-
Begini Peran Dirut DJM di Pengadaan Heli AW 101
Senin, 06/11/2017 18:36 WIBKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan peran Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh dalam jawaban praperadilan kasus pengadaan helikopter AW 101. KPK menyebut Irfan bekerja sama dengan anggota TNI AU untuk melakukan pengadaan proyek.
"Termohon menyampaikan secara yuridis jelas telah ada bukti dugaan keterlibatan pemohon dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan helikopter AW 101 yang penyidikannya dilakukan termohon. Dengan demikian tidak benar apabila pemohon mendalilkan pemohon tidak terlibat dalam perkara tersebut," kata anggota biro hukum KPK, Juliandi Tigor Simanjuntak, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/11).
KPK menyebut Irfan yang merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri merupakan agen dari pabrikan Agusta Westland untuk Indonesia. Helikopter VVIP ini juga sebenarnya merupakan helikopter yang dipesan oleh India pada saat itu, namun otoritas India kemudian membatalkannya dengan alasan adanya praktek korupsi dalam pengadaannya.
Juliandi menyebut KPK memiliki bukti keterlibatan Irfan dalam pengadaan helikopter angkut AW 101. Irfan disebut telah melakukan pembayaran uang sebesar USD 1 juta kepada pihak Agusta Westland untuk memesan helikopter VVIP. Pembayaran itu diduga dilakukan sebelum pengadaan helikopter tersebut.
"Bahwa setelah pemohon melakukan pembayaran uang sejumlah USD 1 juta kepada Agusta Westland, Pemohon diminta membuat proposal pengadaan helikopter VVIP yang kemudian proposal tersebut menjadi dasar pengadaan," ujar Juliandi.
"Karena pemohon telah membayarkan uang sejumlah USD 1 juta kepada Agusta Westland pada saat pengadaan belum dilakukan, maka oknum dari TNI AU kemudian tetap melakukan pengadaan helikopter namun mengganti dengan spesifikasi angkut," kata Juliandi.
Akan tetapi helikopter yang tiba bukan lah helikopter jenis angkut, melainkan helikopter VVIP. Barang tersebut disebut tidak sesuai dengan perencanaan sebelumnya.
"Pada kenyataannya helikopter yang tiba bukan lah jenis helikopter angkut melainkan helikopter VVIP, yang pemesanan tidak sesuai dengan yang sudah direncanakan sebelumnya sehingga pihak TNI AU tidak mau menerima helikopter tersebut dan saat ini helikopter itu masih berada di Bandara Halim Perdanakusuma," ujarnya.
Sebelumnya dalam dalil permohonannya, Irfan menyebut tidak terlibat dalam proses pengadaan dan perubahan peruntukan helikopter AW 101 tipe VVIP menjadi helikopter angkut. Akan tetapi meski dalil permohonan itu telah memasuki materi pokok perkara, KPK tetap menjawabnya yang terbatas pada wewenang praperadilan. KPK menyebut akan lebih merinci pembuktian keterlibatan pemohon dalam sidang materi di Pengadilan Tipikor nantinya. (dtc/mfb)Alasan KPK Tak Gelar Peradilan Koneksitas dalam Kasus Helikopter AW-101
Jum'at, 20/10/2017 07:00 WIBTersangka proyek pengadaan helikopter Agusta Westland 101 (AW-101), Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh melayangkan gugatan praperadilan soal peradilan koneksitas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan POM TNI telah bersepakat tak menggelar peradilan koneksitas dengan alasan tertentu .
"Jadi perlu dicermati juga secara hati-hati bahwa ada risiko dari praperadilan ini nantinya. Bukan hanya terkait dengan proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK, tetapi juga berisiko atau berimbas kepada penyidikan yang dilakukan oleh POM TNI terhadap sejumlah tersangka di sana," ungkap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (19/10).
Menurut Febri untuk itu perlu juga melakukan koordinasi dengan POM TNI. Terlebih pada saat pengumuman penetapan tersangka POM TNI sampai datang ke KPK, melakukan koordinasi dengan pimpinan KPK hingga menyampaikan hasil penyelidikannya pada publik.
Dalam penanganan perkara ini, sejak awal KPK dan POM TNI tidak menggunakan peradilan koneksitas seperti yang diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHAP. Sebab sudah ada landasan hukum khusus (lex specialis) yang mengatur dalam Pasal 42 UU No 30 Tahun 2002, yang isinya:
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
"Pengendalian penanganan perkara tentu harus dilihat sesuai dengan kewenangan masing-masing. Kalau pelakunya dari militer, maka itu ditangani oleh POM TNI. Kalau pelakunya dari sipil sesuai dengan kewenangan KPK, itu ditangani oleh KPK," tegas Juru Bicara KPK ini.
Kata kunci dalam Pasal 42, menurut Febri adalah jika pelaku berasal dari militer dan sipil. Sehingga KPK mantap menggunakan landasan hukum itu.
Terlebih, ini bukan kasus korupsi pertama dengan keterlibatan oknum TNI yang ditangani KPK. Contohnya saja kasus pengadaan satellite monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang prosesnya ada yang sudah inkrah, ada pula yang di penyidikan.
"Dan kita berkoordinasi. Dan kita tahu di proses pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi) sudah diproses, dan ada yang sudah divonis bersalah. Jadi sebenarnya hakim, terutama di tipikor saya kira sudah tidak mempermasalahkan kewenangan itu," pungkas Febri.
Untuk menghadapi praperadilan ini Febri mengatakan tim Biro Hukum KPK sudah mempelajari dokumen-dokumen terkait dan berkoordinasi dengan tim penyidik. Sidang sendiri akan mulai dilaksanakan besok (20/10) oleh Hakim Kusno yang juga Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Dalam kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan POM TNI. Ada lima tersangka yang ditetapkan POM TNI, tiga orang di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.
Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
Sementara itu, KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka pertama dari swasta pada Jumat (16/6). Irfan diduga meneken kontrak dengan Augusta Westland, perusahaan joint ventureWestland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, yang nilainya Rp 514 miliar. Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar. (dtc/mfb)Tersangka Korupsi Pengadaan Helikopter Ajukan Praperadilan
Kamis, 19/10/2017 07:00 WIBTersangka Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh yang terbelit kasus korupsi proyek pengadaan helikopter Agusta Westland 101 (AW-101) melayangkan gugatan praperadilan. Dari beberapa materi yang diajukan, ada satu materi baru yang harus dihadapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ada satu hal yang baru yang diajukan di praperadilan ini, yaitu terkait dengan proses praperadilan koneksitas. Itu yang diargumentasikan di sini," ungkap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (18/10).
Penggugat mempermasalahkan penanganan perkaranya oleh lembaga tunggal, yakni KPK, seharusnya yang ditempuh adalah peradilan koneksitas. Yaitu peradilan menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan orang sipil bersama orang militer, seperti diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHAP.
"Sementara KPK menggunakan undang-undang yang bersifat khusus, yang diatur misalnya di Pasal 42 UU KPK (UU No 30 Tahun 2002), yang pada intinya KPK mengkoordinir atau melakukan untuk perkara-perkara dengan pelaku yang berasal dari militer dan nonmiliter, itu KPK bisa mengkoordinir," terang Febri.
Namun KPK mantap menghadapi proses praperadilan yang akan dimulai Jumat (20/10) dengan lebih dulu menyusun strategi, di antaranya mempersiapkan bukti-bukti dan kapan bukti tersebut akan dihadirkan di persidangan.
Dalam kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan POM TNI. Ada lima tersangka yang ditetapkan POM TNI, tiga orang di antaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.
Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara.
Sementara itu, KPK menetapkan Irfan sebagai tersangka pertama dari swasta pada Jumat (16/6). Irfan diduga meneken kontrak dengan Augusta Westland, perusahaan joint venture Westland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, yang nilainya Rp 514 miliar. Namun, dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 224 miliar.
(dtc/mfb)