JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengobatan anak terjangkit virus HIV/AIDS selama ini ternyata mengalami banyak hambatan. Selain keengganan anak meminum obat karena jenuh, obat yang dipasok bagi anak pun memiliki banyak efek samping jangka pendek dan jangka panjang.

Pusat Penelitian (PP) HIV/AIDS Atma Jaya menemukan hambatan pengobatan anak dengan HIV/AIDS. Pengobatan menggunakan Antiretroviral (ARV) memang wajib dilakukan, namun harus dilakukan, namun distribusi pasokan ARV selama ini tidak merata antara kota besar dan kota kecil.

"Efeknya penanganan anak yang hidup dengan HIV/AIDS masih belum optimal," ujar Natasya Evalyne Sitorus, Advokasi dan Psikososial Manager Lentera Anak Pelangi saat diskusi isu pengobatan bagi anak dengan HIV//AIDS di Hotel Ibis, Wakhid Hasyim, Jakarta, Kamis (8/1).

Perkiraan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mencapai 296.000, dan ada 591.823 jumlah orang berisiko HIV/AIDS pada 2012. Menurut data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, sampai dengan September 2014 terdapat 2.026 anak usia kurang dari 1 - 19 tahun yang terinfeksi HIV/AIDS. Jumlah tersebut setara dengan 4 persen dari keseluruhan orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Sayangnya, jumlah anak dengan HIV/AIDS yang banyak tersebut tidak dibarengi dengan kuantitas dan kualitas layanan kesehatannya. Obat yang sering tersedia bagi mereka bukan dalam bentuk formula pediatrik, sehingga konsumsinya harus dipotong/digerus. Terdapat kemungkinan saat memotong obat tidak merata sedang obat yang berukuran besar membuat anak kesulitan menelan.

Hal ini juga dialami Yayasan Lentera Anak Pelangi dimana beberapa kali ketersediaan obat Triamune Baby/Jr (ARV Pediatrik) habis, sehingga anak harus diberikan formula dewasa yang digerus. "Penakaran yang kurang tepat memunculkan keluhan ruam dan jamur pada kulit anak," ujarnya.

Selain ruam dan jamur, efek di beberapa anak bahkan menjadi kurang pendengaran, anemia dan hiperaktif. Obat d4T yang selama ini menolong orang dengan HIV/AIDS untuk bertahan hidup pun ternyata telah diusulkan World Health Organization (WHO) untuk ditarik peredarannya.

"Obat ini memberikan efek samping yang berat bagi anak, karena menimbulkan toksiksitas jangka panjang," ujar Chris W. Green dari Yayasan Spiritia dalam kesempatan yang sama.

Sedang untuk obat jenis EFV yang sudah disetujui di Amerika Serikat, untuk diberikan pada anak dengan HIV/AIDS usia tiga bulan ke atas, juga belum diputuskan penggunaannya oleh WHO. "WHO mengusulkan rejimen lini satu baku untuk bayi atau anak dengan HIV/AIDS mengandung Aluvia," katanya.

Selain itu, tantangan pelaku rawat atau orang tua seringkali tidak terlalu menganggap ARV sebagai obat yang penting diberikan tepat pada waktunya. "Sehingga, beberapa anak mengalami resistensi dan harus beralih ke lini dua," ujar Natasya.

Terakhir, sebagai tantangan terberat yakni kesadaran anak untuk rutin minum obat. Anak cenderung jenuh minum obat, bahkan tidak tahu dirinya terinfeksi HIV. "Dengan begitu, kesadaran meminum obat secara teratur rendah," katanya.

BACA JUGA: