JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia diyakini memiliki lebih banyak peluang dan kekuatan untuk menolak perjanjian Trade Facilitation yang merupakan salah satu hasil dari Paket Bali di Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX World Trade Organization dibandingkan dengan India. Selain memiliki populasi masyarakat yang lebih banyak, Indonesia pun juga menjabat sebagai ketua dan tuan rumah.

Sayangnya, hal tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, Indonesia malah terkesan hanya mengambil jalan tengah sebagai fasilitator untuk mengamankan kepentingan negara maju. Perjanjian Trade Facilitation berisi mengenai aturan pergerakan barang di kepabeanan, setiap negara yang menandatangani perjanjian ini haruslah membangun fasilitas ekspor impor untuk memudahkan perdagangan bebas di antara anggota WTO.

Jelas hal ini sangat merugikan negara berkembang sebagai pasar penjualan barang impor. "Di negara maju, fasilitas pelabuhan canggih, komputer untuk memudahkan pendataan barang dan fasiitas lainnya memang sudah terbangun. Lain halnya dengan negara berkembang, kita perlu membangun itu dari awal. Padahal fasilitas dalam negeri yang diperuntukan bagi rakyat saja belum mumpuni," ucap Lutfiyah Hanim, Program Manager Indonesia for Global Justice (IGJ) kepada Gresnews.com di Sekretariat IGJ, Tebet Barat, Kamis, (14/8).

Menurutnya, Indonesia harus mengikuti langkah India menolak perjanjian Trade Facilitation karena terhitung 2010 perdagangan di sektor pertanian terus mengalami defisit, kondisi petani juga masih jauh dari kata sejahtera.

Terbukti dengan Nilai Tukar Petani (NTP) untuk subsektor pangan yang juga menurun. Pada periode Juni-Juli tercatat dari 98,22 menjadi 98,04. "Kami sebagai masyarakat sipil yang turut mengikuti jalannya KTM merasa iri terhadap pemerintah India yang mau blak-blakan membela dan bercerita keadaan nyata di negaranya. Berbeda dengan Indonesia yang mementingkan pasar dan bertambah liberal," ucap Lutfiyah.

Pada kesempatan yang sama, Achmad Yakub, Sekretariat Bina Desa juga mengatakan, perjanjian Trade Facilitation ini dibuat untuk hanya menguntungkan satu pihak saja. Karena ketika negara yang menandatangani perjanjian tiba-tiba di suatu saat tidak memiliki dana pembangunan, jalan satu-satunya yang harus dilakukan meminjam dana dari World Bank dan IMF.

"Tentu ini akan menjadi masalah baru, bertambahnya hutang luar negeri negara berkembang. Lingkaran ini sengaja dibuat untuk menjerat negara berkembang dan kembali menyejahterakan negara maju," ujarnya kepada Gresnews.com.

Dia mengatakan, jika Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut, tidak hanya kewajiban membangun fasilitas saja yang harus dijalankan, kerugian lain seperti matinya pertanian dan pangan Indonesia pun akan mengancam kehidupan negara ini nantinya.

Pasalnya, negara maju yang mempunyai banyak hasil pertanian namun sedikit pangsa pasarnya pasti akan menyasar negara-negara berkembang yang memang banyak membutuhkan pasokan pangan. Maka, kata Yakub, petani kecil negara berkembang akan menemui kesulitan bersaing dengan perusahaan besar dan petani modern negara maju.

Imbasnya, akan banyak alih profesi dari para petani dan negara berkembang akan terus menjadi negara konsumtif. "Negara ini cenderung ingin melihat acara berlangsung sukses, bukan apa yang bisa diambil untuk rakyatnya dan melindungi ketahanan pangan para petaninya," ucap Yakub.

Ia mengatakan sejak diratifikasi pada tahun 1994-1995 sektor pangan di Indonesia malah mengalami penurunan. Akibatnya, di tahun 2013 menurut data BPS,  lima juta petani hilang dari pedesaan. Terjadi pergeseran lahan dari petani ke perusahan besar, buruh migran, urbanisasi, dan kriminalisasi meningkat.

Hal itu dinilainya karena sudah tidak ada lagi sumber pangan dan penghasilan di desa. "Seharusnya perjanjian dibuat untuk menguntungkan semua pihak, jika hanya salah satu pihak untuk apa dijalankan?" tuturnya.

Yakub mengatakan, pihak negara maju cenderung bersikap munafik lantaran menolak keberatan India namun juga tidak menerima usulan pembatalan pembatasan pemberian subsidi untuk kepentingan petani miskin dan meningkatkan ketahanan pangan nasional. Mereka hanya memberi batasan domestik sebesar 10 persen dari nilai produksi nasional.

Sedang lagi-lagi negara maju tetap dapat memberikan subsidi sebesar-besarnya kepada petani mereka. Alasannya, pemberian subsidi pada negara berkembang hanya akan mendistorsi harga pasar. "Kita bisa kok keluar dari WTO dan tetap menjalin komunikasi bilateral terhadap negara-negara yang satu tujuan dengan kita. Tidak ada ruginya!" ujar Yakub.

Sementara itu, Research and Monitoring Manager IGJ Rachmi Hertanti mengatakan, pemerintah harus bertanggung jawab terhadap keputusan yang telah diambil. "IGJ meminta pemerintah yang baru memperjuangkan proposal subsidi pertanian, menolak Trade Facilitation, merevisi dan meningkatkan subsidi pangan serta sistem cadangan pangan publik," kata Rachmi.

BACA JUGA: