamanan," tukas bekas Kepala Staf Garnisun Wilayah DKI Jakarta ini.
Sebagaimana diketahui, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol. Setyo Wasisto, mengungkap ada sebanyak 84 Warga Negara Indonesia yang diduga terlibat dalam kelompok terorisme sudah dipulangkan dari Irak dan Suriah. Data itu berdasarkan informasi dan data dari Densus 88 Anti-Teror dan intelijen sejak 18 September lalu.
Namun Polri tidak bisa melakukan penangkapan karena aksi terorisme yang dilakukan mereka dilakukan di luar negeri dan bukan di Indonesia. "Kalau mau ditindak, dasarnya apa? Mereka belum melakukan kegiatan terorisme di Indonesia kan, kan belum ada Undang-undangnya," katanya
Adapun jumlah WNI yang tercatat terlibat fenomena foreign terrorist fighter (FTF) dan saat ini masih berada di Irak dan Suriah sebanyak 343 orang dengan rincian 239 pria dan 104 wanita. "Kalau anak-anak ada 59 pria, perempuan 40, jadi jumlah anak-anak 99 orang," ujarnya.
Selain itu, data jumlah WNI yang tewas dalam aksi terorisme di Irak dan Suriah berjumlah 97 orang, dengan 95 pria dan dua wanita. (mag)
RUU Terorisme Harus Akomodir Perspektif Gender
Kamis, 14/09/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Anggota Pansus RUU Terorisme DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, akhir-akhir ini makin banyak perempuan di dalam maupun luar negeri yang menjadi pelaku terorisme. "Bahkan siap meledakkan dirinya dengan bom bunuh diri seperti Dian Yulia Novi yang akan meledakkan diri di Istana Presiden di akhir 2016," tegas Bobby dalam diskusi ´Perempuan dalam Radikalisme dan Terorisme´ di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Rabu (13/9) seperti dikutip dpr.go.id.
Karena itu, dia menegaskan, RUU Tindak Pidana Terorisme yang tengah dibahas diharapkan mengakomodir perspektif gender atau keterlibatan perempuan, baik sebagai pelaku maupun korban gerakan terorisme. Bobby mengatakan, perempuan semakin banyak dimanfaatkan sebagai subyek gerakan teroris.
Perempuan banyak menjadi martir atau kombatan teroris. Seperti di Boko Haram, Afrika, Irlandia Utara bahkan Indonesia. "Mengapa? Sebab, perempuan mudah dipengaruhi dengan doktrinasi ideologi radikal karena tak memiliki akses pengetahuan keagamaan ke luar kelompoknya, situs sebagai sumber informasi keagamaan juga dari kelompok mereka saja, sehingga mudah menjadi radikal," paparnya.
Selain itu berbagai macam modus digunakan komplotan terorisme untuk merekrut perempuan, seperti mengikuti suami ke Suriah dengan alasan pernikahan padahal sebagai upaya untuk merekrut teroris perempuan. Karena itu, Bobby menambahkan, untuk mencegah penyebaran ajaran radikalisme tersebut telah dilakukan Fatayat NU dengan menugaskan 1.000 kader untuk memberi ceramah di tengah masyarakat."Jadi, gender ini materi baru dalam RUU Terorisme. Di draft pemerintah pun belum ada draft gender, sehingga harus diakomodir," pungkasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur C-Save Mira Kusumarini berpandangan, selama ini perumusan RUU Terorisme belum memiliki perspektif gender, sehingga cenderung mengabaikan posisi perempuan. Padahal, perempuan memiliki posisi strategis dalam isu ‘Countering Violent Extremism atau anti terorisme’.
"Perempuan bisa menjadi pelaku maupun korban. Disebut sebagai korban akibat ketidaktahuan akan aktivitas terorisme pasangannya dan memungkinkan mereka menerima hukuman berat seperti hukuman mati tanpa pertimbangan khusus," tutur Mira.
Sementara itu, Kepala Bidang Rehabilitasi Vokasional Kemensos Neneng Ratnaningsih melaporkan, terdapat 161 deportan dari luar negeri seperti Suriah, Turki, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam terdiri dari 43 perempuan dan 79 anak-anak berusia sekolah. Ada yang berasal dari Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.Sedangkan yang terbesar direhabilitasi Kemensos adalah berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Untuk mengurangi paham radikal, Kemensos RI melakukan pendampingan selama 24 jam.
"Semula mereka mengganggap semua yang di luar adalah kafir. Jangankan menjawab salam, melihat kita saja mereka tak mau," jelas Neneng. (mag)
Saran PPP Selesaikan Radikalisme
Sabtu, 09/09/2017 19:35 WIBKetua Umum PPP M Romahurmuziy (Romi) memberikan saran kepada pemerintah untuk penangkalan radikalisme di Indonesia. Menurutnya Presiden Joko Widodo perlu merangkul semua komponen.
"Persoalan penangkalan radikalisme tidak bisa ditangani sendirian," ujar Romi di Sumatera Selatan, Sabtu (9/9).
Kendati demikian, Romi menilai pemerintah telah serius dalam menyikapi persoalan radikalisme ini. Hal itu terbukti dengan adanya Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
"UKP-PIP ini terkait dengan pembudayaan dan pembiasaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari," jelasnya.
Menurutnya Pancasila memang harus diperhatikan. Pasalnya itu merupakan titik temu dari semua perbedaan dan semua kepentingan.
Ia juga mengatakan, jika isu radikalisme berbasis agama telah menjadi wacana di mana-mana, sehingga perlu lebih difokuskan. Karena imbalan dari radikalisme berbasis agama adalah surga sehingga banyak umat yang rela mengorbankan segalanya. (dtc/mfb)LPSK Bisa Inisiasi Dana Abadi bagi Korban Terorisme
Jum'at, 08/09/2017 09:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM – Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban kembali menagih tanggung jawab negara untuk mengalokasikan lebih banyak anggaran bagi korban terorisme. Anggaran dimaksud bisa berbentuk dana abadi yang dikelola suatu lembaga khusus yang menangani pemenuhan hak korban terorisme. Direktur Eksekutif ELSAM Wahyu Wagiman mengatakan, negara seharusnya sudah memikirkan untuk menyiapkan dana abadi bagi korban terorisme yang tidak sulit diakses."LPSK harusnya bisa menjadi pelopor dan menginisiasi dana abadi karena hal seperti ini belum ada di Indonesia, beda dengan beberapa negara lain," ujar Wahyu dalam konferensi pers di kantor LPSK, Jakarta, Kamis (7/9), yang mengambil tema: ´Memperjuangkan Kompensasi bagi Korban Terorisme´.
Selain Wahyu Wagiman, turut menjadi narasumber Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dan Sekretaris Jenderal LPSK Noor Sidharta. Dalam kesempatan itu, Wahyu mempertanyakan praktik saat ini, dimana alokasi anggaran untuk program deradikalisasi lebih besar. Sebaliknya, alokasi anggaran untuk korban terorisme minim dan tak kunjung ada kemajuan."Koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk mendorong lembaga seperti LPSK agar melayani korban lebih maksimal, baik administrasi maupun anggaran," katanya.
Dia mengungkapkan beberapa catatan dalam pemenuhan hak korban terorisme, antara lain masalah kompensasi yang harus melewati pengadilan. Namun, terkadang penuntut umum lupa memasukkannya ke dalam tuntutan. Catatan lain masalah bantuan baik medis, psikologis maupun psikososial.
Menurut Wahyu, berkaca pada beberapa kasus terorisme, seperti Bom Bali I dan II, masih banyak korban yang harus berobat sendiri dan tidak dibiayai negara. Hal ini menjadi masalah bersama. Karena itulah momen revisi UU Pemberantasan Tindah Pidana Terorisme yang dilakukan saat ini seharusnya dapat mengatasi situasi tersebut.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengakui, hingga saat ini, anggaran LPSK terbilang cukup kecil dibandingkan lembaga lain yang juga menangani permasalahan terorisme, dimana per tahunnya anggaran LPSK berkisar Rp75 miliar. Jumlah anggaran bagi korban terorisme tersebut lebih kecil dari anggaran untuk pencegahan dan penindakan.
Terkait pembahasan revisi UU Pemberantasan Terorisme, Semendawai berpendapat, tekanan tidak hanya ditujukan kepada pencegahan atau penindakan semata, melainkan juga terkait penanganan saksi dan korban. Karena dalam konsep awal revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hal ini tidak banyak dibicarakan.
Semendawai berharap revisi UU Pemberantasan Terorisme dapat memperkuat keberadaan LPSK yang sudah melayani korban kejahatan termasuk dalam tindak pidana terorisme. "Biarkan perlindungan pelapor, saksi dan korban terorisme tetap dilakukan LPSK seperti yang sudah berjalan saat ini," tutur dia. (mag)
Diduga Terlibat Terorisme, 2 WNI Ditangkap di Malaysia
Rabu, 06/09/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Sejumlah 2 Warga Negara Indonesia ditangkap aparat kepolisian Malaysia, karena diduga terlibat terorisme. Secara kesleuruhan, polisi Malaysia menangkap 19 orang terduga teroris dan dari jumlah itu 11 diantaranya adalah warga asing termasuk 2 WNI.
Seperti dilansir media lokal Malaysia, The Star, Selasa (5/9), mereka yang ditangkap dicurigai terlibat kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan militan Abu Sayyaf. Namun mereka tidak saling terkait atau berasal dari beberapa sel teror berbeda.
Penangkapan dilakukan oleh Divisi Pemberantasan Terorisme Bukit Aman antara 4 Juli hingga 30 Agustus lalu. Disebutkan Kepolisian Malaysia bahwa penangkapan dilakukan dalam sejumlah penggerebekan di empat wilayah berbeda, yakni Kelantan, Kuala Lumpur, Selangor dan Johor.
"Kami juga menangkap dua pria Indonesia, yang berusia 29 tahun dan 47 tahun, di Petaling Jaya pada 25 Agustus karena secara aktif merekrut militan untuk IS (nama lain ISIS) dan berencana pergi ke Suriah," terang Inspektur Jenderal Kepolisian Malaysia, Mohamad Fuzi Harun, dalam pernyataannya. Mohamad Fuzi Harun baru saja ditunjuk menggantikan Khalid Abu Bakar, Inspektur Jenderal Kepolisian Malaysia sebelumnya.
Kesebelas warga negara asing yang ditangkap terdiri atas satu warga Bangladesh, dua warga Maladewa, tiga warga Irak, satu pria Palestina, dua WNI dan dua warga Filipina. Di antara mereka yang ditangkap, terdapat delapan anggota kelompok militan Abu Sayyaf yang berbasis di Mindanao, Filipina.
Sisanya diduga terlibat ISIS, termasuk dua WNI yang ditangkap di Petaling Jaya. Namun sayangnya, tidak diketahui pasti identitas kedua WNI yang ditangkap otoritas Malaysia ini.
Terkait delapan anggota kelompok Abu Sayyaf yang ditangkap dalam penggerebekan di Cheras pada 30 Agustus, Mohamad Fuzi menyebut salah satu dari mereka berencana melakukan serangan teror saat upacara penutupan SEA Games dan peringatan Hari Kemerdekaan Malaysia.
"Otak utama dari kelompok ini adalah seorang pria berusia 25 tahun yang menyusup ke Sandakan, Sabah dan bergerak ke Kuala Lumpur pada Desember 2015. Dia terlibat dalam penculikan 6 warga Filipina juga pernah bentrok dengan militer Filipina," terangnya.
"Kami menerima informasi intelijen bahwa tersangka yang sama berencana melakukan serangan saat penutupan SEA Games di Bukit Jalil dan saat perayaan Hari Kemerdekaan di Dataran Merdeka," imbuh Mohamad Fuzi, merujuk pada dua peristiwa yang sama-sama jatuh pada 30 Agustus lalu.
Seluruh terduga teroris yang ditangkap akan dikenai pasal Undang-undang Keamanan 2012 (Sosma), yang mengatur langkah-langkah khusus terkait berbagai pelanggaran keamanan demi menjaga ketertiban dan keamanan publik Malaysia. (dtc/mag)
ICJR Apresiasi Tuntutan Kompensasi Bagi Korban Terorisme dalam kasus Bom Samarinda
Jum'at, 01/09/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for criminal Justice reform (ICJR) mengapresiasi tuntutan kompensasi yang diajuka oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pengeboman di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Seperti diketahui, dalam persidangan hari Kamis (31/8), JPU membacakan tuntutan dalam kasus tersebut, atas terdakwa Juhanda Cs.
Dalam tuntutannya JPU memasukkan klausul Tuntutan Pembayaran Kompensasi kepada korban dengan kompensasi sebesar Rp1,47 miliar. Dalam Tuntutan, JPU meminta negara membayar kerugian untuk 7 orang korban yang mengklaim mengalami kerugian.
Masing-masing yakni, korban pertama Rp128,56 juta; korban kedua Rp118,79 juta dan korban ketiga Rp124,17 juta. Kemudian korban keempat Rp131,77 juta, korban kelima Rp305,59 juta, Korban keenam Rp534,13 juta, dan Korban Ketujuh Rp 136,50 juta.
"Menurut ICJR, ini merupakan tuntutan resmi pertama kompensasi yang diajukan dalam surat tuntutan di Indonesia. Sebelumnya jaksa hanya membacakan permohonan Kompensasi dan tidak memasukkannya dalam tuntutan," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W Eddyono dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (1/9).
Misalnya Pada kasus Bom Thamrin, proses permohonan kompensasi dari 9 korban sebesar Rp1,3 miliar yang difasilitasi LPSK hanya dibacakan JPU bersamaan dengan tuntutan. "Dampaknya, majelis hakim tidak mempertimbangkan korban Bom Thamrin," kata Supriyadi.
Sedangkan pada Kasus JW Mariot, JPU membacakan permohonan kompensasi namun tidak memasukkanya dalam tuntutan. "Namun majelis hakim justru mengabulkan permohonan kompensasi korban," terangnya.
Hak atas kompensasi bagi korban terorisme telah diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 12 A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, juga pasal 36 Perpu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana ditetapkan sebagai UU Nomor 15 tahun 2003. Namun implementasi tuntutan Kompensasi masih jadi perdebatan oleh JPU.
"Dengan keluarnya surat edaran dari Jaksa Agung kepada Kepala Kejaksaan Tinggi se-Indonesia agar memperhatikan permasalahan kompensasi korban terorisme, diharapkan telah memutuskan masalah keragu-raguan JPU untuk memasukkan kompensasi dalam surat tuntutan," pungkas Supriyadi. (mag)
Perlu Ada Pemisahan Napi Teroris dan Umum
Rabu, 30/08/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus bentrokan yang terjadi antara narapidana teroris dengan narapidana umum di Lapas Klas IIA Pamekasan, Madura, Jawa Timur, memunculkan wacana untuk memisahkan antara napi teroris dan umum. Pasalnya, gesekan serupa juga kerap terjadi di lapas maupun rutan lainnya di Jawa Timur.
Solusi agar tidak terjadi gesekan, diperlukan rumah tahanan (rutan) khusus napi teroris. "Hampir di semua lembaga pemasyarakatan, memang terjadi friksi antara napi teroris dengan napi umum," kata Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenkumham Jatim Susy Susilawati, Selasa (29/8).
Pada pertengahan tahun lalu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyampaikan, siap mendukung rencana pembangunan rutan khusus napi teroris. Dengan pemisahan rutan terorisme, untuk mengantisipasi terjadi keributan dengan napi umum atau narkoba lainnya. Selain itu, juga meminimalisir ´bertambahnya´ bibit pelaku teror dari napi umum atau napi narkoba.
"Memang diperlukan rutan khusus napi terorisme. Kami akan menemui gubernur, untuk menindaklanjuti rencana tersebut," ujar Susy.
Jumlah napi terorisme yang ditahan di lapas di Jatim sebanyak 40 orang. Mereka tersebar di 9 lapas diantaranya Lapas Porong, Lapas Madiun, dan Lapas Kediri. "Setiap lapas jumlah napi terorisnya bervariasi," ujarnya.
Kehadiran napi teroris di setiap lapas, juga rawan terjadi pergesakan dengan napi umum lainnya. Bahkan, pada Sabtu (26/8) kemarin, terjadi keributan di Lapas Pamekasan. 5 napi teroris dikeroyok puluhan napi umum lainnya. Akibat pengereoyokan tersebut, seorang napi mengalami luka tusuk di bagian dadanya.
Kurang dari 24 jam usai kejadian itu, Kemenkumham Jatim memindahkan 5 napi teroris itu ke Sidoarjo. 1 napi dipindahkan ke Lapas Klas II Sidoarjo. Sedangkan 4 napi teroris lainnya dipindah ke Lapas Porong. Napi bernama Agung Fauzi dikeroyok puluhan napi kasus umum. "Ada satu napi yang mengalami luka karena benda tajam," kata Susy Susilawati.
Saat itu 5 napi teroris dikeroyok puluhan napi umum. Akibat pengeroyokan tersebut, napi teroris Agung Fauzi mengalami luka tusuk di bagian dada. Agung terluka akibat ditusuk benda tajam dari sikat gigi yang sudah ditajamkan.
Agung pindahan dari Lapas Malang ini dilarikan ke rumah sakit. Kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum dr Soetomo, Surabaya. "Kondisinya sekarang sudah membaik," ujar Susy. (dtc/mag)
Rencana Gila Teroris Serang Istana
Rabu, 16/08/2017 11:00 WIBYang mengagetkan, seperti diungkapkan Yusri, kelima terduga teroris ini menargetkan sasaran tingkat tinggi. Kelima terduga teroris itu, berencana melakukan aksi peledakan di Mako Brimob hingga Istana Negara Jakarta.
Jokowi Tegaskan, Terorisme Ancaman Nyata Bagi ASEAN
Sabtu, 12/08/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Jokowi menegaskan, ancaman terorisme merupakan ancaman nyata yang dihadapi ASEAN. Hal itu ditegaskan Jokowi saat menghadiri peringatan 50 tahun Association of South East Asia Nations (ASEAN).
"Ancaman terorisme merupakan ancaman yang nyata, serangan terorisme di Marawi menjadi wake up call bagi kita yang perlu direspons dengan segera," ujar Jokowi di Sekretariat ASEAN, Jl Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (11/8).
Jokowi mengajak negara-negara di ASEAN sama-sama memerangi terorisme. Dia lalu menyebutkan bentuk kerja sama untuk memerangi terorisme di Marawi seperti yang dilakukan Indonesia, Filipina, dan Malaysia pada 22 Juni 2017.
"Indonesia juga kembali menggagas pertemuan sub-regional bersama dengan Australia, Selandia Baru, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina di Manado tanggal 29 Juni 2017," kata dia.
Jokowi yakin terorisme bisa dilawan jika negara-negara ASEAN bekerja sama. Tak hanya terorisme, kejahatan lintas batas lainnya juga harus diperangi dengan bekerja bersama. "Saya yakin dengan kerja sama yang lebih erat, lebih kuat, kita bersama-sama akan mampu melawan ancaman terorisme di kawasan ini," ungkap Jokowi. (dtc/mag)
S Diduga Danai Keberangkatan Teroris ke Suriah dan Filipina
Jum'at, 11/08/2017 14:13 WIBDensus 88 Antiteror menangkap seorang pria berinisial S di Perumahan Melia Grove, Paku Jaya, Serpong, Tangerang Selatan, pagi tadi. Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan S diduga mendanai orang-orang yang hendak berangkat ke Suriah dan Filipina.
"Mereka melakukannya dengan cara mengalang dana," jelas Martinus di gedung Divisi Humas, Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (11/8).
Namun Martinus tak menerangkan lebih rinci bagaimana penggalangan dana tersebut dilaksanakan. Saat ini S telah dibawa ke Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat untuk dilakukan pemeriksaan intensif.
Sementara itu, Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengucapkan S dibawa ke Mako Brimob bersama istri dan seorang anaknya dengan menggunakan kendaraan dinas Polres Tangsel.
Dari penelusuran S menyewa sebuah rumah dengan harga Rp 35 juta per tahun. Dia diketahui sudah tinggal selama kurang lebih 2 tahun.
"Yang saya tahu sih dia baru 2 tahunan tinggal di sini, kontrak," ujar seorang tetangga yang enggan disebutkan namanya ketika ditemui di lokasi di Perumahan Cluster Melia Grove, Kelurahan Paku Jaya, Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan, Jumat (11/8).
Tetangga itu mengaku kenal dengan SPT tetapi kurang akrab. Dia menyebut polisi sempat memasang police line di rumah itu tetapi kini sudah dilepas.
"Sama polisi juga tadi nggak boleh foto-foto atau videoin," ujar tetangga itu.
Rumah itu ditempati SPT bersama istri dan 2 anaknya. Tampak di bagian depan rumah terdapat 1 unit mobil minibus putih Mazda VX-1 dan 1 unit sepeda motor matic serta 2 sepeda anak.
Penangkapan itu dilakukan tim Densus pagi tadi sekitar pukul 06.30 WIB. Saat itu, S tengah mengendarai motor bersama anaknya untuk berangkat ke sekolah. S pun langsung dibawa ke Mako Brimob Kelapa Dua. Istri dan 2 anak SPT juga turut dibawa. (dtc/mfb)
Warga Kembali Tertembak, Presiden Diminta Evaluasi Satgas Tinombala
Sabtu, 05/08/2017 13:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM — Seorang Warga bernama Simson alias Suju kembali tewas ditangan teroris yang gentayangan di sekitar Poso Pesisir dan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Kamis (3/8). Tewasnya Simson tersebut mengisi daftar panjang warga korban terorisme dan berlarut-larutnya masalah keamanan di Poso dan Parimo, Sulawesi Tengah.
Tokoh Muda Poso Rizal Calvary Marimbo meminta Presiden Joko Widodo segera mengevaluasi Satgas Tinombala yang ditempatkan di Sulteng. "Kita minta Bapak Presiden mengevaluasi Satgas Tinombala. Barangkali butuh penyegaran atau perlu diganti dengan operasi pasukan khusus untuk membasmi sisa-sisa teroris di gunung-gunung," ujar Rizal, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Sabtu (5/8).
Rizal mengatakan, masalah gangguan keamanan di sekitar Poso Pesisir dan Parimo sudah berlarut-larut dan herannya sisa-sisa kelompok teroris belum juga tertangkap semua. "Kita tidak tahu ada apa sampai bisa begitu lama. Dulu pemerintah pusat menumpas DI TII dan Permesta di sana tidak sampai satu bulan dengan teknologi persenjataan yang sederhana. Kenapa masalah Poso-Parimo ini berlarut-larut, ada apa sih?" ujar dia.
Sebagaimana diketahui Kamis (3/8) kemarin, saat berangkat ke kebun di kawasan pegunungan Pora, Desa Parigimpu, Sulawesi Tengah, Simson tewas ditangan buronan teroris yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian setempat. Saksi kunci kejadian itu membeberkan, kejadian berawal saat mereka melintas di jalur pegunungan itu.
Tak lama berselang, sekelompok orang mulai mendatangi mereka dan menarik si saksi kunci. Tak terima rekannya ditarik, Simson berusaha melawan dan melepaskan temannya itu. Seketika salah satu pelaku melepaskan tembakan ke dada kiri Simson.
Saksi lalu kabur memanggil warga dan polisi. Kapolda Sulteng Brigjen Polisi Rudy Sufahriadi memaparkan ciri-ciri ketujuh pelaku yang dinilai sama dengan anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Rizal meminta agar pemerintah pusat segera menuntaskan masalah keamanan di Sulawesi Tengah. Pasalnya, ancaman keamanan disana sudah sangat merugikan bagi perekonomian di Sulawesi Tengah. "Apalagi dalam waktu dekat Presiden Jokowi akan meresmikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu. Ini kan lucu sekali, pengacau keamanan masih gentayangan," ucap Rizal.
Dia mengatakan, Sulawesi Tengah nantinya akan memiliki dua kawasan komersil dan industri yang besar yakni KEK Palu dan Kawasan Industri Morowali. Kedua kawasan ini berada disekitar kawasan gerombolan teroris yang tidak juga terselesaikan penangkapannya.
"Secara psikologis ini tidak nyaman bagi investor, apalagi ada kawasan wisata Danau Poso, Togean, Agri Wisata di Napu-Bada, ada KEK Pal uterus ada kawasan industri Morowali," papar dia.
Rizal mengusulkan, sebaiknya dipertimbangkan operasi militer secara besar-besaran oleh pasukan khusus TNI. "Kan sudah ada prosedurnya dan dibuatkan payung hukumnya, bagaimana militer bisa terlibat langsung di sana," pungkas dia. (mag)
Pansus RUU Terorisme Akhirnya Sepakati Pasal Penyadapan
Kamis, 27/07/2017 17:29 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Terorisme (Pansus RUU Terorisme) dan pemerintah akhirnya menyepakati penerapan pasal penyadapan dalam RUU tentang Terorisme. Pasal penyadapan selama ini menjadi isu yang alot dalam proses pembahasan, namun akhirnya ditemukan jalan tengah bahwa penyadapan bisa dilakukan lebih dulu, namun dalam waktu 3 sekurang-kurangnya 3 hari harus memperoleh persetujuan ketua pengadilan.
Ketua Pansus RUU Terorisme M. Syafi’i mengatakan penyadapan terhadap orang yang diduga mempersiapkan, merencanakan atau melaksanakan tindak pidana terorisme idealnya harus memperoleh persetujuan Ketua Pengadilan. Namun di lapangan bisa saja ada hal-hal yang luar biasa, kalau menunggu izin dulu, situasinya bisa berubah.
"Maka akhirnya kita menemukan solusi. Orang bisa menyadap dulu baru meminta persetujuan, maka disepakati ada tiga poin catatan,” kata Syafi’i usai rapat Pansus di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (26/7).
Tiga catatan yang diberikan pansus itu, Pertama, dalam keadaan yang bisa mengakibatkan bahaya maut atau luka fisik yang serius dan mendesak.
Kedua, adanya permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara. Dan ketiga, pemufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi.
"Tiga catatan ini rawan dilanggar sehingga harus diatur secara jelas,” imbuh Syafi’i seperti dikutip dpr.go.id.
Menurut Politisi asal dapil Sumut itu, pembahasan soal pasal penyadapan ini diakui berjalan alot karena berhadapan dengan kebebasan dan hak asasi manusia yang privat. Sehingga ia ingin persoalan penyadapan ini berlangsung sesuai dengan prosedur dan tidak semena-mena.
Dalam rumusan RUU Terorisme pasal 31 A, disebutkan dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga mempersiapkan dan/atau melaksanakan tindak pidana terorisme. Penyidik harus memberitahukan ketua pengadilan untuk mendapat persetujuan dalam jangka waktu tiga hari.(rm)