JAKARTA, GRESNEWS.COM - Banyaknya Rumah Sakit (RS) Swasta yang menolak pasien Bantuan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disinyalir akibat tarif Indonesia Case Base Groups (INA CBG) yang tak sesuai. Hal tersebut membuat RS Swasta berpikir panjang ketika menerima pasien BPJS, terlebih selama ini segala aset dan pengeluaran RS swasta dibiayai secara mandiri.

Ditambah lagi, dalam UU BPJS ternyata RS swasta memang tidak wajib menjadi provider BPJS Kesehatan, hal inilah yang menjadi pangkal permasalahan pasien BPJS terlantar. "UU ini bertentangan dengan UU Rumah Sakit, dimana RS manapun tak boleh menolak pasien," ujar Indra Munaswar, Koordinator BPJS Watch kepada Gresnews.com, Selasa (12/5).

Guna merampungkaan permasalahan ini, seharusnya pemerintah bertanggung jawab menyinergikan peraturan yang ada dan meminta kewajiban RS terhadap masyarakat. Menteri Kesehatan, diminta mengajak RS swasta untuk secara terbuka dapat bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.

"Pemerintah tak bisa menekan seenak kekuasaan mereka," katanya.

Selama ini, Kementerian Kesehatan mengkalim sudah duduk bersama stakeholder RS Swasta, namun diragukan telah tercapai kesepakatan tarif mutlak yang memadai bagi swasta. Persoalan selanjutnya terkait Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang tarif INA CBG yang menurut RS swasta selama ini terlalu rendah dan tak memberikan profit.

"Para RS swasta ini seluruh kapitalnya diusahakan sendiri, sehingga cost-nya lebih tinggi, beda dengan RS pemerintah yang semua bebannya ditanggung negara," katanya.

Permenkes ini bertentangan dengan UU dimana seharusnya besaran biaya disepakati antara BPJS dengan asosiasi fasilitas kesehatan di daerah  setempat, sehingga biaya per daerah bisa saja berbeda. "Perpres No 12 tahun 2013 mengamanatkan tarif harus sesuai permenkes," katanya.

Penolakan-penolakan RS Swasta ini pun semakin sering dilakukaan lantaran tak ada sanksi mengikat dari pemerintah. Karena dalam UU BPJS yang wajib menangani pasien BPJS Kesehatan adalah RS pemerintah, bukan swasta.

"Tapi mungkin setelah ada kesepakatan tarif, pemerintah dapat menyinergikan UU BPJS, UU Kesehatan, UU RS, dan UU Praktek Kedokteran sebagai alat tekan RS swasta menangani pasien  BPJS," usulnya.

Menanggapi hal ini, Dirjen Pembiayaan Dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede menyatakan jumlah RS swasta di Indonesia 1.473 dan yang sudah bekerjasama 821, artinya sudah banyak yang ikut dalam program BPJS.

Dari jumlah tersebut RS swasta yang belum ikut BPJS Kesehatan disinyalir akibat beberapa hal, diantaranya administrasi RS terkait penetapan tipe RS dan akreditasinya. "Kedua, rasio RS di suatu wilayah yang sementara dianggap cukup dan terakhir, mereka masih ragu dengan tarif INA CBG," ujarnya pada Gresnews.com, Selasa (12/5).

Untuk meminimalisir hal tersebut, Kemenkes telah melakukan pembinaan oleh tim terpadu ke RS yang belum bekerjasama. Menkes juga akan menggelar pertemuaan dengan perhimpunan/asosiasi RS termasuk swasta dan wakil-wakil RS swasta untuk mendengar masukan dari mereka pada besok Rabu (13/5).

Kemenkes  juga melakukan costing untuk penghitungan tarif ulang INA CBG termasuk data RS swasta yang berkontribusi hingga tak ada lagi pasien BPJS yang terlantar. "Terakhir kami mendorong diberlakukan Coordination of Benefit (COB) BPJS Kesehatan," katanya.

BACA JUGA: