-
Proposal Fasilitasi Investasi untuk Pembangunan, Kuda Troya Isu Investasi di WTO
Kamis, 14/12/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Beberapa kelompok masyarakat sipil mendesak agar negara-negara berkembang tidak menyepakati proposal baru mengenai isu Fasilitasi Investasi untuk pembangunan (Investment Facilitation for development) di dalam perundingan KTM ke-11 WTO. Isu investasi di WTO yang disebut sebagai "Isu Baru" atau seringkali juga disebut "Isu Singapura" sejak 1996 ditolak oleh negara berkembang dan negara kurang berkembang (LDCs) dengan alasan investasi asing bukan perdagangan, jadi aturannya tidak bisa diatur dalam WTO.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menjelaskan, upaya yang jelas dari negara maju untuk merundingkan isu investasi dicoba kembali di KTM WTO di Cancun Meksiko tahun 2003, dan gagal mencapai konsensus karena sebagaian besar negara menolak. "Desakan untuk memasukan kembali isu investasi dalam perundingan WTO juga menjadi rekomendasi negara-negara maju dalam mengatasi tren proteksionisme global dalam perdagangan dan investasi pada saat pertemuan G20 Summit di Hamburg, Jerman, Juli 2017 yang lalu. Dan KTM ke 11 WTO menjadi momentumnya," papar Rachmi dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (14/12).
Peneliti Third World Network Lutfiyah Hanim berpendapat, usulan perjanjian investasi, dengan berbagai cara, didasari atas anggapan bahwa keberadaan perjanjian investasi akan meningkatkan arus investasi. Sementara, laporan UNCTAD di tahun 2014, menyebutkan bahwa hasil tidak mendukung hipotesis bahwa perjanjian investasi bilateral akan mendorong investasi bilateral, sehingga pemerintah negara berkembang seharusnya tidak berasumsi bahwa menandatangani perjanjian investasi bilateral akan mendorong FDI.
Selain, itu studi Bank Dunia 2011, menemukan bahwa ‘ukuran dan besar potensi pasar’ adalah penentu utama dalam menarik FDI dan bukan adanya perjanjian investasi. "Sebagai contoh, Brazil,tidak memiliki Perjanjian Investasi Bilateral, namun Brazil adalah penerima kelima terbesar FDI di dunia pada tahun 2013," ujar Lutfiyah.
Isu fasilitasi investasi ini tidak hanya berbicara tentang kegiatan fasilitasi yang bersifat administrasi, tetapi juga akan mengatur mengenai aspek perlindungan terhadap investor asing di dalamnya. Sebagian besar aturannya akan mengadopsi isu Bilateral Investment Treaty (BIT) yang sangat kontroversial dengan mekanisme penyelesaian sengketa investasi di mana investor asing bisa menggugat negara di lembaga arbitrase internasional.
"Indonesia sudah punya banyak pengalaman digugat oleh investor asing melalui BIT dengan nilai gugatan hingga milyaran dollar. Sehingga isu investment facilitation di WTO hanya akan menguntungkan negara pengekspor investasi ketimbang penerima investasi seperti Indonesia," pungkas Rachmi.
Sebagai informasi, saat ini, masih berlangsung perundingan KTM ke-11 WTO di Buenos Aires, Argentina. Pertemuan yang dibuka tanggal 10 Desember lalu, diperkirakan akan selesai molor dari waktu yang dijadwalkan tanggal 13 Desember waktu setempat. Semakin banyak proposal negara maju yang didesakan tetapi proposal negara berkembang dan agenda Doha tetap mengalami kemandekan. WTO yang disahkan tahun 1995, saat ini mempunyai 164 negara anggota. (mag)Liberalisasi E-Commerce Di RCEP Jangan Hanya Untungkan Pemain Besar
Sabtu, 28/10/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak kepada Pemerintah Indonesia agar tidak terlalu gegabah dalam membuka sektor ekonomi digital, khususnya e-commerce, dalam perundingan ASEAN Regional Comprehensive Economic Partnerhsip (RCEP) yang dilakukan minggu ini di Incheon, Korea Selatan. Hal ini karena aturan RCEP hanya akan semakin mendorong monopoli korporasi multinasional dibalik agenda e-commerce global.
Desakan ini disampaikan oleh IGJ pada saat usai digelarnya diskusi panel bertema: "Monopoli Multinasional di balik Agenda e-Commerce Global: Posisi Runding Indonesia?", sebagai rangkaian acara dalam Dialog Nasional Indonesian Internet Governance Forum (ID-IGF) 2017 di Kemayoran, Jakarta Utara, (27/10). Diskusi menghadirkan Bhima Yudistira (pengamat ekonomi INDEF), Margiyono Darsasumarja (Komisaris Telkom), dan I Nyoman Adhiarna (Kominfo).
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, yang juga selaku moderator pada diskusi tersebut menyampaikan, porsi ekonomi digital masih didominasi oleh pemain besar. Pelaku usaha lokal, khususnya pelaku kecil tidak menikmati secara langsung porsi kue ekonomi digital di Indonesia.
"Pasar e-commerce kita memang besar, tetapi persentase penguasaan pelaku lokal masih kecil. Apalagi Marketplace yang ada masih didominasi dengan barang luar ketimbang lokal. Jadi jangan sampai akumulasi keuntungannya hanya dinikmati oleh pemain besar luar, khususnya investor penyandang dana perusahaan rintisan teknologi," jelas Rachmi.
Di dalam diskusi para pembicara memaparkan mengenai terjadinya monopoli korporasi multinasional di dalam kegiatan ekonomi digital. Bahwa share e-commerce Indonesia masih dibawah 2%, rasio wirausahanya juga masih rendah yaitu hanya 30%.
Akumulasi keuntungan dari kegiatan non-tunai masih didominasi oleh pelaku usaha di sektor keuangan, salah satunya adalah perbankan. Hal inilah yang akan semakin mendorong melebarnya ketimpangan, dimana sektor riil mengalami penurunan, sektor jasa keuangan justru mengalami kenaikan pertumbuhan yang cukup tinggi. Apalagi kebanyakan transaksi terjadi diluar, sehingga sulit mengitung berapa keuntungan yang di dapat Negara dari transaksi e-commerce ini.
Terkait dengan beberapa isu di dalam perundingan seperti penghapusan custom duties, perlindungan konsumen, cross border data flow, data localization, non-discrimination on digital product, dan perlindungan hak kekayaan intelektual, pembicara dari Kominfo memaparkan bahwa memang terkadang isu yang dirundingkan sudah sangat jauh dimana terjadi gap dengan negara mitra ekonomi dalam perundingan. Bahkan, terkadang aturan di dalam perjanjian dapat diindikasikan hanya mewakili pemain besar ekonomi digital ketimbang pelaku kecil Indonesia yang sebagian besar hanya sebagai merchant.
"Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagaimana di dalam perundingan RCEP mindset pemerintah harus difokuskan pada perlindungan terhadap pelaku lokal dan pasar lokal, ketimbang meliberalisasi tanpa batasan. Pelaku besar harus dikendalikan, dan pelaku lokal harus diperkuat. Maka tidak perlu tergesa-gesa dalam perundingan RCEP atau FTA lainnya bahkan di WTO sekalipun," tutup Rachmi.
Sebagaimana diketahui, bahwa sejak 17 hingga 28 Oktober 2017 tengah berlangsung perundingan ASEAN RCEP putaran ke-20 berlangsung di Korea Selatan. Beberapa isu yang sedang dirundingkan di Korea seperti Trade in Goods, Trade in Services, Investasi, Intellectual Property, dan Electronic Commerce (E-Commerce). (mag)Rezim Jokowi Ditantang Berani Bawa Indonesia Keluar dari WTO
Jum'at, 15/08/2014 00:00 WIBSayangnya, hal tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, Indonesia malah terkesan hanya mengambil jalan tengah sebagai fasilitator untuk mengamankan kepentingan negara maju.