JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kinerja BPJS Kesehatan sangat buruk lantaran mengalami defisit dalam memberikan jaminan kesehatan dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPJS Kesehatan menombok hingga sebesar Rp 5,85 triliun akumulasi sejak tahun 2014 hingga akhir 2015. Defisit biaya tersebut akibat pembayaran klaim kepada providers (rumah sakit ) jumlahnya lebih tinggi dari penerimaan iuran peserta BPJS Kesehatan.

Anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi NasDem Irma Suryani Chaniago mengaku bingung dengan kinerja BPJS Kesehatan yang mengalami defisit Rp 5,85 triliun. "Mengapa BPJS Kesehatan tahun 2015 mengalami defisit Rp 5,85 triliun," kata Irma, Rabu (30/12).

Irma mempertanyakan klaim dari BPJS ini lantaran sampai saat ini untuk pendistribusian Kartu Penerima Bantuan Iuran ( PBI) BPJS kepada masyarakat yang jumlahnya 84 juta jiwa masih belum keliihatan jelas penerimanya. Menurutnya ada satu desa di wilayah Sumatera Selatan , yaitu, Desa Kuripan, masih ada warga yang sama sekali belum mendapatkan kartu PBI tersebut. Bahkan ada desa lainnya seperti di wilayah Ogan Komering Ulu Timur juga belum menerima kartu PBI.

" Keterangan Kepala Desa Kuripan , warganya belum satupun menerima kartu PBI," jelasnya.

Sementara itu, di Ogan Komering Ulu Timur dari 500 KK , yang menerima hanya 12 kartu PBI, tetapi yang 5 kartu PBI tidak bisa dipakai karena orang yang menerimanya sudah meninggal. Ini menunjukkan pendistribusian Kartu PBI belum beres , tapi kenapa pernyataan bahwa BPJS Kesehatan merugi sebesar Rp 5,85 triliun, dan ini yang menjadi pertanyaan besar.

" Sampai saat ini data penerima PBI saja belum juga diberikan oleh BPJS Kesehatan, padahal sudah berkali-kali diminta," ucapnya.

MUASAL DEFISIT - Hingga Desember 2014, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih mencatat defisit. Klaim tercatat Rp 42,65 triliun sementara premi yang masuk hanya Rp 40 triliun. Hingga akhir tahun ini, BPJS Kesehatan memperkirakan masih mencatatkan defisit hingga Rp 6 triliun.

"Akhir tahun masih ada missmatch Rp 6 triliun," kata Direktur Komunikasi dan Kelembagaan BPJS Kesehatan Purnawan Basundoro saat konferensi pers di Gedung Merdeka, Jakarta, Selasa (4/8/2015).

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menambahkan, missmatch tersebut karena banyaknya orang yang sakit sehingga membutuhkan klaim yang besar dibandingkan orang yang bayar premi.

"Bukan defisit tapi missmatch antara iuran masuk dan biaya kesehatan karena apa, karena ini program baru belum semua orang masuk, yang masuk banyak yang sakit, ada insurance effect, iuran juga harus kita sesuaikan dengan data historical baru," terang dia.

Terkait hal itu, Fahmi menyebutkan, hingga akhir tahun BPJS Kesehatan masih akan menanggung defisit. "Itu yang diprediksikan, akan ada defisit sebesar itu, kita kelola dengan baik sehingga mismatch bisa dikelola, defisit ya sebesar angka itu," katanya.

Dia menjelaskan, hasil investasi BPJS Kesehatan selama satu tahun penuh terkumpul sekitar Rp 1 triliun. Sementara suntikan dari pemerintah sebesar Rp 5 triliun ditambah dana talangan dariaset BPJS Kesehatan senilai total Rp 11 triliun.

"Hasil investasi fully satu tahun lebih kita berikan, dana talangan menurut PP 87 itu kan maksimal 10 persen dari aset BPJS tapi baru diubah, katanya sudah tanda tangan presiden dan lagi di Kemenkumham untuk salinan dan nomornya, itu bisa 25% maksimal, berapa besarannya tergantung kebutuhan," jelasnya.

"Aset BPJS Kesehatan kan sekitar Rp 11 triliun, kalau 25% sekitar Rp 2,5 triliunan, tapi kan nggak langsung kalau hanya butuh Rp 100 miliar, ya Rp 100 miliar, yang Kemenkeu Rp 5 triliun, itu sehingga bisa menekan missmatch jadi Rp 1,5 triliun," jelas Fachmi.

Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai program asuransi terbaik di dunia. Meski sampai akhir tahun ini, BPJS Kesehatan diperkirakan kinerjanya masih defisit.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), OJK Firdaus Djaelani mengungkapkan, BPJS Kesehatan jadi salah satu badan usaha asuransi terbesar, dengan perlindungan asuransi kesehatan yang mencakup jumlah penyakit terbanyak dari pembayaran premi asuransi yang murah.

"Defisit sekian triliun memang. Tapi saya pelajari BPJS Kesehatan itu asuransi ternyata the best in the world. Begitu banyak penyakit, bayangkan kayak orang cuci darah seminggu 2 kali hanya bayar Rp 35.000. Belum yang kanker, belum yang jantungan," kata Firdaus, di Insurance Outlook 2015 di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (19/11).

"Daripada buat subsidi BBM ratusan triliun, dibakar tidak jelas peruntukannya, masih lebih baik nombok Rp 5 triliun buat kebutuhan dasar," imbuhnya.

Firdaus melanjutkan, hal yang membuat BPJS Kesehatan selalu defisit, hal ini terjadi karena banyak masyarakat sendiri yang belum sadar akan iuran preminya. "BPJS Kesehatan posisi September saja hampir Rp 2 triliun belum bayar. Orang-orang kita banyak yang nggak bayar BPJS. Kalau sehat dia malas bayar, giliran sakit baru rela dia dibayar lagi, ada denda 2% tak masalah asal bayar obat atau rumah sakit nggak bayar," ucapnya.

PERLU PENEGAKAN ATURAN - Koordinator Advokasi BPJS Wacth Timboel Siregar mengatakan mengenai terjadinya defisit Rp 5,85 triliun di tahun 2015 sudah diprediksi. Defisitnya pun terus bertambah bila di 2014 sebesar Rp 1,8 triliun dan sekarang menjadi Rp 5,85 triliun.

" Menurut saya defisit tersebut tidak perlu terjadi kalau saja direksi mau menegakkan aturan untuk masalah kepesertaan yang berakibat pada kenaikan jumlah iuran, dan direksi mau melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya," kata Timboel kepada gresnews.com, Rabu (30/12).

Timboele menjelaskan defisit terjadi karena buruknya kinerja direksi BPJS Kesehatan saat ini. Direksi gagal memenuhi perintah Perpres 111/2013 yang memerintahkan kepesertaan pekerja formal paling lambat 1 januari 2015.

"Defisit bisa dihindari bila saja direksi memaksimalkan kepesertaan dari pekerja formal (PPU = Pekerja Penerima Upah). Padahal per 4 Desember 2015 jumlah peserta dari PPU sudah sebanyak 21,8 juta orang. Angka itu sudah termasuk keluarga (maksimal 5 orang)," jelasnya.

Namun Kata Timboel, apabila rata rata 1 peserta menanggung 3 orang anggota keluarganya berarti jumlah PPU yang riil ikut baru sekitar 5 juta-an. Angka ini masih sangat kecil bila dibandingkan jumlah pekerja formal saat ini yang berjumlah 35 juta jiwa (di luar PNS TNI Polri).

" Ini artinya ada 30 juta pekerja formal yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan. Dengan potensi 30 juta jiwa sebagai peserta berarti ada potensi iuran Rp 36 triliun (= 12 bulan x 5 persen x rata-rata upah 2 juta x 30 juta pekerja)," ungkap Timboel.

Menurutnya, apabila 25 persen saja dari potensi angka tersebut (= Rp 9 triliun) bisa didapat maka tahun 2015 ini tidak terjadi defisit.

Demikian juga direksi saat ini gagal melakukan kendali mutu dan kendali biaya atas klaim INA CBGs dari RS RS. Kegagalan ini menyebabkan dana yang dikeluarkan BPJS untuk bayar klaim jadi besar.

Timboel menambahkan, sumber utama untuk membayarkan klaim INA CBGs, biaya operasional dan biaya lainnya adalah dari iuran (dari PBI maupun non PBI). "Jadi defisit pasti terjadi karena input pemasukan yaitu dari iuran yang kurang bila dibandingkan membayar klaim INA CBGs , kapitasi ,biaya operasional (termasuk gaji dan biaya lainnya)," ungkapnya.

Itu tak terjadi bila iuran PBI dinaikkan. Kendati tahun depan ada kenaikan iuran PBI sebesar Rp 23.000/orang/bulan dengan jumlah PBI menjadi 92,4 juta jiwa tetap tak mencukupi. "Kecuali direksi BPJS Kesehatan yang baru nantinya bisa menaikkan jumlah PPU menjadi 30 juta peserta dengan iuran PBI dinaikkan menjadi Rp 36.000/bulan/orang," kata koordinator Advokasi BPJS Wacth.

Seperti diketahu sebelumnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memperkirakan harus menalangi dana sebesar Rp 5,85 triliun tahun ini, akibat tingginya klaim yang harus dibayarkan tidak bisa ditutupi oleh iuran peserta.

Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Tono Rustiano menyebutkan dana yang selama ini masuk dari peserta penerima bantuan iuran (PBI) tidak mampu membayar pelayanan kesehatan secara maksimal.

"Kami akui, iuran yang kami terima tidak cukup untuk membayar layanan kesehatan. Terlihat di 2015 iuran yg kami terima rata-rata hanya Rp 27 ribu, sementara pelayanan yang kami harus bayarkan adalah Rp 32 ribu, ada selisih di sini," ujar Tono di Jakarta, Selasa (29/12) kemarin.

Selisih biaya tersebut menyebabkan defisit anggaran BPJS Kesehatan makin membesar. Selain untuk menyiasatinya, BPJS Kesehatan mengajukan permohonan suntikan dana dari pemerintah sebesar Rp 5 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 lalu.

Namun dana tambahan tersebut diperkirakan masih belum cukup untuk BPJS Kesehatan menjalankan fungsinya sebagai badan sosial. Terlebih di 2016 mendatang diperkirakan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional untuk kategori PBI bertambah 4,2 juta jiwa dari prognosa tahun ini yang mencapai 88,2 juta jiwa.

Dalam prognosa tahun ini, Tono memperkirakan pendapatan iuran BPJS Kesehatan mencapai RP 53,37 triliun sementara untuk penerimaan iuran BPJS diperkirakan mencapai Rp 50,55 triliun.

Menurut Tono, BPJS Kesehatan berencana melakukan beberapa perubahan penting di masa mendatang. Diantaranya penyesuaian iuran, penyesuaian manfaat dari program JKN, dan berharap ada suntikan dana dari pemerintah. Sebab, masih ada kendala pada anggaran program JKN.

"Terakhir, hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan penerimaan terutama di sektor Pekerja Penerima Upah (PPU) yang akhirnya harus dipaksa dengan penegakkan hukum dan kepatuhan agar semua mendaftarkan dirinya," ujarnya. (Agus Irawan/dtc)

BACA JUGA: