JAKARTA - Kondisi buruh pada era Presiden Joko Widodo saat ini belum bisa dibilang sejahtera. Masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh para pemodal dan pemerintah seolah melakukan pembiaran. Hak normatif para buruh pun ada yang tidak dipenuhi. Kendati tuntutan dilayangkan, namun sayangnya kandas, sebagian besar kalah berhadapan dengan pemodal.

Direktur Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) Syarif Arifin mengatakan dalam satu tahun terakhir ini sudah ada enam pabrik yang ditutup, namun penyelesaian terhadap hak-hak buruh belum tuntas. Padahal rata-rata para buruh tersebut sudah bekerja puluhan tahun. "Selain itu juga muncul masalah relokasi pabrik," katanya kepada Gresnews.com usai sebuah diskusi, Selasa (17/12).

Relokasi pabrik itu seolah menjadi solusi lantaran ada peningkatan investasi. Namun seharusnya relokasi ini jangan dijadikan sebagai alasan untuk merampas hak hidup buruh untuk hidup layak. Pemodal seolah hendak lepas tangan ketika tidak memenuhi hak buruh dengan memindahkan pabriknya ke daerah lain. "Ada pengusaha dan pemodal jahat dapat diterima dengan atas nama investasi, itu terjadi seiring dengan semakin menguatnya penguasa," ujarnya.

Ia mengatakan kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah terus mengundang investasi baru sementara perlindungan terhadap para buruh minim. Pemerintah seolah membiarkan pelanggaran di lapangan. Para buruh pun akhirnya gagal melawan para pemodal nakal. "Tahun ini bisa dikatakan kita (para buruh) kalah dengan narasi yang dibangun pemerintah dan pemodal," ungkapnya.

Masalah lain yang dihadapi para buruh, kata Syarif, adalah pelanggaran yang dilakukan buruh karena ketidaktahuan mereka. Selama ini sebagian besar pelanggaran sumbernya dari ketidaktahuan buruh. Kendalanya memang para buruh yang sebagian besar lulusan SMA, SMK tidak diajari tentang hukum perburuhan.

Syarif menjelaskan yang menjadi kendala bagi para buruh juga soal buruknya penegakkan hukum. Ditambah lagi mereka yang menegakkan hukum tidak mengerti soal peraturan yaitu tentang hak upah, hak kesehatan, dan hak atas pekerjaan. Dampaknya luar biasa terjadi pelanggaran hak normatif pada hampir semua pabrik multinasional, tertinggi di daerah Jawa Barat, Banten dan Jakarta.

Masalah buruh semakin pelik lantaran Kementerian Tenaga Kerja mendapat anggaran terbatas. Padahal perlu anggaran yang lebih besar untuk pengawasan, menambah jumlah personel, dan menambah jumlah tim ahli. Banyak sumber daya manusia yang berada di dinas ketenagakerjaan memiliki latar belakang bukan ahli dalam bidang ketenagakerjaan. Hal tersebut terlihat dalam beberapa satuan kerja pemerintah daerah antara lain dinas pemakaman umum, atau bekas kepala rumah sakit sehingga tidak mempunyai kapasitas untuk membuat aturan tentang ketenagakerjaan. (G-2)

BACA JUGA: