JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar berpendapat, salah satu hasil perundingan pemerintah Indonesia dengan PT Freeport berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebenarnya hanya merupakan siasat atau akal-akalan. Tujuannya meunurut dia adalah untuk melegitimasi tujuan utamanya, yaitu pemberian izin ekspor mineral mentah kepada Freeport.

"Atau memberi kebebasan kepada Freeport untuk mengabaikan UU Minerba yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Lagi-lagi Freeport akan bebas untuk ekpor tambang mentah ke luar negeri," kata Bisman, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (31/8).

Dikatakan Bisman, perlu menjadi catatan tentang perubahan Kontrak Karya (KK) PT Freeport menjadi IUPK saat ini tidak ada dasar hukumnya dalam UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasalnya, di dalam UU Minerba dinyatakan bahwa IUPK hanya dapat diberikan di Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang ditetapkan menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) atas persetujuan DPR RI.

"Jadi, pemberian IUPK kepada PT Freeport jelas melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan, seharusnya UU 4/2009 direvisi terlebih dulu," tegasnya.

Menurut Bisman, landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport berupa IUPK, bukan berupa Kontrak Karya (KK), pada dasarnya mempunyai maksud baik, karena dengan bentuk izin negara akan mempunyai posisi yang lebih tinggi dan berlaku rezim hukum administrasi dan tata usaha negara yang lebih merepresentasikan penguasaan negara atas sumber daya pertambangan Indonesia.

Hal ini berbeda jika masih menggunakan sistem kontrak dimana para pihak terkait (pemerintah/negara dan PT Freeport) dalam posisi yang setara dan menggunakan rezim hukum perdata. "Karena posisi setara, maka kontrak (karya) tidak merepresentasikan penguasaan negara atas sumber daya pertambangan Indonesia," tukasnya.

Terkait divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan nasional Indonesia, Bisman menilai, divestasi dari sudut pandang kepentingan nasional seolah-olah sangat nasionalis dan merupakan ´kemenenangan´ pemerintah Indoensia, padahal tidak demikian. Menurutnya, publik harus kritis bahwa divestasi ini adalah membeli saham, artinya Pemerintah Indonesia melalui BUMN mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membeli saham PT Freeport.

Bisman pun mempertanyakan sumber dana untuk membeli saham tersebut. "Darimana dana untuk membeli saham yang nilainya lebih dari Rp110 Triliun, apakah Pemerintah punya dana sebesar itu? Dipastikan konsorsium seluruh BUMN tambang digabung pun tidak cukup mampu punya dana untuk membeli 51% saham PT Freeport," tegasnya.

Bisman khawatir divestasi ini nantinya malah akan diisi oleh investor cukong dari negara tertentu yang saat ini sedang gencar-gencarnya menguasai perekonomian Indonesia. Anehnya, Indonesia akan memiliki 51% saham, namun kendali operasi masih sepenuhnya berada di Freeport, ini jelas kerugian bagi Indonesia.

Bisman mengatakan, PT Freeport yang kontraknya akan selesai pada 2021, divestasi tidaklah tepat. Mestinya tunggu saja hingga tahun 2021 dimana wilayah kerja tambang milik Freeport di Papua akan sepenuhnya kembali ke Pemerintah Indonesia tanpa harus membeli saham Freeport. "Dengan divestasi justru akan menjebak Indonesia untuk memberikan perpanjangan terus kepada Freeport," katanya. (mag)

BACA JUGA: