JAKARTA - Setelah lima tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan mantan Direktur Utama PT Pelindo ll (Persero), RJL (RJ Lino) terkait dugaan tindak pidana korupsi (TPK) dalam proyek pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo ll (Persero) pada 2010 lalu. Kurangnya data membuat kasus ini cukup lama terhenti sekitar lima tahunan hingga muncul solusi dengan menggunakan ahli dari ITB untuk mengatasinya.

"KPK sebelumnya telah menetapkan dan mengumukan RJL sebagai tersangka pada Desember 2015," kata Ali melalui surat elektronik yang diterima oleh Gresnews.com, Jum`at (26/3/2021).

Menurut Ali, untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan tersangka selama 20 hari terhitung sejak tanggal 26 Maret 2021 sampai dengan 13 April 2021 di Rutan Rumah Tahanan Negara Klas I Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Selain itu, sebagai pemenuhan protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19 dilingkungan Rutan KPK akan dilakukan isolasi mandiri selama 14 hari di Rutan Cabang KPK pada Gedung ACLC KPK di Kavling C1.

Kemudian selama proses penyidikan, telah dikumpulkan berbagai alat bukti diantaranya keterangan 74 orang saksi dan penyitaan barang bukti dokumen yang terkait dengan perkara ini.

Adapun kontruksi perkara, Ali menjelaskan, pada tahun 2009 PT Pelindo II (Persero) diduga telah melakukan pelelangan pengadaan 3 Unit QCC dengan spesifikasi Single Lift untuk Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak yang dinyatakan gagal sehingga dilakukan penunjukan langsung kepada PT BI (Barata Indonesia).

"Namun penunjukan langsung tersebut juga batal karena tidak adanya kesepakatan harga dan spesifikasi barang tetap mengacu kepada Standar Eropa," jelasnya.

Lalu pada 18 Januari 2010, RJL selaku Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) diduga melalui disposisi surat memerintahkan FY (Ferialdy Noerlan) selaku Direktur Operasi dan Teknik melakukan pemilihan langsung dengan mengundang 3 perusahaan, yaitu ZPMC (Shanghai Zhenhua Heavy Industries Co. Ltd, tidak dibacakan) dari China, Wuxi, HDHM (HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd) dari China, dan Doosan dari Korea Selatan.

Kemudian pada Februari 2010, RJL diduga kembali memerintahkan untuk dilakukan perubahan Surat Keputusan Direksi PT. Pelindo II (Persero) tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT. Pelindo II (Persero), dengan mencabut ketentuan Penggunaan Komponen Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri.

"Perubahan dimaksudkan agar bisa mengundang langsung ke pabrikan di luar negeri. Adapun Surat Keputusan Direksi PT. Pelindo II (Persero) tersebut menggunakan tanggal mundur (back date) sehingga HDHM dinyatakan sebagai pemenang pekerjaan," terang Ali.

Penunjukan langsung HDHM, kata Ali, diduga dilakukan oleh RJL dengan menuliskan disposisi "Go For Twinlift" pada kajian yang disusun oleh Direktur Operasi dan Teknik. Padahal pelaporan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM ditemukan bahwa produk HDHM dan produk ZPMC tidak lulus evaluasi teknis karena barangnya merupakan standar China dan belum pernah melakukan ekspor QCC ke luar China.

Selanjutnya pada Maret 2010, RJL diduga memerintahkan Direktur Operasi dan Teknik melakukan evaluasi teknis atas QCC Twin Lift HDHM dan memberi disposisi kepada Saptono R. Irianto (Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha) juga untuk melakukan kajian operasional dengan kesimpulan QCC Twin Lift tidak ideal untuk Pelabuhan Palembang dan Pelabuhan Pontianak.

"Untuk pembayaran uang muka dari PT Pelindo II (Persero) pada pihak HDHM, RJL diduga menandatangani dokumen pembayaran tanpa tanda tangan persetujuan dari Direktur Keuangan dengan jumlah uang muka yang di bayarkan mencapai US$24 juta yang di cairkan secara bertahap," bebernya.

Ali mengatakan, penandatanganan kontrak antara PT Pelindo II (Persero) dengan HDHM dilakukan saat proses pelelangan masih berlangsung dan begitu pun setelah kontrak ditandatangani masih dilakukan negosiasi penurunan spesifikasi dan harga, agar tidak melebihi nilai Owner Estimate (OE).

Untuk pengiriman 3 unit QCC ke Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak dilakukan tanpa commision test yang lengkap dimana commission test tersebut menjadi syarat wajib sebelum dilakukannya serah terima barang.

"Harga kontrak seluruhnya US$15,554,000 terdiri dari US$5,344,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Panjang, US$4,920,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Palembang dan US$5,290,000 untuk pesawat angkut berlokasi di Pelabuhan Pontianak," ungkapnya.

Masalah muncul saat pembuktian, BPK meminta agar ada dokumen atau harga pembanding terhadap alat (crane) dan itu sudah KPK upayakan melalui kedutaan China.

Menurut Ali, KPK juga telah berkordinasi dengan Inspektorat dari China. Saat itu, mereka mendatangi KPK dan menyampaikan penyidik membutuhkan harga sesungguhnya dari crane yang dijual oleh HDHM.

"Bahkan tahun 2018, Pak Laode dan Pak Agus itu ke China dan dijanjikan bisa bertemu menteri atau jaksa agung, tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan," ungkapnya.

Hal-hal tersebutlah yang menjadi kendala di periode ke-4 kepemimpinan KPK selama empat tahun dalam kasus ini. Selain itu, BPK juga menuntut ada dokumen atau data yang dibutuhkan dalam penghitungan kerugian negara.

Penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC itu atau setidaknya harga pembanding. Kalau misalnya HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan adanya kerugian negara.

Solusinya terpecahkan dengan meminta bantuan dari ahli Institute Teknologi Bandung (ITB). KPK telah memperoleh data dari ahli ITB bahwa Harga Pokok Produksi (HPP) tersebut hanya sebesar US$2.996.123 untuk QCC Palembang, US$3.356.742 untuk QCC Panjang dan US$3.314.520 untuk QCC Pontianak.

KPK percaya, ahli dari ITB ini dapat menghitung harga pokok produksi dari QCC tersebut. Dalam menghitung kerugian dalam akuntasi itu ada yang disebut historis cost didukung dengan data dan dokumen berapa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan alat terkait temasuk harga pembanding.

Ada juga metode lain yaitu menghitung replacement cost, kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan kalau alat itu diproduksi sendiri? KPK menggunakan metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu seandainya dibuat, harga pokoknya berapa.

Sebagai informasi, dengan perhitungan ahli dari ITB tersebut KPK membuatnya sebagai dasar bahwa terjadi selisih yang signifikan dibandingkan dengan harga yang dibeli PT Pelindo II ke HDHM sesuai dengan angka kontraknya.

Padahal, perhitungan ahli ITB dengan telah memasukkan ongkos angkut, angkanya terjadi selisih senilai US$5 juta dolar yang diduga sebagai tindak pidana korupsi.

Selain itu, menurut dia, akibat perbuatan Tsk (tersangka) RJL ini, KPK juga telah memperoleh data dugaan kerugian keuangan dalam pemeliharaan 3 unit QCC tersebut sebesar US$22,828,94.

Sedangkan untuk pembangunan dan pengiriman barang 3 unit QCC tersebut BPK tidak menghitung nilai kerugian negara yang pasti, karena bukti pengeluaran riil HDHM atas pembangunan dan pengiriman 3 unit QCC tidak diperoleh, sebagaimana surat BPK tertanggal 20 Oktober 2020 perihal surat penyampaian laporan hasil pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian Negara atas pengadaan Quayside Container Crane (QCC) Tahun 2010 pada PT Pelabuhan Indonesia II.

Atas perbuatannya tersebut, tersangka RJ Lino disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (G-2)

BACA JUGA: