JAKARTA, GRESNEWS.COM - Paket kebijakan Ekonomi Jilid IV yang diumumkan pemerintah beberapa waktu lalu, langsung menuai banyak penentangan khususnya dari kalangan buruh lantaran paket kebijakan tersebut dinilai tak berpihak pada kaum buruh dan rakyat kecil. Salah satu titik kritik yang disampaikan para buruh ada soal sistem pengupahan yang akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, para buruh seluruh Indonesia akan menolak paket kebijakan ini dengan melakukan aksi terhitung mulai 15 Oktober sampai Desember 2015 nanti. Para buruh utamanya menentang isi paket kebijakan Ekonomi Jilid IV soal pengupahan yang memasukkan penetapan kenaikan upah minimum setiap tahun yang didasarkan hanya pada inflasi+Pendapatan Domestik Bruto.

"Kebijakan tersebut akan dituangkan dalam RPP Pengupahan dan kebutuhan hidup layak (KHL) serta akan ditinjau 5 tahun sekali," ujar Iqbal dalam pesan singkat kepada gresnews.com, Minggu (18/10).

Selama ini diketahui KHL merupakan komponen dasar untuk menetapkan nilai Upah Minimum Provinsi/Upah Minimum Kabupaten (UMP-UMK). Kebijakan ini, kata Iqbal disusun tanpa melibatkan serikat pekerja sehingga merugikan pekerja.

"Ini jelas menghilangkan peran serikat pekerja untuk negosiasi upah minimum dan kembali pada kebijakan upah murah dengan mengendalikan upah buruh secara arogan," katanya.

Iqbal menyatakan di sisi lain, pengusaha sudah mendapat sokongan pemerintah melalui paket kebijakan jilid 1,2, dan 3. "Kebijakan upah pemerintahan Jokowi-JK jauh lebih kejam dari Orde Baru," katanya.

Tuntutan buruh jelas menolak RPP Pengupahan dan menolak kenaikan UMP flat berdasarkan tingkat inflasi+PDB. Buruh menginginkan ada kenaikan upah minimum 2016 sebesar 22%. Ia juga menyatakan, buruh ingin agar KHL naik menjadi 84 item untuk mengembalikan daya beli dan meningkatkan konsumsi yang diharapkan berdampak pada naiknya angka pertumbuhan ekonomi dan buruh terhindar dari PHK karena dunia usaha bisa kembali bergerak.

"Satu tahun pemerintahan Jokowi-JK, kami diberi kado melambatnya ekonomi, ancaman PHK, dan paket kebijakan ekonomi jilid 4," katanya.

Iqbal mengatakan, poin yang fokus pada ketenagakerjaan namun tidak lagi mengacu hasil survei pasar terkait harga dalam menentukan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) dinilainya sia-sia dan hanya sebagai pemanis saja. Hal ini lantaran kenaikan upah 5 tahun sekali yang dijanjikan melalui perubahan KHL toh ternyata tak dipakai, karena fokus pada inflasi dan PDB. "Kita kembali pada upah murah sebagai daya saing industri, buruh ibarat air susu dibalas air tuba," ujarnya.

PENGUSAHA JUGA KEBERATAN - Jika buruh keberatan karena komponen upah menjadi rendah tak memberikan ruang bagi buruh untuk memenuhi kebutuhan minimal, sebaliknya para pengusaha justru keberatan karena dinilai peraturan yang ada memberatkan pengusaha karena beratnya beban membayar cost untuk pegawai. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariadi Sukamdani menilai upah buruh yang terlalu tinggi justru tidak mendukung buruh untuk mendapatkan pekerjaan dalam masa waktu yang panjang.

Hal ini bisa dilihat dari UU No. 13 Tahun 2013 yang lebih memberatkan pengusaha karena beban cost membayar pegawai sangat tinggi. Dalam catatannya, setiap daerah yang notabene sebagai wilayah industri kerap menaikkan Upah Minimum Pegawai (UMP) dari 30 sampai 70 persen yang justru mengacaukan kalkulasi ekonomi yang dilakukan pengusaha.

Bagi Hariadi, implikasi yang paling nyata saat ini dari regulasi tersebut perusahaan lebih senang mempekerjakan tenaga kontrak. "Rata-rata pekerja di Indonesia itu hanya bekerja dalam waktu 8 tahun saja, selepas itu mau tak mau perusahaan mempertimbangkan untuk melakukan pemecatan," katamya

Nah, terkait masalah pemecatan ini, urusannya juga kerap tidak mudah lantaran jalur penyelesaian sengketa perburuhan yaitu peradilan hubungan industrial pada faktanya tidak banyak menyelesaikan kasus perburuhan.

Anggota Komisi IX Irma S Chaniago mengatakan, pengadilan hubungan industrial yang dalam hukum acara pidana masuk kedalam hukum perdata ini menempatkan buruh pada posisi tidak memiliki daya tawar. Semantara pengusaha dirugikan dari sisi lamanya waktu penyelesaian sengketa.

Pasalnya, proses peradilan hukum yang ada dalam UU No. 2 Tahun 2004 juga memakan waktu yang sangat lama. Jika dibandingkan, UU No 22 tahun 1957 yang memosisikan pemerintah sebagai perantara justru lebih efektif bisa menyelesaikan perselisihan. Proses pengadilan hubungan industrial sendiri beevariasi penyelesaiannya, paling lama bisa mencapai 7 tahun.

Hal tersebut dianggap merugikan pengusaha karena harus membayar proses masa pengadilan dan juga upah buruh selama proses pengadilan. "Pengadilan hubungan industrial seringkali merugikan kedua belah pihak. Dari 80 persen kasus penyelesaian hubungan industrial, hanya 15 persen yang dieksekusi sampai ke pengadilan," ujar Irma S Chaniago dalam pesan yang diterima gresnews.com, Minggu (18/10).

Angka tersebut dianggapnya sangat kecil untuk urusan penyelesaian sengketa yang cenderung tidak pro terhadap kedua belah pihak. Untuk itu, ia pun mendorong revisi UU No. 22 tahun 2004 untuk segera direvisi agar momok kemandegan penyelesaian hubungan industrial tidak terjadi dimasa mendatang. "UU ini tidak adil, tidak mudah, tidak cepat dan tidak murah. Klausulnya mempersulit pekerja dan pengusaha," katanya.

Misalnya saja UU No. 22 tahun 2004 tidak memberikan sanksi yang jelas atas putusan pengadilan sehingga banyak pengusaha tidak taat lantaran sanksinya hanya sanksi administratif. Pada Pasal 96 dimana terdapat keharusan membayar upah proses juga banyak yang tidak ditaati perusahaan, sedang hakim ad hoc hanya ada di provinsi sehingga mempersulit proses pengadilannya.

BURUH-PENGUSAHA TAK PERLU RIBUT - Ketika buruh dan pengusaha sama-sama merasa keberatan dengan sistem pengupahan ini, pemerintah justru tetap optimis sistem pengupahan yang nantinya dituangkan dalam RPP Pengupahan ini justru akan menguntungkan kedua belah pihak. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, melalui formula baru ini, diharapkan tidak akan ada lagi ´keributan´ antara pengusaha dan pekerjanya yang biasanya terjadi setiap tahun menjelang ditetapkannya pengupahan.

"Kemarin kan intinya soal upah buruh, upah tenaga kerja. Kita butuh stabilitas sosial dan politik untuk membangun. Kita tidak ingin antar pengusaha dan buruh terjadi suatu perbedaan pandangan sepanjang tahun," ujar JK di kantornya, Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (16/10).

JK menjelaskan, pembentukan formula baru UMP tersebut bertujuan untuk memberi kejelasan terhadap pengusaha dan buruh dalam menentukan kenaikan upah buruh setiap tahunnya. Oleh karena itu, dibutuhkan aturan yang jelas, baik untuk pengusaha maupun buruh.

Dengan rumus perhitungan penambahan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi, JK menilai, upah buruh sudah dinilai layak. "Makanya kemarin rumusan itu. Bahwa hidup layak itu sudah kita bicarakan bertahun-tahun. Upah hari ini sudah kita anggap sebagai atau mendekati hidup layak yang dibicarakan. Tapi memang tiap tahun itu penghasilan tergerus dengan inflasi. Oleh karena itu, kita tambah dengan inflasi, kita tambahkan dengan pertumbuhan ekonomi supaya stabil pendapatan itu untuk hidup layak," jelas dia.

JK mengimbau, dengan formula baru tersebut, aturan pengupahan semakin jelas sehingga diharapkan tidak ada lagi demo buruh menuntut kenaikan upah. "Kita sesuaikan tahun demi tahun dengan perkembangannya. Mestinya mereka dapat menerima yah. Pengusaha juga sudah terima. Nah ini jangan lupa, minimum 10 persen naik setiap tahun. Lebih tinggi daripada rumusan dulu. Seharusnya sudah dapat menerima itu," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: