JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan memang berupaya menggenjot produksi perikanan, khususnya perikanan budidaya. Untuk tahun ini, KKP menargetkan produksi perikanan budidaya mencapai 19,5 juta ton. Target ini jauh meningkat dibandingkan produksi tahun sebelumnya yang mencapai 17,4 juta ton. Komoditas utama yang diunggulkan dalam capaian produksi ini adalah rumput laut dan udang, baik udang windu maupun vaname.

Dalam rangka itu, KKP menggelar seminar dan pameran bertaraf internasional yang dikolaborasikan dengan pelaksanaan Indonesian Aquaculture (INDOAQUA) 2016 dan Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA). Kegiatan yang diikuti 22 negara tersebut menampilkan sejumlah produk unggulan Indonesia, seperti  keunggulan rumput laut, produksi udang, dan aneka jenis ikan yang kualitas dan kuantitasnya diperhitungkan negara lain.

Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Subijakto mengatakan akan ada pertukaran informasi, pertukaran ilmu lewat seminar-seminar dan membuka peluuang investasi baru di bidang budidaya. "Salah satu tujuannya adalah menarik minat investor, tumbuhnya investasi baru di bidang budidaya," katanya, Rabu (27/4) lalu.

Semua upaya itu, kata Slamet, dilakukan untuk mencapai peningkatan sebesar 2,1 juta ton produksi perikanan agar target 19,5 juta ton tercapai. Karena itu, pihak KKP juga sudah menyiapkan sejumlah program pendukung. "Akan diimbangi dengan pengembangan teknologi berkelanjutan dalam proses produksi budidaya," kata Slamet.

Selain target produksi perikanan budidaya, DJPB juga terus mencapai target Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). "Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari DJPB pada tahun 2015 mencapai Rp18,9 miliar atau 162% dari target yang telah ditetapkan. Sebagian besar PNBP ini berasal dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) DJPB. Jadi di samping target produksi perikanan budidaya, target PNBP ini juga harus terus dicapai," jelas Slamet.

DJPB juga siap mendukung program pembangunan pulau-pulau terluar dan perbatasan yang dicanangkan oleh KKP. Dukungan DJPB di antaranya melalui program Pembangunan Kawasan Kelautan dan Perikanan Terintegrasi (PK2PT). "Kita juga mendukung pembangunan di pulau terluar dan perbatasan melalui program Pembangunan Kawasan Kelautan dan Perikanan Terintegrasi (PK2PT). Dukungan kita berikan dengan melihat potensi wilayah tersebut. Bisa berupa kebun bibit rumput laut, Karamba Jaring Apung (KJA), benih ikan, dan paket bantuan budidaya lainnya," terang Slamet.

Dalam kegiatan yang dihelat dari tanggal 26-29 April ini, Indonesia mendapatkan sambutan yang luar biasa dari negara lain. Menko Kemaritiman, Rizal Ramli menyatakan tujuan Indonesia turut ambil andil adalah guna menunjukkan ke dunia bahwa Indonesia memiliki banyak produk unggulan di industri perikanan. Ia juga menyatakan peluang investasi untuk bidang ini terbuka sangat lebar. "Banyak potensi yang belum dikembangkan dengan baik, sehingga menarik minat asing mengembangkan berbagai investasi di dalam negeri," sebutnya.

Ia menyatakan produk rumput laut Indonesia memiliki potensi menjadi nomor satu di dunia. Tak hanya itu, ia juga menyasar potensi hasil daratan dimana banyak area persawahan bisa dipelihara ikan. Bahkan katanya, jika diterapkan sistem ini maka pendapatan perikanannya akan lebih menguntungkan dibanding padinya sendiri. "Masih banyak space untuk inovasi, tapi yang utama harus menjaga kualitas lingkungan, jangan kebanyakan pupuk," katanya.

Dalam kesempatan itu, Rizal menambahkan, aquaculture sekarang produksinya sekitar 6,5 juta ton. Rizal meminta Dirjen Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan produksi bisa menembus 9-10 juta ton pada 5 tahun ke depan.

"Indonesia unggul termasuk soal udang, rumput laut, kakap. Hebatnya Indonesia, kebanyakan produknya tidak memakai antibiotik, tidak ada bahan kimia yang berbahaya dan mencemari, sehingga di Uni Eropa kita diloloskan. Untuk ekspor ke sana sudah bebas," tandasnya.

KESEJAHTERAAN NELAYAN TERLUPAKAN - Rencana pemerintah menggenjot produksi sektor perikanan ini memang bertujuan baik, yaitu untuk ikut meningkatkan kesejahteraan para pelaku usaha perikanan termasuk nelayan dan pembudidaya ikan. Hanya saja, pemerintah juga diingatkan bahwa tak selamanya peningkatan produksi perikanan akan berbanding lurus dengan kesejahteraan nelayan.

Peneliti dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, saat ini dari sisi jumlah, tingkat produksi perikanan di sektor budidaya sudah cukup baik. Sayangnya jika dilihat lebih dalam lagi, jumlah produksi bukanlah menjadi tolok ukur keberhasilan. Kesejahteraan para pembudidaya juga harus menjadi perhatian besar pemerintah. "Jangan sampai ada kabar miris di balik hasil produksi yang meningkat," ujar Susan kepada gresnews.com, Kamis (28/4).

Susan menuturkan baru-baru ini terjadi konflik di Lampung, tepatnya di desa Bratasena, antara para pembudidaya udang yang notabene para pembudidaya dengan pola inti-plasma dengan perusahaan. Konflik terjadi karena para pembudidaya butuh modal yang tidak sedikit untuk mengembangkan budidaya udang, sehingga perlu menggandeng perusahaan lain yang dapat memberikan modal dengan harapan sistem bagi hasil. "Akan tetapi kenyataannya di lapangan sangat tidak relevan," tegasnya.

Alih-alih mendapatkan keuntungan lewat bagi hasil, para pembudidaya ini malah diperlakukan seperti buruh oleh perusahaan karena tidak dapat menentukan harga jual secara mandiri. "Ujung-ujungnya, petambak tak pernah mendapatkan keuntungan sepadan," kata Susan.

Sebetulnya, Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam sudah cukup komperhensif. Akan tetapi jangan sampai berhenti di tingkat rencana, namun harus bisa diaplikasikan di semua tingkatan, agar tidak terdengar lagi ada kejadian seperti di Lampung.

Susan melihat, banyak daerah yang berpotensi akan mengabaikan UU ini. Ini disebabkan karena masih banyak daerah yang sebenarnya tidak memiliki komitmen dan spirit untuk mensejahterakan para nelayan, dan pembudidayanya. "Jangan sampai di tingkat lokal malah amburadul," tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Sekretaris Jenderal KIARA Abdul Halim. Dia mengatakan, dewasa ini rantai perdagangan ikan dunia belum memihak masyarakat pelaku perikanan skala kecil, khususnya di negara-negara berkembang. Padahal, mereka berkontribusi sebesar 40 persen dari total produksi perikanan tangkap global (FAO 2012).

"Pelaku pasar makanan laut (seafood) setengah hati memihak. Apalagi banyak pemerintah di negara-negara berkembang yang notabene produsen perikanan belum sungguh-sungguh berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh nelayan tradisional, perempuan nelayan, dan pembudidaya ikan kecil," kata Halim kepada gresnews.com.

Kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat perikanan skala kecil untuk terlibat dalam sistem perdagangan ikan di tingkat nasional dan internasional, serta berkompetisi dengan pelaku pasar lainnya diantaranya adalah ongkos produksi sangat tinggi, dan intervensi teknologi yang minim. Selain itu, harga jual ikan juga rendah, dan pelaku perikanan skala kecil dihadapkan pada ketidakpastian status wilayah tangkap dan tambak/lahan budidaya, serta keterbatasan dalam pendokumentasian hasil tangkapan/budidaya yang bisa diakses konsumen.

Dalam situasi inilah, dibutuhkan peran besar negara untuk memfasilitasi pelaku perikanan skala kecil mengatasi permasalahannya, khususnya perempuan nelayan. Halim menegaskan, negara harus hadir di tengah kompetisi perdagangan ikan dan permintaan pasar terkait standar-standar baru, seperti keamanan pangan, bebas dari aktivitas merusak dan pelanggaran HAM yang kian ketat.

Dengan kehadiran negara, nelayan tradisional, perempuan nelayan, dan pembudidaya ikan kecil akan sanggup bersaing dengan pelaku ekonomi di bidang makanan laut lainnya. "Bahkan bisa memotong panjangnya rantai perdagangan ikan sehingga kualitas ikan lebih segar dengan harga lebih tinggi," tambah Halim.

HAPUS POLA INTI-PLASMA - Terkait perikanan budidaya, Halim mengatakan, kemitraan model inti-plasma tidak lagi relevan apabila pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan membiarkan konflik akibat ketidakadilan perjanjian kerja sama dan ketidakterbukaan pelaksanaannya berujung pada dihilangkannya hak-hak konstitusional pembudidaya ikan.

"Apa yang terjadi di Bratasena merupakan pengulangan dari pengalaman pahit pembudidaya udang Bumi Dipasena yang telah bangkit," kata Halim.

Pusat Data dan Informasi KIARA (Mei 2011) mencatat, penghilangan hak-hak konstitusional pembudidaya udang dalam pelaksanaan kemitraan inti-plasma disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perjanjian kerja sama memberikan kewenangan monopoli kepada perusahaan (inti) dalam penyediaan sarana dan prasarana budidaya udang.

Kedua, perantara perusahaan dalam mendelegasikan KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari perbankan, seperti BRI dan BNI, tidak transparan sejak awal kemitraan inti-plasma dimulai. "Bahkan terindikasi kuat bahwa perusahaan memperbanyak jumlah petambak sebagai kreditur, padahal sesungguhnya nominalnya tidak mencukupi," kata Halim.

Hal ini berdampak terhadap penundaan pelaksanaan aktivitas budidaya udang, sementara saldo utang bulanan dan biaya-biaya lain yang diperoleh dari perusahaan terus berjalan. Ketiga adalah, penentuan harga jual udang ditetapkan secara sepihak tanpa disertai dengan adanya informasi pasar yang bisa diakses secara reguler. "Akibatnya, pembudidaya udang senantiasa merugi, meski panen dalam jumlah besar," ujarnya.

Halim menegaskan, disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengganti pola kemitraan inti-plasma. Buktinya, kata dia, pasca konflik dengan PT Aruna Wijaya Sakti (anak perusahaan PT Central Proteina Prima), pembudidaya udang di Bumi Dipasena bangkit secara ekonomi, politik, dan sosial melalui skema usaha budidaya udang yang mandiri, transparan, adil, dan menyejahterakan.

"Ini dikarenakan tidak adanya monopoli usaha dan pembudidaya udang terlibat secara gotong-royong dari hulu ke hilir melalui pelbagai program pengembangan masyarakat yang diinisiasi oleh Perhimpunan Petambak dan Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW), Koperasi Petambak Bumi Dipa, dan PT Bumi Dipa," pungkas Halim.

BACA JUGA: