JAKARTA, GRESNES.COM - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global menuding pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup  (KLH) tidak transparan dan terbuka dalam penyusunan draf perubahan dan naskah akademik Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang lahan Gambut. Untuk itu koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi lingkungan hidup seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Perkumpulan HuMa berencana menyurati KLH dan Presiden untuk menunda pengesahan RPP tersebut.

“Padahal proses pembahasan dan penetapan RPP Gambut telah memasuki tahap akhir. KLH telah menerbitkan draft revisi final yang selanjutnya akan disahkan Presiden,” ujar Zenzi Suhadi, Manager Kampanye Eksekutif Nasional WALHI dalam konfrensi persnya di kantor WALHI, kemarin.

Zensi mengungkapkan RPP Gambut berpotensi menjadi jalan metamorfosis KLH sebagai mesin pencuci hak rakyat terhadap kawasan gambut. Karena RPP ini memiliki muatan kepentingan yang beresiko terhadap kerusakan gambut dan eksistensi kehidupan masyarakat di sekitar ekosistem.

Sebagai contoh,  ia membeberkan Pasal 23 yang mengatur ketebalan hutan gambut yang kurang dari satu meter dimasukan sebagai lahan budidaya dan dapat dikeluarkan izin. “Seharusnya mereka tidak mengukurnya dari ketebalan tapi dari konsekuensi yang ditimbulkan terhadap lingkungan sekitar. Ketebalan lahan gambut di masing-masing wilayah tentu berbeda,” ujarnya.

Ia mengatakan bisa saja suatu wilayah seperti Sumatera yang ketebalan gambutnya rata-rata kurang dari satu meter akan dijadikan lahan komersil seperti kelapa sawit misalnya, “Ini akan merusak seluruh ekosistem lahan gambut yang ada di sana. Masak semuanya akan dijadikan lahan kelapa sawit,” ucapnya.

Anggalia Putri, aktivis dari Perkumpulan HuMa juga menyayangkan tidak adanya kriteria baku kerusakan yang ditetapkan dalam RPP Gambut tersebut. Sehingga para perusahaan besar dapat meloloskan diri dari tuduhan perusakan lingkungan, “Ambang batasnya terletak pada penerbit izin lingkungan masing-masing, yang bisa saja dikeluarkan oleh kepala daerah,” ujarnya di tempat yang sama.

Penerbit izin menurutnya,  bisa saja menetapkan batas yang disepakati agar perusahaan tersebut tidak melanggar ambang batas. Padahal, dia mengatakan indikasi yang terjadi di lahan gambut seperti adanya genangan air lebih dari sebulan, kebakaran vegetasi, serta penurunan tanah sudah dapat diindikasikan perusahaan tersebut melakukan perusakan lingkungan.

Untuk Itu, Koalisi meminta presiden mengkaji ulang pasal-pasal yang beresiko menjadi faktor yang memperbesar kerusakan lahan gambut, “Mengesahkan RPP Gambut dengan subtansi yang tidak melindungi gambut secara menyeluruh adalah presenden buruk bagi Pemerintah Indonesia dalam memerangi perubahan iklim,” tutur Zenzi.

BACA JUGA: