-
Alasan Pemerintah Perpanjang Kontrak Freeport
Jum'at, 01/09/2017 20:34 WIB
Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia telah menyelesaikan negosiasi dan menyepakati beberapa hal. Setidaknya ada 3 persyaratan besar yang dihasilkan yaitu pembangunan smelter oleh Freeport paling lambat beroperasi di 2022 atau selambatnya 5 tahun, penerimaan negara yang lebih besar dari tambang Grasberg milik Freeport Indonesia di Papua, dan divestasi 51%.
Lewat kesepakatan ini, pemerintah Indonesia menjanjikan akan memperpanjang kontrak Freeport di Papua yang habis pada 2021. Perpanjangan dilakukan selama 10 tahun hingga 2031 dan dapat diperpanjang 1 kali lagi sampai 2041 sesuai ketentuan yang berlaku.
Namun banyak kalangan yang bertanya, kenapa pemerintah tidak membiarkan saja kontrak Freeport habis di 2021 dan mengambil 100% pengelolaan tambang di Grasberg.
"Itu mereka yang mengkritik kenapa Freeport tidak dibiarkan habis 2021 ke mana saja? Kenapa mereka tidak bicara sebelum negosiasi selesai? Kenapa baru ribut sekarang?" kata Menteri ESDM, Ignasius Jonan, memberikan penjelasan, Kamis (1/9).
Memiliki 51% saham Freeport Indonesia ini sudah menjadi suatu hasil yang memuaskan, karena Freeport sebelumnya hanya mau melepas 30% sahamnya.
Jonan menyampaikan, bisa saja pemerintah membiarkan kontrak Freeport Indonesia habis di 2021, namun adakah yang sanggup meneruskan pengelolaan tambang raksasa yang sangat kompleks tersebut?
"Kalau menunggu sampai 2021 bisa saja. Tapi itu yang diserahkan kembali dan menjadi hak negara hanya konsesi tambangnya saja, dan Freeport sesuai UU Lingkungan Hidup wajib melakukan konservasi/rehabilitasi tambangnya. Namun, semua peralatan tambang akan dibawa pulang oleh Freeport. Pertanyaannya, sanggupkah kita melanjutkan tambang itu lagi tanpa jeda yang panjang," papar Jonan.
"Banyak pihak yang merasa ahli, jawabannya bisa, meski mereka belum pernah menjalankan tambang sebesar itu seumur hidupnya," kata Jonan.
Dia bercerita, saat dirinya memimpin PT Kereta Api Indonesia (KAI). Banyak pihak yang mengkritiknya dalam membenahi pelayanan di BUMN transportasi tersebut, dan sekarang kenyataannya, perubahan besar terjadi di KAI.
"Kalau kita mau menambang ulang (di Freeport) perlu waktu berapa lama untuk kembali menambang? Bisa enggak 1 atau 5 tahun karena kita harus membangun kembali peralatan dan infrastruktur yang diambil kembali oleh Freeport. Saya mau tahu," kata Jonan.
Bila kontrak Freeport dibiarkan habis oleh pemerintah, dan tambang baru tidak segera dilakukan, maka implikasinya kepada ekonomi di Papua akan besar. Bagi negara tidak banyak masalah, karena penerimaan negara dari Freeport hanya sekitar US$ 1 miliar. Yang menjadi masalah adalah dampaknya kepada kehidupan masyarakat di Papua.
"Tambang (Freeport) ini sudah terlanjur besar operasinya. Kalau tiba-tiba ditutup itu menjadi masalah," ucap Jonan.
Memang, Freeport ini sudah menjadi sumber kehidupan dan ekonomi bagi masyarakat Papua yang berada di sekitarnya. Bisa dibayangkan bila Freeport tiba-tiba berhenti beroperasi.
"Kecuali misalkan Freeport memang tidak mau memperpanjang kontraknya, dan dia menawarkan peralatan-peralatannya. Maka kita bisa tawar-tawaran harga dan toh kita harus bayar juga kan," tutur Jonan.
Coba dibayangkan 2021, semua peralatan dibawa pulang oleh Freeport, maka kita harus investasi kembali untuk meneruskan pertambangan tersebut, dan itu perlu waktu cukup panjang. Lalu, terjadi proses waktu yang cukup panjang dan mengganggu operasi serta kehidupan masyarakat dan pekerja di sana serta semua pemasok yangmenggantungkan hidupnya selama ini.
"Jadi 51% yang didapatkan pihak Indonesia itu adalah berupa peralatan dan sistem manajemen, bukan tambangnya. Tambang itu adalah miik negara," jelas Jonan.
"Kalau ada yang bilang saya bisa mengoperasikan, tanpa ada destruksi (gangguan), kalau ada tolong orangnya ke saya. Kalau komentar jangan hanya asal komentar. Saya menteri yang pernah melakukan restorasi layanan Kereta Api Indonesia," tutup Jonan. (dtc/mfb)PUSHEP: Pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus Kepada PT Freeport Hanya Akal-akalan
Kamis, 31/08/2017 11:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar berpendapat, salah satu hasil perundingan pemerintah Indonesia dengan PT Freeport berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebenarnya hanya merupakan siasat atau akal-akalan. Tujuannya meunurut dia adalah untuk melegitimasi tujuan utamanya, yaitu pemberian izin ekspor mineral mentah kepada Freeport.
"Atau memberi kebebasan kepada Freeport untuk mengabaikan UU Minerba yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Lagi-lagi Freeport akan bebas untuk ekpor tambang mentah ke luar negeri," kata Bisman, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (31/8).Dikatakan Bisman, perlu menjadi catatan tentang perubahan Kontrak Karya (KK) PT Freeport menjadi IUPK saat ini tidak ada dasar hukumnya dalam UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasalnya, di dalam UU Minerba dinyatakan bahwa IUPK hanya dapat diberikan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang ditetapkan menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) atas persetujuan DPR RI.
"Jadi, pemberian IUPK kepada PT Freeport jelas melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan, seharusnya UU 4/2009 direvisi terlebih dulu," tegasnya.
Menurut Bisman, landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport berupa IUPK, bukan berupa Kontrak Karya (KK), pada dasarnya mempunyai maksud baik, karena dengan bentuk izin negara akan mempunyai posisi yang lebih tinggi dan berlaku rezim hukum administrasi dan tata usaha negara yang lebih merepresentasikan penguasaan negara atas sumber daya pertambangan Indonesia.
Hal ini berbeda jika masih menggunakan sistem kontrak dimana para pihak terkait (pemerintah/negara dan PT Freeport) dalam posisi yang setara dan menggunakan rezim hukum perdata. "Karena posisi setara, maka kontrak (karya) tidak merepresentasikan penguasaan negara atas sumber daya pertambangan Indonesia," tukasnya.Terkait divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan nasional Indonesia, Bisman menilai, divestasi dari sudut pandang kepentingan nasional seolah-olah sangat nasionalis dan merupakan ´kemenenangan´ pemerintah Indoensia, padahal tidak demikian. Menurutnya, publik harus kritis bahwa divestasi ini adalah membeli saham, artinya Pemerintah Indonesia melalui BUMN mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membeli saham PT Freeport.
Bisman pun mempertanyakan sumber dana untuk membeli saham tersebut. "Darimana dana untuk membeli saham yang nilainya lebih dari Rp110 Triliun, apakah Pemerintah punya dana sebesar itu? Dipastikan konsorsium seluruh BUMN tambang digabung pun tidak cukup mampu punya dana untuk membeli 51% saham PT Freeport," tegasnya.
Bisman khawatir divestasi ini nantinya malah akan diisi oleh investor cukong dari negara tertentu yang saat ini sedang gencar-gencarnya menguasai perekonomian Indonesia. Anehnya, Indonesia akan memiliki 51% saham, namun kendali operasi masih sepenuhnya berada di Freeport, ini jelas kerugian bagi Indonesia.
Bisman mengatakan, PT Freeport yang kontraknya akan selesai pada 2021, divestasi tidaklah tepat. Mestinya tunggu saja hingga tahun 2021 dimana wilayah kerja tambang milik Freeport di Papua akan sepenuhnya kembali ke Pemerintah Indonesia tanpa harus membeli saham Freeport. "Dengan divestasi justru akan menjebak Indonesia untuk memberikan perpanjangan terus kepada Freeport," katanya. (mag)Sepakati Perjanjian Baru, Izin PT Freeport Diperpanjang Hingga 2041
Selasa, 29/08/2017 20:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Energi dan dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan perundingan antara pemerintah dan perusahaan tambang asal Amerika PT Freeport Indonesia, telah mencapai kesepakatan final.
"Setelah melalui serangkaian perundingan dan negosiasi yang berat dan ketat, kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan final pada pertemuan hari Minggu 27 Agustus 2017," tulis siaran pers Kementerian ESDM di situs resminya esdm.go.id, Selasa (29/8).
Disebutkan laporan tersebut, bahwa pada hari Minggu, 27 Agustus 2017, telah berlangsung pertemuan antara Tim Perundingan Pemerintah dan pihak PT Freeport Indonesia. Pertemuan berlangsung di kantor Kementerian ESDM di Jakarta. Agenda dari pertemuan itu adalah finalisasi kesepakatan yang telah dihasilkan dari serangkaian pertemuan sebelumnya.
Pertemuan itu dihadiri Menteri ESDM Ignasius Jonan selaku Ketua Tim Perundingan Pemerintah dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, jajaran Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, serta wakil dari Kementerian terkait seperti Kemenko Perekonomian, Kemenko Maritim, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian LHK, Kementerian BUMN, Sekretariat Negara, serta BKPM mewakili pemerintah Indonesia. Sedang dari pihak Freeport hadir President dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson dan direksi PT Freeport Indonesia.
Diketahui untuk menyelesaikan perselisihan akibat pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2017, Pemerintah dan PT Freeport Indonesia sepakat menempuh jalur perundingan. Proses perundingan dua pihak telah berlangsung selama delapan bulan.
Namun setelah melalui serangkaian perundingan dan negosiasi yang berat dan ketat, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan final pada pertemuan Minggu 27 Agustus 2017. Kesepakatan final dari perundingan itu yakni;
-Disepakati landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan lagi berupa Kontrak Karya (KK).
- Disepakatui pula divestasi saham PT Freeport Indonesia dilakukan sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional Indonesia. Sedang hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari Pemerintah dan PT Freeport Indonesia.
- Selain itu PT Freeport Indonesia sepakat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama 5 tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur.
Dengan kesepakatan ini akan ada stabilitas Penerimaan Negara. Penerimaan negara secara agregat juga akan lebih besar dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.
Setelah PT Freeport Indonesia menyepakati 4 poin di atas, sebagaimana diatur dalam IUPK maka PT Freeport Indonesia akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2x10 tahun hingga tahun 2041.
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan bekerja sama untuk segera menyelesaikan dokumentasi dari struktur yang disepakati, dan PT Freeport Indonesia akan mendapatkan persetujuan korporasi yang dibutuhkan.
Menurut Menteri ESDM Ignasius Jonan, hasil perundingan ini sesuai instruksi Presiden Joko Widodo untuk mengedepankan kepentingan nasional, kepentingan rakyat Papua, kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam, serta menjaga iklim investasi tetap kondusif.
"Sebelumnya Presiden Jokowi memerintahkan Tim Perunding untuk dijabarkan dan dilaksanakan, serta dilaporkan kepada Beliau," ujarnya.
Selaku Ketua Tim Perundingan Pemerintah RI, Jonan menyatakan mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Tim Perundingan lintas Kementerian/Lembaga, yang telah bekerja berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan tersebut. Selanjutnya tim juga masih akan meneruskan dalam satu pekan ke depan untuk merumuskan hal-hal teknis dan rinci sehingga kesepakatan ini dapat diimplementasikan.
"Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Komisi VII DPR RI yang telah mendukung penyelesaian yang baik ini," ungkap Jonan dalam akhir pernyataan persnya. (rm)Aksi Unjuk Rasa Eks Karyawan Freeport Berakhir Ricuh
Sabtu, 19/08/2017 21:00 WIB
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aksi unjuk rasa yang digelar karyawan PT Freeport Indonesia menyusul protes terjadinya PHK berakhir ricuh. Aksi protes di Check Point 28, dekat Bandara Mozes Kilangin, Timika, Papua itu berujung pada pemblokadean jalan menuju ke tambang utama, tak hanya itu massa juga melakukan pembakar sejumlah kendaraan. Sedikitnya 4 unit mobil dan 38 seperda motor dibakar massa.
Menurut Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Musthofa Kamal aksi kericuhan itu telah mengakibatkan kerugian materiil diantaranya kendaraan roda roda dua milik karyawan yang saat ini sedang bekerja sebanyak 38 unit. "Sementara roda empat sebanyak 4 unit," katanya, Sabtu (19/8).
Menyusul aksi kerusuhan itu pihak kepolisian telah mengambil langkah-langkah pengamanan.
Diantaranya melakukan negosiasi terhadap para karyawan pengunjuk rasa, melakukan pendataan terhadap kendaraan yang dirusak oleh massa pengunjuk rasa. Kasatgas Amole beserta personelnya melakukan koordinasi dengan beberapa karyawan yang melakukan pemalangan jalan.
Dijelaskan Musthofa para pengunjuk rasa itu merupakan karyawan yang telah diberhentikan oleh PT Freeport Indonesia. Mereka diberhentikan karena tidak masuk kerja.
Perusakan yang dilakukan sekelompok massa itu menurut dia, karena ada rasa tidak puas lantaran diberhentikan oleh perusahaan PT Freeport Indonesia.
Ia juga menjelaskan aksi demo itu sebelum telah dilakukan berulang kali. Dan merupakan aksi yang sudah berlangsung lama mereka menempati kantor kantor SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). (dtc/rm)Diminta Bangun Smelter, Freeport Ajukan Syarat Kontrak Diperpanjangan
Senin, 14/08/2017 17:34 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Proses perundingan antara PT Freeport Indonesia dan pemerintah Indonesia masih saja alot. Freeport masih kekeh mengajukan syarat bersedia membangun smelter (pemurnian) asal kontrak mereka di Tambang Grasberg, Papua diperpanjang hingga 2041.
"Kami akan segera melanjutkan dan menyelesaikan pembangunan smelter setelah mendapatkan izin operasi sampai dengan 2041," kata VP Corporate Communication PT Freeport Indonesia, Riza Pratama, Senin (14/8).
Perusahaan raksasa asal Amerika Serikat (AS) itu mengatakan membutuhkan jaminan perpanjangan kontrak karena tak ingin kehilangan uang hingga puluhan triliun rupiah. Mereka khawatir kontraknya tak diperpanjang setelah mereka membangun smelter.
Riza menyebut sebenarnya saat ini Freeport telah melakukan pemurnian mineral, tapi kapasitasnya hanya sekitar sepertiga dari konsentrat tembaga yang diproduksinya. Perusahaan PT Smelting Gresik yang menampung 1 juta ton konsentrat tembaga Freeport itu dimiliki bersama antara Freeport dan Mitsubishi Corporation Unimetal Ltd, Mitsubishi Materials Corporation, dan Nippon Mining and Metals Co Ltd.
Sejak tahun 2014, Freeport telah berencana meningkatkan kapasitas smelternya hingga 3 juta ton agar seluruh produksi konsentrat tembaga dari Tambang Grasberg bisa dimurnikan di dalam negeri. Penambahan kapasitas itu membutuhkan biaya investasi sekitar US$ 2,3 miliar atau setara dengan Rp 30 triliun.
Negosiasi pemerintah dan Freeport masih terus berlangsung. Salah satu dari 4 isu yang tengah dibahas dalam negosiasi adalah soal pembangunan smelter. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengklaim bahwa masalah ini sudah beres, Freeport mau membangun itu smelter.
Jonan mengatakan, Freeport sepakat akan menyelesaikan pembangunan smelter baru dalam 5 tahun, jadi rampung di 2022.
Freeport memang bersedia membangun smelter, namun perusahaan pertambangan itu meminta syarat agar kontrak mereka di Tambang Grasberg, Papua, diperpanjang sampai 2041. Sebab kontrak Freeport di lokasi itu akan berakhir pada 2021. Sementara Freeport menilai kelanjutan operasi mereka pasca 2021 belum jelas.
Selain soal pembangunan smelter, sebelumnya Jonan juga menyebut Freeport sudah sepakat untuk mengganti status kontraknya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Namun Riza menegaskan bahwa pihaknya juga mengajukan syarat bersedia menerima IUPK apabila disertai dengan perjanjian stabilitas investasi yang kekuatannya setara dengan KK.
"Kami setuju mengubah KK menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) dengan disertai perjanjian stabilitas investasi yang mengatur stabilitas fiskal dan hukum yang setara dengan KK," tutupnya. (dtc/rm)Pemerintah Indonesia Masih Berada Dibawah Kendali Freeport
Jum'at, 28/07/2017 13:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai pertemuan Menteri ESDM Ignatius Jonan dengan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson untuk menyelesaikan proses negosiasi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan, solusi yang dihasilkan masih memberikan keistimewaan bagi Freeport ketimbang menjalankan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan UU Minerba No.4 Tahun 2009.
Pertemuan Menteri ESDM dengan Freeport McMoran di Houston, Amerika Serikat, hendak mencari titik temu mengenai 4 isu krusial, yakni tentang perpanjangan masa operasi PT FI, pembangunan fasilitas pemurnian, divestasi saham, dan ketentuan fiscal. Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia for Global Justic (IGJ) Budi Afandi mengatakan pertemuan tersebut masih jauh dari keberhasilan dalam perspektif masyarakat sipil karena beberapa hal.
Pertama, prosesnya tidak menunjukkan adanya terobosan baru dalam sikap pemerintah terhadap Freeport. Kedua, negosiasi masih jauh dari keterbukaan pada publik, negara dan korporasi seakan tidak merasa perlu bersikap transparan.
"Kita tidak bisa a historis dalam melihat negosiasi ini, karena proses serupa sudah pernah terjadi, termasuk mengenai substansi persoalan yang dibicarakan," kata Budi, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (28/7).
Ia mencontohkan, isu pembangunan smelter yang menjadi kewajiban perusahaaan tambang seharusnya sudah selesai dengan pengaturan Permen ESDM No.1 Tahun 2014. "Untuk menunjukkan komitmen dalam membangun smelter sudah diatur sebelumnya, namun tetap tidak dipenuhi. Lalu apa yang dimaksud dengan kesepakatan pembangunan smelter sekarang? Apa kembali ke model lama yang hanya dengan memberikan dana jaminan kesungguhan untuk pembangunan smelter? Atau memang ada model baru? Tentu akan lucu kalau kembali pada model lama yang ternyata tidak berhasil menekan perusahaan melaksanakan kewajibannya," tegasnya.
Kemudian mengenai klaim bahwa Freeport mau mengubah KK menjadi IUPK. Hal ini hanya akan dilakukan jika pemerintah mau memberikan perpanjangan sampai 2041. "Mereka bisa kita sebut mau mengubah KK menjadi IUPK hanya pada saat mereka mau mengikuti syarat dari kita, bukan syarat mereka yang mengendalikan kita," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti menilai, ada yang janggal dari hasil pertemuan antara Menteri ESDM dengan Freeport McMoran. Ditengah anggapan adanya kemajuan dari proses negosiasi, Freeport tetap meminta adanya perjanjian kerjasama kedua pihak sebagai bentuk jaminan kepastian investasi. Namun, disisi yang lain Freeport menyatakan telah bersedia untuk mengubah Kontrak Karya dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
"Permintaan Freeport untuk membuat perjanjian kerjasama secara terpisah harus ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena tidak diatur di dalam undang-undang. Kan sudah ada IUPK, yaitu penetapan dari menteri yang dijamin oleh undang-undang. Pemerintah harus konsisten dengan bentuk hukum yang telah disepakati dan diatur di dalam undang-undang. Kalau konteksnya cuma perjanjian perlindungan investasi, opsi P4M antar negara sudah cukup itu," tegas Rachmi.
Menurut Rachmi, Perjanjian Kerjasama secara terpisah hanya akan menempatkan Pemerintah Indonesia dibawah kendali Freeport. Apalagi, secara logika hukum perjanjian, perjanjian ini akan mengikat Pemerintah Indonesia secara perdata. Dan menjadi konsekuensi logis dimana para pihak akan menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketanya, yang biasanya lebih memilih arbitrase internasional.
"Di dalam Pasal 7 Permen ESDM No.15 Tahun 2017 kan sudah jelas, menteri memberikan penetapan terhadap IUPK. Sehingga konsekuensi hukum dari penetapan atau beschikking bersifat administratif yang dikeluarkan oleh pejabat Negara dan bersifat konkrit, individual, dan final, sehingga penyelesaian sengketanya pun cukup di Pengadilan Tata Usah Negara," jelas Rachmi.
Sejalan dengan Rachmi, Budi pun menilai Perjanjian jaminan kepastian investasi yang diminta Freeport hanya akan menjebak Pemerintah Indonesia. "Perjanjian kepastian investasi yang dimaksud hanya akan membuka celah dibawanya sengketa ke arbitrase internasional dan menyulitkan Indonesia," pungkasnya. (mag)
Perundingan PT Freeport dan Pemerintah Masih Alot
Kamis, 27/07/2017 15:00 WIBPerundingan antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah Indonesia masih berjalan alot. Sisa waktu dua bulan dari 8 bulan jangka waktu perundingan yang disepakati, (sejak bulan Februari 2017 hingga Oktober 2017), baru disepakati dua poin dari 4 poin agenda pembahasan.
Pemerintah Diminta Tak Istimewakan Freeport
Minggu, 16/07/2017 15:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM – Koordinator Riset dan Advokasi Insititute for Global Justice (IGJ) Budi Afandi menegaskan perlakuan khusus terhadap Freeport harus dihentikan, termasuk rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan Jaminan Investasi yang diminta Freeport. "Ini konyol karena peraturan tersebut tentu akan berlaku secara umum kepada perusahaan lainnya, padahal dibuat gegara konflik dan negosiasi dengan Freeport," katanya dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Minggu (15/7).
Ia menambahkan, penerbitan PP tersebut akan sangat berbahaya terlebih jika nantinya mengakomodir skema penyelesaian sengketa melalu jalur arbitrase internasional. Sementara itu, Peneliti HUMA, Yustisia Rahman mengatakan, pemerintah Indonesia tidak usah ragu-ragu dalam menegakkan kedaulatan negara saat berhadapan dengan Freeport McMorran. Pasalnya perkembangan hukum investasi internasional menunjukkan adannya peluang yang menguntungkan pemerintah.
Ia menguraikan, perdebatan mengenai relasi negara dengan investasi sudah berlangsung lama dan terus berkembang, salah satunya berkaitan dengan asas kesucian kontrak (pacta sun servanda) yang selama ini digunakan investor untuk melindungi kepentingannya dalam kontrak. Padahal, terdapat asas Clausula Rebus Sic Stantibus yang dapat dianggap sebagai kontra posisi dari asas kesucian kontrak.
"Asas ini menyatakan bahwa sebuah perjanjian atau kesepakatan di antara bangsa-bangsa dapat dinyatakan tidak berlaku (invalid) jika perubahan situasi yang fundamental (fundamental changed circumstances) yang menyebabkan perjanjian atau kesepakatan tersebut tidak dapat diterapkan," katanya.
Selain itu, Resolusi 1803 (XVII) on the Permanent Sovereignty of States over Their Natural Resources (PSNR) juga dapat dijadikan pegangan. Dua poin resolusi tersebut menyatakan kedaulatan atas sumber daya alam dan sumber kekayaan lain di sebuah negara merupakan hak yang dimiliki oleh negara dan orang-orang yang berada di dalamnya (the right of peoples and nations). Kemudian, segala aktivitas eksplorasi, eksploitasi atau bentuk pengusahaan lainnya harus sejalan dengan aturan dan prasyarat-prasyarat yang dirasakan perlu oleh negara dan orang-orang yang ada di dalamnya.
"Kalau persoalan ini sampai ke Arbitrase Internasional, maka tinggal saling memperkuat klaim saja, pemerintah tidak perlu khawatir, sebab telah ada pula contoh kasus dimana asas Clausula Rebus Sic Stantibus juga dipertimbangkan dalam proses arbitrase," tegasnya.
Gunawan dari IHCS mengungkapkan, sudah cukup kuat pondasi konstitusional untuk menegakkan kedaulatan negara dalam polemik Freeport. Menurutnya, tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Hak Menguasai Negara sudah sangat jelas. "Konsep itu semata-mata ditujukan untuk kemakmuran rakyat dan tidak dapat dianggap sebagai konsep kepemilikan seperti dalam hukum perdata," terangnya.
"Renegosiasi KK PTFI seharusnya tidak hanya mengubah KK menjadi Izin Usaha Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan Khusus dan kewajiban membangun pabrik smelter, tapi juga terkait dengan pembatasan luas tanah yang dipergunakan serta rencana kegiatan dan alokasi dana tanah pasca tambang dan banyak hal lainnya," tambah Gunawan.
Agung Budiono, PWYP Indonesia menyoroti sejumlah hal mulai dari ketertutupan pemerintah dalam persoalan Freeport. "Padahal sangat penting untuk membuka dokumen kontrak dan proses serta hasil negosiasi," tegasnya.
Ia juga memaparkan sejumlah temuan BPK terkait dugaan pelanggaran yang dilakukkan Freeport. Termasuk mengenai keputusan Pengadilan Pajak yang telah memenangkan Pemda Papua yang hingga saat ini belum terlaksana.
Sementara itu, Ahli Hukum Internasional, Irfan Hutagalung menekankan pentingnya pemerintah untuk hati-hati dalam penyelesaian konflik. Menurutnya, asas kesucian kontrak tidak begitu saja dapat diabaiikan, dibutuhkan ´perubahan situasi fundamental/fundamental changed circumstances" untuk keberlakuan asas Clausula Rebus Sic Stantibus. Karenanya, ia menilai pilihan paling baik saat ini adalah berupaya menyelesaikan sengketa melalui negosiasi.
"Perubahan situasi fundamental ini adalah sesuatu yang tidak boleh di-create oleh kedua pihak yang bersengketa," katanya. (mag)
Negosiasi Pemerintah dan PT Freeport Abaikan Soal Lingkungan dan Masyarakat Setempat
Jum'at, 07/07/2017 14:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pertemuan sejumlah menteri membahas kelanjutan bisnis PT Freeport Indonesia menuai kritik sejumlah pihak. Pasalnya pertemuan pada 4 Juli 2017 yang membahas empat hal terkait PT Freeport, seperti perpanjangan operasi Freeport, pembangunan smelter, divestasi saham serta stabilitas investasi perusahaan asal Amerika itu, sama sekali tak menyinggung persoalan lingkungan dan nasib masyarakat Papua.
Nasib masyarakat asli Papua serta lingkungan yang mengalami dampak dari operasi PT Freeport Indonesia selama ini sepertinya tidak menjadi pembahasan dalam pertemuan tersebut. "Keterlibatan masyarakat yang mengalami kerugian dari operasi PT Freeport Indonesia selalu saja diabaikan oleh pemerintah," tulis Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyu Wagiman dalam rilisnya, yang diterima gresnews.com, Jumat (7/7).
Selain persoalan itu, menurut Wahyu, sebelumnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 6 (enam) pelanggaran yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Dalam hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas kontrak karya tahun anggaran 2013-2015, BPK menemukan pelanggaran bahwa penambangan PT Freeport menimbulkan kerusakan karena membuang limbah operasional di sungai, muara dan laut. Akibatnya negara mengalami kerugian sebesar Rp185 triliun.
Selain itu BPK juga menyatakan PT Freeport Indonesia telah menggunakan tanpa izin kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasional pertambangan Freeport, minimal 4.535,93 hektare, sejak 2008 hingga 2015. "Akibatnya negara berpotensi merugi sekitar Rp270 miliar karena kehilangan potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP)," tutur Wahyu.
Kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah dan penggunaan hutan lindung tanpa izin itu juga telah merugikan masyarakat yang berada di sekitar hutan tersebut. Masyarakat juga kehilangan hak atas air serta lingkungan hidup yang layak.
Disisi lain, PT Freeport Indonesia juga disinyalir telah melanggar aturan ketenagakerjaan yang berlaku karena telah melakukan PHK kepada 4.000 pekerja secara sepihak. PHK tersebut dilakukan oleh PT Freeport Indonesia karena ribuan pekerja itu melakukan aksi mogok kerja sejak tanggal 1 Mei 2017. "Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat juga telah memberikan peringatan kepada PT Freeport Indonesia terkait PHK massal ini, namun tidak dihiraukan oleh perusahaan tersebut," ungkapnya.
Menurut Wahyu, berbagai permasalahan yang muncul seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah ketika membahas kelanjutan bisnis PT Freeport Indonesia. Namun perundingan antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia selama ini tidak pernah membahas pemulihan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah konsesi PT Freeport Indonesia.
"Padahal, seluruh hasil perundingan dan kebijakan yang dihasilkan akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup, kesejahteraan dan perlindungan lingkungan hidup di tanah Papua," paparnya.
Pemerintah Indonesia, kata Wahyu, seharusnya menjadikan dan menyiapkan sumber-sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitar areal pertambangan pasca habisnya bahan-bahan minerba di wilayah operasi PT Freeport Indonesia untuk 10 atau mungkin 50 tahun yang akan datang. "Pemanfaatan seluruh sumber daya alam yang berada di tanah Papua seharusnya dipergunakan bagi kesejahteraan dan peningkatan mutu kehidupan masyarakat Papua," ujarnya.
Hal -hal tersebut menurut Wahyu harus menjadi perhatian pemerintah Indonesia saat bernegosiasi dengan PT Freeport. Selain itu pemerintah perlu melibatkan masyarakat Papua dalam setiap negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. "Jangan hanya mementingkan kepentingan PT Freeport Indonesia, yang kemudian akan mengorbankan kepentingan masyarakat Papua," tambahnya. (rm)Siasat Freeport Gugat Indonesia
Senin, 12/06/2017 12:00 WIBSementara itu, Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti menjelaskan, perjanjian stabilitas investasi akan tetap membuka peluang Freeport menggugat Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Berharap Solusi dari Perundingan Pemerintah dan Freeport
Jum'at, 05/05/2017 18:00 WIBemerintah bersama PT Freeport Indonesia (PT FI) kembali menggelar perundingan tahap kedua. Dalam perundingan kali ini ada empat isu yang akan menjadi pembahasan antar kedua belah pihak.
Menagih Komitmen Freeport Bangun Smelter
Sabtu, 15/04/2017 21:10 WIBApabila kemajuan pembangunan smelter tidak sesuai dengan pakta integritas yang telah disepakati maka izin ekspor wajib dicabut.
Revisi Aturan Layanan Istimewa Buat Freeport
Selasa, 11/04/2017 15:00 WIBDi Pasal 19 ayat 7, jika ternyata perusahaan tambang tak puas dengan IUPK, tak menemukan penyelesaian dengan pemerintah dan memutuskan tak mau menyesuaikan diri menjadi IUPK, maka perusahaan tersebut boleh kembali ke KK.
Pemerintah Bantah Melunak Pada Freeport
Jum'at, 07/04/2017 14:00 WIBPemerintah dinilai mengambil sikap melunak setelah akhirnya menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang berlaku selama 8 bulan sejak 10 Februari 2017 sampai 10 Oktober 2017 untuk PT Freeport Indonesia.
Aroma Kejagalan dalam Negosiasi Pemerintah-Freeport
Jum'at, 31/03/2017 16:00 WIBNegosiasi antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia terkait perubahan dari dari Kontrak Karya (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) belum memperoleh kejelasan. Namun pemerintah dikabarkan telah kembali mengeluarkan perpanjangan izin eksport.