JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana penghentian subsidi pupuk bagi petani ditentang sejumlah pihak. Rencana itu  dinilai bukan jalan keluar atas kebocoran subsidi selama ini. Apalagi untuk saat pasokan pupuk subsidi dirasa masih kurang. Sehingga pemerintah diminta lebih fokus menangani oknum-oknum nakal yang mengemplang subsidi pupuk.

"Negara ini harus mendukung dan wajib melindungi serta memberdayakan petani. Subsidi tetap harus dilakukan," ujar Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS) kepada Gresnews.com, Selasa (13/1).

Sehingga kebijakan tersebut perlu dipikirkan dengan lebih matang. Sebaliknya, ia melihat praktek pemberian pupuk di lapanganlah yang bermasalah dan butuh perbaikan. Sebab selama ini keluhan para petani saat masa tanam selalu tentang kekurangan pupuk, padahal sudah disiapkan sebanyak 7 juta ton.

Namun seringkali subsidi pupuk ini malah merembes ke perusahaan-perusahaan besar pertanian. Penyelewengan ini merupakan hal jamak yang tak pernah ada penindakan tegas untuk mengubahnya. "Pastikan orang yang menerima subsidi tidak  salah arah," ujarnya.

Ketepatan pemberian subsidi menjadi tantangan terhadap janji Jokowi untuk membangun kedaulatan pangan. Ia mengusulkan, banyaknya petani yang dapat memproduksi pupuk sendiri dapat didorong kemampuannya oleh pemerintah. Jika pemerintah kembali tak memberi ruang atas itu, maka dapat dipastikan tak ada perubahan bagi kaum tani.

Ia kembali menegaskan subsidi tetap harus dilakukan negara. Namun jika dinilai bocor dan tidak tepat sasaran maka harus diubah caranya. Subsidi harus tetap bisa sampai dan dipakai petanin untuk meningkatkan produksinya.

"Bangun pabrik kompos di tingkat desa, kecamatan, atau kelurahan yang diberdayakan dari dan untuk petani," usulnya.

DPR RI juga menentang wacana  penghapusan pupuk bersubsidi oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Menurut Khilmi, anggota Komisi VI DPR RI selain perlu ada pembicaraan lebih lanjut bersama DPR, wacana ini juga berpotensi menimbulkan kelangkaan pupuk akibat penimbunan.

Sehingga jika jadi terlaksana, maka rencana penghapusan pupuk bersubsidi dianggap sepihak dan merugikan rakyat. Sebab pupuk subsidi amat bermanfaat membantu petani meningkatkan produksi.
"Penghapusan pupuk subsidi tidak boleh diwacanakan guna menghindari penimbunan pupuk," ujar Khilmi di Kompleks Parlemen, Senayan.

Penimbunan pupuk yang berefek kelangkaan ini dapat terjadi akibat prasangka kenaikan harga. Ujung-ujungnya kembali petani miskin yang resah dan terkena dampaknya.

Saat kunjungan kerja (kunker) kemarin, Khilmi mengaku, dirinya juga banyak mendapatkan masukan dan keluhan dari petani di dapilnya (Lamongan) yang keberatan atas rencana penghentian subsidi pupuk. "Kebutuhan pupuk yang disubsidi saja masih kurang. Harusnya 9,2 juta ton, yang disubsidi hanya 7 juta ton," tegasnya.

Saat ini kebutuhan pupuk subsidi, di satu desa mencapai 300 ton. Namun yang diberikan pemerintah hanya 250 ton. Jika alasan pemerintahan ingin menghapuskan pupuk bersubsidi karena ada kebocoran penyaluran, maka semestinya kebocoran itulah yang diperbaiki.

Namun sejauh ini ia melihat penyaluran pupuk subsidi sudah berjalan dengan baik. Sebab setelah distributor menyerahkan pupuk ke petani, akan ada verifikasi. "Jika tidak melalui verifikasi, maka Departemen Pertanian tidak mau membayar subsidi," katanya.

Ia berharap pihak yang bermain dalam penyaluran pupuk subsidi, ditangkap dan dijatuhi hukuman berat.

Sebelumnya, Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Aviliani mengatakan, salah satu perubahan kebijakan mendasar yang akan dilakukan Presiden Jokowi terkait dengan subsidi pupuk. "Presiden ingin subsidi pupuk dihapus," ujar Aviliani usai pertemuan ISEI dengan Presiden Jokowi di Istana Negara, Selasa(6/1).

Rencana penghapusan subsidi pupuk itu dilandasi fakta bahwa selama ini sebagian pupuk subsidi justru diselewengkan, tidak diberikan kepada petani yang berhak. Karena itu, sambung Aviliani, Jokowi menginginkan agar subsidi pupuk dialihkan ke pos lain di sektor pertanian, sehingga manfaatnya lebih dirasakan oleh petani.

Keinginan untuk menghapus subsidi pupuk ini sebenarnya sudah pernah disuarakan di era pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Suswono, menteri pertanian ketika itu, mengakui penyaluran pupuk bersubsidi itu sulit dikontrol. Disparitas harga antara pupuk subsidi dan nonsubsidi yang cukup jauh membuat godaan untuk menyelewengkan kian besar. Apalagi, di kawasan ASEAN, tidak ada lagi negara yang masih menerapkan skema subsidi pupuk.

BACA JUGA: