JAKARTA, GRESNEWS.COM - Para nelayan yang tergabung dalam Gerakan Nelayan Nasional Masyarakat Perikanan Indonesia (Gernnas Mapi) menyatakan akan mewujudkan "ancaman" mereka untuk aksi "melaut" di depan Istana Negara dalam perayaan Hari Nelayan tanggal 6 April mendatang. Koordinator aksi itu, Kajidin menilai, pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan tak memberikan respons positif terkait desakan nelayan agar Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mencabut regulasi yang merugikan nelayan.

Kajidin menegaskan, persiapan aksi "melaut: di depan Istana sudah rampung 90 persen. Rencananya akan ada kurang lebih 20 ribu nelayan yang akan membanjiri Ibukota Jakarta untuk menyuarakan agar Jokowi mengganti Susi. Nelayan yang akan datang ke Jakarta, untuk pulau Jawa berasal dari Rembang, Pati, Juwana, Tegal, Cirebon, Indramayu, Subang, DKI Jakarta dan Banten. Sedangkan massa yang dari luar Jakarta ada dari Bitung, Sibolga, Belawan dan Lampung. "Persiapan aksi kami serahkan kepada masing-masing koordinator wilayah, saat ini data yang sudah masuk ke saya sudah 90%," katanya kepada gresnews.com, Jumat (1/4).

Kajidin menyampaikan, pada tanggal 6 April 2015, pukul 05.00 massa sudah berkumpul di depan Istiqlal, kemudian pukul 08.00 massa akan longmarch ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikan di Jl Medan Merdeka Selatan. Di depan kantor KKP ini para nelayan akan melakukan aksi orasi dan aksi simbolis dengan memberikan ikan busuk serta melakukan penyegelan kantor KKP menggunakan jaring nelayan, kemudian ditutup tabur bunga dan doa bersama sebagai simbol telah matinya KKP dalam membela kepentingan nelayan kecil.

Kemudian, kata Kajidin, nelayan tidak akan melakukan audiensi dengan pihak KKP, setelah serangkaian kegiatan aksi diselesaikan di KKP, massa akan longmarch ke Istana Negara. "Kami sudah tidak percaya kepada Menteri KKP Susi, tidak akan ada audiensi nelayan dengan KKP," tegasnya.

Kajidin mengungkapkan, selama ini KKP dengan berbagai aturannya telah menyengsarakan para nelayan dan tidak peduli dengan kesusahan yang dihadapi para nelayan. "Nelayan yang jadi pengangguran serta jeritan-jeritannya tidak pernah digubris, malah menginstruksikan kepada aparatur seperti Pol Air untuk menangkapi para nelayan," ungkapnya.

Aksi ini, menurutnya, hanya akan ada satu tuntutan yang akan disuarakan, yakni mendesak Jokowi untuk mengganti Susi Pudjiastuti, karena menteri dipandang hanya melakukan pencitraan, tanpa memberikan kebijakan yang pro kepada para nelayan. Kajidin mengatakan, jika tanggal 6 April ini para nelayan tidak dapat bertemu dengan Jokowi, massa dengan kekuatan logistiknya akan bertahan di dalam monas selama tiga hari, menunggu sampai Jokowi mau menemui nelayan, dan apabila selama waktu itu tidak juga ditemui presiden nelayan mengancam akan melakukan aksi yang lebih besar lagi.

"Kami menyuarakan satu hal, yakni mendesak Jokowi untuk mengganti mentri KKP Susi Pudjiastuti, kami akan bertahan sampai ditemui oleh Jokowi, apabila sampai tiga hari kami tidak juga dapat bertemu presiden, kami akan melakukan aksi yang lebih besar lagi, sampai pemerintah benar-benar mendengarkan suara rakyat," katanya.

Para nelayan sebelumnya memang menolak beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dinilai banyak merugikan nelayan. Peraturan yang ditolak para nelayan pertama adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Kedua adalah Permen KP No 1/Permen KP/2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan.

Ketiga, Permen KP No 2/ Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Penangkapan Pukat Hela dan Pukat Tarik. Keempat, Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Selain itu, para nelayan juga mempermasalahkan proses perizinan untuk nelayan seperti Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang proses perizinannya terlalu lama. Untuk mendapatkan SIPI, saat ini nelayan memerlukan waktu antara 6-8 bulan. Berbagai peraturan tadi dan juga berbelitnya proses perizinan dinilai menjadi biang keladi kesengsaraan yang dihadapi nelayan tradisional.

LURUSKAN KEBIJAKAN - Koordinator Mapi Ono Surono mengatakan, pihak KKP sebenarnya telah menawarkan dialog yang disampaikan pada Senin (28/3) lalu. Namun tawaran itu ditolak nelayan, karena menganggap Susi tak bakal memberikan solusi. Nelayan, kata Ono, melihat itu dari berbagai pernyataan Susi di media massa, dan dari eselon-eselon I dibawahnya, yang menegaskan tidak akan mengubah kebijakan yang sudah ditetapkan.

Ono yang merupakan anggota Komisi IV DPR dan politisi PDIP ini mengatakan, aksi tanggal 6 April yang digalangnya bersama para nelayan, tidak terkait dengan kebijakan partai yang menjadi pendukung utama pemerintahan Jokowi-JK. Dia membantah aksi mendesak Jokowi agar mengganti Susi ini merupakan bentuk ketidakkompakan antara PDIP dengan Jokowi.

Ono menegaskan, kapasitasnya dalam aksi ini adalah sebagai Koordinator Gernnas Mappi, dan tidak mewakili fraksi atau partai. Selain itu Ono juga mengatakan, Susi Pudjiastuti bukan kader partai dan bukan menteri dari PDI Perjuangan.

"Saya tidak mengatasnamakan mewakili fraksi maupun partai, ini merupakan masih gerakan personal saya sebagai orang yang selama ini dekat dengan nelayan, dan saya pun sebagai pelaku usaha di bidang nelayan dan kelautan," tegasnya kepada gresnews.com.

Ono Surono mengatakan PDIP, akan selalu konsisten dalam membela kepentingan rakyat kecil, yang dalam permasalahan ini adalah nelayan. Dia menilai dalam konteks ini, kebijakan Susi memang berdampak kepada seluruh nelayan tradisional. "Saya sendiri belum tahu sikap fraksi dan partai seperti apa, mudah-mudahan PDI P selalu konsisten untuk membela kepantingan masyarakat, khususnya nelayan yang saat ini mereka dirugikan betul oleh kebijakan menteri KKP," katanya.

Dia menilai, kinerja Susi selama ini malah membuat visi dan misi kedaulatan dan kesejahteraan nelayan yang merupakan turunan dari program nawacita Jokowi, malah salah sasaran. Menurutnya kedaulatan yang dijalankan oleh Susi dengan pemberantasan praktik illegal fishing-nya terhadap nelayan asing, bukan domain KKP. Seharusnya hal tersebut merupakan tanggung jawab Angakatan Laut dan Kementerian yang membidangi pertahanan.

"Seharusnya bicara kedaulatan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu, bicara tentang kedaulatan pangan, kalau bicara kedaulatan pangan di sektor perikanan maka ujungnya kesejahteraan nelayan, nah sekarang faktanya terbalik, Susi itu mengambil peran AL, Bakamla dan Menteri Pertahanan," ujarnya kepada gresnews.com (29/3)

Gernnas Mapi, kata Ono, ingin meluruskan kebijakan-kebijakan dari KKP. Seharusnya KKP bisa berbicara simultan terkait kedaulatan. Bicara kedaulatan di sektor perikanan adalah kedaulatan pangan, bicara keberlanjutan adalah keberlanjutan usaha nelayan tanpa merusak lingkungan, dan bicara bagaimana meningkatkan kesejahteraan nelayan.

"Nah tiga visi ini harus dijalankan simultan, tidak sendiri-sendiri. Sekarang kalau bicara kesejateraan nelayan faktanya dilapangan ada kurang lebih 650.000 orang yang menganggur, dampak dari peraturan yang dikeluarkan oleh menteri Susi," terangnya.

Menurutnya, Susi membuat aturan secara tergesa-gesa. Ono menjelaskan, sebuah negara dibentuk untuk menyejahterakan rakyatnya dan menciptakan kondisi yang adil dan makmur bagi rakyat. Dalam mewujudkan hal tersebut, kata dia, tidaklah bisa seketika dan Susi dinilainya ingin mengubah dengan seketika.

"Keberlanjutan kapal-kapal pukat yang dilarang, kapal-kapal yang dibuat di luar negeri dan tidak memiliki masalah hukum itupun tidak beroperasi, terus juga pelarangan lobster, rajungan dan kepiting yang kurang dari 200gr, kemudian juga yang termasuk peningkatan PNBP di KKP. Semua itu upaya-upaya yang pada akhirnya, bukan membuat masyarakat adil dan makmur, malah mati masyarakatnya, dan itu tanpa ada solusi," tegasnya.

Ono menyampaikan, berdasarkan kajian, beberapa dareah malah meningkat angka penganggurannya akibat dari peraturan yang dikeluarkan oleh Susi. Meningkatnya pengangguran ini kemudian berdampak pula kepada meningkatnya kriminalitas. "Kejahatan di Jatim meningkat, Jateng meningkat, karena nelayan mengganggur, inikan kan terkait masalah perut mereka juga," ujarnya.

NELAYAN JADI ANAK TIRI - Ono menilai, kebijakan Susi justru membuat nelayan jadi anak tiri di rumah sendiri. "Nelayan Indonesia anak tiri di negeri sendiri asing di negeri sendri," tegasnya. Kesimpulan itu dia ambil setelah melihat data terkait dampak dari kebijakan yang dibuat oleh Susi.

Peraturan Menteri yang dibuat dan aturan lain yang ditetapkan Susi, kata Ono, setidaknya telah menciptakan angka penggangguran kurang lebih sebanyak 630.000 orang, yang terdiri dari ABK sekitar 103.000 orang, buruh unit pengolahan ikan sebanyak sekitar 75.000 orang terancam dirumahkan, pembudidaya dan nelayan kepiting serta rajungan sekitar 400.000 orang, penangkap benih lobster sebanyak sekitar 8.000 orang, pembudidaya lobster sekitar 1.000 orang, pembudidaya ikan kerapu sekitar 50.000 orang dan 47 perusahaan bangkrut.

Total jumlah kapal dan perahu ikan yang terdaftar ada sekitar 680.000 buah dengan ukuran diatas 70 GT hanya 2%, dan yang melakukan kegiatan illegal fishing kurang dari 0.2%, sementara yang kecil dan miskin sebanyak 99% belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Pasokan ikan ke unit pengolahan ikan di Pantura Jawa dan Bitung menurun 60%, serta 20 perusahaan perikanan tangkap dan perusahaan pengolahan ikan sudah tidak beroperasi lagi dan terancam bangkrut akibat ketidakpastian usaha.

Keadaan nelayan Indonesia pun dinilai semakin terpuruk dengan adanya pelarangan subsidi di sektor perikanan. Ono memaparkan berbagai hal dilarang pensubsidiannya, yang pertama subsidi infrastruktur pelabuhan, yaitu subsidi perikanan yang berkenaan dalam bentuk infrastruktur pelabuhan atau bentuk fasilitas fisik pelabuhan lainnya yang secara eksklusif dan utamanya digunakan untuk aktifitas yang terkait dengan kegiatan penangkapan ikan seperti fasilitas pendaratan ikan, fasilitas pendingin ikan (fish storage), dan fasilitas pemrosesan di atau dekat pelabuhan perikanan.

Pelarangan subsidi berikutnya transfer kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ke negara ketiga, yaitu subsidi perikanan yang keuntungannya mengarah pada transfer kapal perikanan atau kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ke negara ketiga, termasuk melalui pembentukan joint enterprises dengan partner dari negara ketiga.

Selanjutnya pelarangan subsidi biaya operasi penangkapan ikan, yaitu subsidi perikanan yang keuntungannya mengarah pada biaya operasi kapal perikanan atau kapal pengangkut, termasuk biaya perizinan atau pungutan lainnya, BBM, es, umpan, personal, biaya sosial, asuransi, alat tangkap, dan dukungan di laut atau pendaratan, penanganan (handling) atau aktifitas pemrosesan di atau dekat pelabuhan untuk produk perikanan hasil tangkapan atau subsidi untuk menutupi kerugian operasi dari kapal atau kegiatan tersebut.

Pelarangan subsidi kapal perikanan, yaitu subsidi perikanan yang keuntungannya mengarah pada akuisisi (acquisition), pembangunan (construction), perbaikan (repair), pembaruan (renewal), renovasi (renovation), modernisasi (modernization), atau modifikasi lainnya dari kapal perikanan atau kapal pengangkut, termasuk subsidi untuk fasilitas boat building atau shipbuilding untuk tujuan tersebut. Kemudian larangan subsidi pendapatan, yaitu subsidi bagi orang atau badan hukum yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan (income support for natural or legal persons engaged in marine wild capture fishing).

Pelarang terkahir terkait subsidi dukungan harga, yaitu subsidi perikanan adalah subsidi terhadap dukungan harga terhadap produk perikanan hasil penangkapan (price support for products of marine wild capture fishing). Pelarangan-pelarangan subsidi ini dilakukan atas dasar SCM (Subsidies and Countervailing Measures) agreement WTO. Perjanjian itu berisi penegasan larangan subsidi sebagai kontribusi finansial oleh pemerintah atau badan publik, yang memberikan keuntungan.

Selain itu, Ono menilai, ada pernyataan Menteri Susi yang tak sesuai keyataan. Contohnya terkait pelarangan pemain asing di perikanan tangkap. "Pada kenyataannya ada 29 perusahaan yang berjenis PMA (Penanaman Modal Asing) yang telah diberikan izin," tegasnya.

TEKAD YANG KUAT - Terkait berbagai tuntutan itu, termasuk desakan agar Jokowi menggantinya, Susi menegaskan, semua kebijakan yang diterbitkan selalu atas persetujuan Presiden RI. "Saya memiliki keyakinan bahwa kebijakan yang diambil adalah semuanya demi kebaikan bangsa ini, untuk menjadikan laut sebagai masa depan bangsa," ujarnya kepada gresnews.com.

Menurutnya, kebijakan terkait penertiban-penertiban IUU Fishing, telah memberikan dampak positif. Misalnya, pada satu tahun yang lalu ikan-ikan belum besar-besar, tetapi belakangan 6 bulan terakhir, KKP mendapatkan informasi di beberapa daerah seperti Papua, Sorong, dan Maluku ukuran ikannya jauh lebih besar dan hasil tangkapan mereka meningkat.

"Yang biasa tidak pernah dapat tuna sekarang dapat, atau yang dulu ikannya kecil-kecil sekarang dapatnya besar-besar. Tentunya kebijakan-kebijakan tersebut tidak bisa menyenangkan semua pihak, dan untuk menikmati hasilnya kan perlu waktu," ujarnya.

Perihal tuntutan pencopotan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, kata Susi, itu sepenuhnya merupakan hak preogratif presiden. Apabila nantinya ternyata diberhentikan sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi mengaku akan kembali menjadi pengusaha. "Saya kalau diberhentikan jadi Menteri, ya jadi pengusaha lagi," katanya.

Terkait tudingan bahwa regulasi yang dikeluarkannya menyebabkan ratusan ribu orang menjadi pengangguran, Susi membantahnya. "Dari perhitungan kasar saja tidak mungkin sebanyak itu. Di Bitung misalnya, beberapa cold storage yang dimiliki UPI-UPI (Unit Pengolahan Ikan-red) itu memang selalu kosong. Baik sebelum ataupun sesudah moratorium, selalu dibiarkan kosong," terangnya.

Sedangkan terkait perusahaan memang sebelum kebijakan moratorium dan transhipment dikeluarkan sudah banyak yang kolaps, yang disebabkan kurangnya bahan baku akibat illegal fishing. "Sustainability itu harus menjadi jiwa dari semua pengelolaan dan pembudidayaan. Tanpa sustainability atau keberlanjutan, apa pun yang kita kerjakan akan berakhir dalam jangka waktu tertentu. Ikan di laut tanpa sustainability management yang keras, yang disiplin, yang ketat, ikan akan habis," tegasnya.

Susi menegaskan, KKP berupaya terus untuk bergerak cepat dan melakukannya sebaik mungkin untuk me-reform tata kelola laut Indonesia. "Karena menangani 2/3 wilayah laut kita yang sangat luas itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi kami yakin saatnya nanti semuanya akan merasakan dampak positifnya," tegas Susi.

Kritikan yang terkait pencabutan pasal tentang subsidi di sektor perikanan atas dasar SCM agreement WTO, menurut Susi itu merupakan konsekuensi sebagai negara anggota WTO. Indonesia terikat untuk melaksanakan dan mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan nasional agar sesuai dengan ketentuan GATT-WTO, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai subsisdi yang diatur dalam SCM Agreement.

Terakhir Susi menanggapi pelarangan pemain asing di perikanan, akan tetapi ada 29 PMA yang sudah diberikan izin. "Terkat hal ini, sebelumnya sudah diusulkan, dan Presiden sudah setuju bahwa perikanan tangkap seluruhnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Indonesia saja dan pemerintah membuka seluas-seluasnya, untuk negara-negara sahabat berinvestasi di industri pengolahan, berinvestasi di transportasi dan lain-lain. Tetapi usaha penangkapan ikan hanya milik bangsa Indonesia dan saat ini KKP yang me-reform secara signifikan," ujarnya.

Sebelumnya, kebijakan serupa juga dilakukan Amerika pada tahun 1976. "Indonesia sudah sejak zaman dahulu melaut sampai ke Madagaskar, jangan mengecilkan potensi pelaut Indonesia," pungkasnya. (Gresnews.com/Nda Waluyo)

BACA JUGA: