JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus suap yang melibatkan Panitera/Sekretaris (Pansek) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution dan Doddy Aryanto Supeno dari PT Paramount Enterprise International (Paramount Group) merembet pada dugaan kuat keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Saat ini Edy ditahan di Rutan KPK, sedangkan Doddy di Rutan Guntur, Jakarta Selatan. Sementara itu Nurhadi telah dicegah bepergian ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM terhitung sejak kemarin.

Kantor Paramount Enterprise International di Gading Serpong, Tangerang, sudah digeledah oleh KPK, kemarin. Begitu juga ruang kerja Nurhadi di Gedung MA, Jakarta Pusat, dan kediaman Nurhadi di Jl. Hang Lekir, Jakarta Selatan, sudah "diacak-acak" oleh penyidik KPK. Ditemukan sejumlah berkas dan uang yang nilainya belum disebutkan oleh KPK.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan spesifik dari KPK mengenai perkara apa yang tengah diajukan di tingkat peninjauan kembali (PK) di MA yang berhubungan dengan pemberian uang suap melalui Edy tersebut. "Perkara perdata dari dua perusahaan. Tapi jangan dibuka di sini dulu. Kami akan melakukan pendalaman," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di Kantor KPK, Jakarta, kemarin.

Agus hanya menyatakan kasus suap tersebut diharapkan menjadi pembuka kasus besar lainnya. "Di belakangnya ada kasus cukup besar, yang sering dibilang sebagai gunung es di negeri kita," kata Agus.

Informasi yang dihimpun oleh gresnews.com dari sumber-sumber di internal KPK mengkonfirmasi bahwa uang Rp50 juta yang menjadi barang bukti dalam operasi tangkap tangan itu berkaitan dengan salah satu perkara perdata yang akan didaftarkan proses peninjauan kembalinya (PK) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Uang tersebut diduga "hanya" bertujuan untuk memuluskan proses administrasi permohonan perkara.

Pemberian uang tersebut terjadi di Hotel Acacia, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sementara itu, masih dari informasi yang sama, pemberian uang Rp100 juta diduga tidak berkaitan dengan kasus tersebut. Pemberian, yang menurut Agus dilakukan pada Desember 2015 itu, ditujukan untuk pengurusan perkara lain.

Agus menyebut dalam proses penggeledahan ditemukan sejumlah uang lain di luar hasil tangkap tangan Edy dan Doddy. Uang tersebut didapat di kantor PT Paramount Enterprise International di Gading Serpong, Tangerang; kantor Sekretariat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan; dan ruang Sekretaris Mahkamah Agung.

Diduga kuat ada pemberian lain yang telah lebih dulu dilakukan di luar Rp50 juta hasil tangkap tangan dan Rp100 juta yang terjadi pada Desember 2015. Seluruh uang yang mengalir, yang saat ini masih dalam proses penghitungan di KPK, berasal dari sumber yang sama, yaitu sebuah korporasi besar yang memang mempunyai kepentingan dalam berbagai perkara ini. Agus sendiri mengatakan, uang yang dijanjikan ke Edy adalah sebesar Rp500 juta. "Dijanjikan kepada panitera Rp500 juta. Desember (2015) sudah Rp100 juta, kemarin Rp50 juta. Janji yang lain belum disampaikan," terangnya.

SPEKULASI PERKARA - Sumber gresnews.com yang pernah menjabat sebagai pimpinan di Mahkamah Agung (MA) menduga kuat keterkaitan antara kasus yang membawa nama Nurhadi itu dengan pengurusan perkara yang berhubungan dengan Lippo Group. Nurhadi sendiri dikenal memiliki kedekatan dengan eksekutif puncak Lippo Group.

Sebagai catatan, pengendali Paramount Group adalah Elizabeth Sindoro. Dia mengambil alih kendali perusahaan dari mantan suaminya, Handiman Tjokrosaputro, yang meninggal dunia. Majalah Globe Asia 2014 menobatkan Elizabeth dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan US$255 juta (Rp3,35 triliun).

Elizabeth Sindoro adalah kakak Eddy Sindoro. Eddy adalah Chairman Paramount Enterprise International. Sebelumnya Eddy pernah menjabat sejumlah posisi direksi dan komisaris di perusahaan grup Lippo antara lain CEO Lippo Cikarang Tbk (1992-1997), Presiden Komisaris PT Lippo Cikarang Tbk (2000-2009). Pernah pula berkiprah di PT Lippo Karawaci Tbk, PT Bank Lippo Tbk, PT Siloam Healthcare Tbk, PT Lippo Land Development Tbk, dan PT Matahari Department Store Tbk.

Eddy adalah kakak Billy Sindoro. Billy divonis 3 tahun penjara pada 2009 di tingkat Peninjauan Kembali dalam kasus suap Rp500 juta kepada Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Iqbal. Majelis hakim PK saat itu diketuai Artidjo Alkostar. Kapasitas Billy saat itu adalah Direktur Utama PT First Media Tbk (Lippo Group). Lippo adalah imperium bisnis yang dikendalikan oleh Mochtar Riady dan putranya, James Riady.

Billy memiliki jejak karier yang panjang di perusahaan grup Lippo. Antara lain ia pernah menjadi CEO PT Siloam Health Care Tbk, Direktur PT Lippo Karawaci Tbk, Presiden Direktur Lippo Telecom, Direktur Utama PT Bank Lippo Tbk, Presiden Direktur AIG Lippo Life, Presiden Komisaris PT Lippo General Insurance Tbk, dsb. Billy bekerja di Lippo sejak 1986.

Salah satu perusahaan yang berada di bawah Paramount Enterprise International adalah Paramount Land. Proyek properti yang terkenal dari Paramount Land adalah Gading Serpong, Tangerang, seluas 1.200 hektare. Pengembang ini juga tengah membidik sejumlah proyek properti di kawasan barat dan selatan Jakarta, termasuk Bogor dan Tangerang.

Selain itu, Paramount Land juga akan membangun kawasan mixed-use development di Central Business District (CBD) Jakarta, Riau, dan Bali. Sejumlah lahan di Semarang, Manado, dan Balikpapan juga sudah diakuisisi perusahaan ini untuk pembangunan real estate. Pada 2015, Paramount Land menggelontorkan belanja modal Rp1,5 triliun untuk mengembangkan proyek di Jawa, Sumatera, dan Bali.

Berdasarkan catatan laman Kepaniteraan Mahkamah Agung, hanya tercantum satu kasus perdata nomor 268 K/PDT/2013 antara pemohon kasasi Ella Rosdiana dan termohon PT Paramount Land Development, dengan klasifikasi perbuatan melawan hukum (PMH). MA menolak kasasi pemohon pada 30 Juli 2013. Majelis hakim adalah Abdul Manan, Abdul Gani Abdullah, dan Mohammad Saleh.
 
Gugatan ini terkait dengan sengketa lahan di Curug Sangereng dan Cihuni, Tangerang. Namun belum dipastikan apakah kasus suap yang melibatkan Panitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution dan Doddy (Paramount) terkait dengan permohonan peninjauan kembali perkara tersebut di MA.

Spekulasi lain yang berkembang adalah perkara yang berkaitan dengan PT First Media Tbk. Perkaranya adalah berhubungan dengan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap Accross Asia Limited (AAL) melalui Pengadilan Niaga pada PN Jakpus. Singkat cerita, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung dengan No. Register 214 K/Pdt.Sus-PKPU/2013 tertanggal 31 Juli 2013, Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan kasasi dari AAL. Pada 8 Maret 2016, pihak First Media menerima surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 3 Maret 2016 bahwa AAL telah memasukkan permohonan peninjauan kembali atas putusan Mahkamah Agung tersebut.

Spekulasi berikutnya adalah terkait sengketa aset Direct Vision. Pada Juni 2012, Mahkamah Agung menolak kasasi yang dilayangkan PT Direct Vision untuk membatalkan putusan arbitrase Singapura. Putusan itu tertera dalam laman informasi kepaniteraan MA. Perkara yang terdaftar dengan No. 808 K/PDT.SUS/2011 tersebut telah diputus oleh majelis hakim Takdir Rahmadi, Mahdi Soroinda Nasution, dan Muhammad Taufik pada 28 Juni 2012.

Putusan MA itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan eksepsi Astro Nusantara Internasional B.V. yang menilai pengadilan negeri tersebut tidak berwenang mengadili perkara ini.

Awal mula kasus ini yaitu adanya upaya Direct Vision dan PT Ayunda Prima Mitra yang mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase internasional Singapore International Arbitration Centre (SIAC) ke PN Jakarta Pusat. Dalam putusannya, SIAC a.l. memutus Lippo Group untuk membayar ganti rugi US$230 juta dan Rp6 miliar kepada Astro All Asia Network Plc, terkait dengan sengketa kepemilikan saham di PT Direct Vision.

Direct Vision juga melayangkan gugatan yang terdaftar dengan No.301/PDT.G/2010/PN.Jkt. Pst, yang pada intinya meminta Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk tidak mengeluarkan eksekuatur atas putusan SIAC yang melibatkan kedua pihak tersebut.

Pengajuan itu sebenarnya bentuk perlawanan dari Lippo Group kepada Astro Malaysia yang menggugat melalui forum arbitrase untuk mencari ketegasan hukum dan kompensasi keuangan sekitar RM905 juta (sekitar Rp2,46 triliun dalam kurs kala itu). Itu menyusul kegagalan para pihak untuk menyelesaikan joint venture di PT Direct Vision, operator siaran Astro di Indonesia.

Dalam gugatan tertanggal 6 Oktober 2008 itu, Astro Malaysia menggugat Lippo Group yang terdiri dari PT Ayunda Prima Mitra, PT Direct Vision, dan PT First Media Tbk, terkait dengan sengketa usaha patungan tersebut.

Astro Nusantara adalah stasiun televisi satelit berlangganan di Indonesia yang beroperasi sejak 28 Februari 2006 hingga 19 Oktober 2008. Sedangkan Direct Vision dimiliki oleh Ayunda Prima Mitra dan Silver Concorde Holding Limited. Kedua perusahaan tersebut merupakan bagian dari Grup Lippo, di mana PT Ayunda Prima Mitra adalah anak perusahaan langsung dari PT First Media Tbk, yang juga operator televisi kabel berlangganan.

BACA JUGA: