Can´t read my, can´t read my
No he can´t read my poker face
(She´s got to love nobody)
Can´t read my, can´t read my
No he can´t read my poker face
(She´s got to love nobody)

Itulah penggalan lirik lagu Poker Face yang melambungkan nama Lady Gaga ke pusaran musik dunia. Tembang tersebut merupakan single kedua dari album The Fame yang dirilis pada 19 Agustus 2008. Hingga hari ini album studio tersebut terjual 12 juta kopi di seluruh jagat.

Poker Face bertutur tentang wajah tanpa perasaan untuk menyembunyikan emosi seseorang layaknya wajah seorang pemain judi poker, untuk mengelabui lawan main. Poker Face juga kerap diidentikkan dengan kemunafikan di warga Barat sana.

Konser musik pelantun Poker Face itu pula yang kini menjadi kontroversi di negeri ini. Ketika Polri ogah memberi ijin konser musiknya meskipun sudah puluhan ribu tiket terjual.

Pelarangan konser penyanyi bernama asli Stefani Joanne Angelina Germanotta di mata politisi PDI Perjuangan berdasarkan moral "atau ada hal lain?" tanya Tb Hasanuddin dari Komisi I DPR RI kepada gresnews.com di Jakarta, Minggu (20/5).

Berkaca pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kata Hasanuddin, maka perijinan dan pelarangan apapun bentuknya dari lembaga terhadap warga negara harus ditetapkan sesuai hukum yang berlaku.

"Sekarang hukum yg dipakai untuk pelarangan Lady Gaga itu apa? Kalau hukum yang dipakai itu hukum pornografi kok sudah dilarang, sedangkan (kasusnya) belum terjadi di wilayah NKRI, itu yg pertama," ungkap Hasanuddin.

Kedua, ungkapnya lagi, kita sebagai warga RI, hidup di dunia yang terjadi hubungan antarnegara yang dikenal sebagai globalisasi. Kita tidak ingin mancanegara melihatnya dari sisi politisnya saja, tapi juga penegakan hukum.

"Ketika dalam penegakan hukum, aturan-aturannya dipengaruhi, ditekan dan dikooptasi oleh kelompok-kelompok di luar lembaga negara. Apalagi ada yang tanya bahwa Indonesia sudah diatur oleh tekanan kelompok radikal," tambah Hasanuddin.

Korupsi atau Lady Gaga?
Juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar pun angkat bicara. "Mana lebih merusak moral, konser Lady Gaga atau korupsi?"

Dia pun mengibaratkan kondisi ini seperti ketentuan tentang makanan haram dalam aturan Islam. Menurutnya, kaum muslim tahu dan sadar bahwa menyantap makanan haram seperti anjing dan babi itu terserah masing-masing.

"Belum tentu yang nonton Lady Gaga lalu moralnya jadi rusak semua," ungkap Akil Mochtar ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (20/5).

Ketimbang Lady Gaga, korupsi lebih merusak bangsa Indonesia sebagai perbuatan tercela secara moral dan perbuatan melawan hukum serta tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana terhadap perbuatannya.

"Sedangkan nonton konser Lady Gaga kan bukan perbuatan yang melanggar atau dilarang? Jadi beda ukurannya, kalau soal porno kan hari-hari di Jakarta banyak yang lebih porno dan merusak moral di seputaran Jakarta," ungkap Akil.

Pendapat senada dikemukakan politisi Golkar, Tantowi Yahya di tempat terpisah. "Mana yang lebih merusak moral. Nonton Lady Gaga atau korupsi?"

Menurut Tantowi yang juga dikenal sebagai penyanyi country, korupsi dan Lady Gaga sama-sama merusak moral. "Bedanya, kalau tontonan seronok bisa dihentikan polisi. Kalau korupsi, yang bisa menghentikan pelakunya sendiri. Terbukti UU Tipikor, KPK tidak bisa meredam tindak pidana korupsi."

Ruang publik
Sementara politisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Murady Darmansjah menilai Lady Gaga sudah masuk dalam wilayah publik dan terlampau dibesar-besarkan.

"Hal itu lebih menunjukkan mudaratnya daripada kebaikannya," ungkap Murady.

Menurutnya, apa yang dilakukan Polri sebagai hal yang sah-sah saja. Dia mengibaratkan kebutuhan seseorang pada suatu kegiatan sementara yang lain tidak butuh, hal itu harus dilihat sebagai suara rakyat dan harus dipertimbangkan.

Dia prihatin pada kenyataan, kontroversi Lady Gaga masuk ruang publik dan beralih menjadi isu suatu mayoritas pemeluk agama di negeri ini yang beragama Islam.

"Kalau dibawa ke lingkup ini masalahnya tidak akan selesai-selesai bila bicara tentang agama. Lady Gaga jika datang di Indonesia seharusnya juga memahami budaya dan aturan di Indonesia. Aceh dan Papua saja sudah berbeda apalagi dari luar negeri," ungkap Murady kepada Gresnews di Jakarta, Minggu (20/5).

BACA JUGA: