JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pembunuhan terhadap seorang anak berusia 9 tahun yang terjadi di Kalideres, Jakarta Barat, menjadi pukulan telak bagi pemerintah dan DPR yang baru saja mengesahkan RUU Perlindungan Anak. Peristiwa ini dinilai menjadi cermin, pemerintah belum sepenuhnya bisa menciptakan lingkungan yang aman bagi anak.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Soleh dalam kunjungannya ke rumah korban mengatakan, aparat keamanan punya tuga berat untuk menangkap pelaku pembunuhan keji itu. Sementara pemerintah juga punya tugas berat untuk proses pemulihan teror ini. Khususnya bagaimana sekolah memastikan anak-anak bisa belajar dengan baik.

"Pemulihan kasus ini dimana teror menyebabkan rasa ketakutan tengah masyarakat. Dan memastikan anak-anak dapat belajar dengan baik," kata Asrorun.

Asrorun menambahkan, lingkungan juga harus bekerja sama agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali. "Karena tanpa dukungan lingkungan kasus yang ada unsur kekerasan pelecehan seksual rawan terjadi," tutupnya.

Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak memang merupakan tugas kolektif pemerintah, masyarakat, sekolah dan keluarga. Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi mengatakan, dalam soal ini, peran masyarakat juga dirasa sangat penting.

"Partisipasi masyarakat, orangtua dan para guru juga penting. Dan RT dan RW harus membentuk satgas perlindungan anak," ucap pria yang akbar disapa kak Seto itu.

EFEKTIVITAS UU PERLINDUNGAN ANAK - Meski sudah direvisi, UU Perlindungan Anak memang masih bisa dipertanyakan kembali efektivitasnya dalam menjadi payung hukum yang cukup kokoh bagi perlindungan anak-anak Indonesia.

Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menilai, tidak sedikit kalangan yang seolah patah arang saat bicara tentang penerapan UU tersebut di lapangan.

"Sebab sejumlah pasal UUPA menuntut perubahan paradigma kerja lembaga terkait, dan itu belum terealisasi. Seperti dalam kejahatan terhadap anak, di mana pengakuan anak merupakan satu barang bukti," kata perempuan yang akrab disapa Sara ini, lewat pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Selasa (6/10).

Dari perspektif ini, kata dia, terlihat, polisi masih kerap menyamakan kejahatan terhadap anak dengan kejahatan lainnya, sehingga pengakuan anak cenderung diabaikan. Selain itu, lanjut Sara, UUPA membutuhkan adanya sistem perlindungan anak.

Sayangnya, hingga kini belum ada sistem tersebut. Akibatnya, langkah-langkah perlindungan anak pun terlihat sporadis dan tidak terintegrasi satu sama lain.

Bahkan lanjut Sara, hingga saat ini masih ada perbedaan pemahaman tentang tupoksi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai salah satu lembaga yang mendapat penekanan ekstra di dalam UUPA.

"Sebetulnya KPAI lebih sebagai lembaga pengawasan dan koordinator, bukan lembaga eksekutor. Salah kaprah dalam memandang KPAI pada gilirannya memunculkan ekspektasi-ekspektasi yang tidak proporsional, sehingga tolak ukur keberhasilan kerja KPAI pun menjadi bias," ungkapnya.

Selain itu, Sara juga menilai, saat ini masalah perlindungan anak masih cenderung dipandang sebagai isu domestik, bukan kepentingan publik. "Akibatnya, sistem peringatan dini yang semestinya bisa dibangun sebagai bentuk resiliensi (daya lenting) masyarakat tidak berjalan efektif karena ada keengganan untuk ikut campur dalam masalah keluarga lain," imbuhnya.

Bahkan revisi UUPA, khususnya terkait pasal-pasal pemidanaan, adalah cerminan kegagalan otoritas penyusun legislasi dalam mengartikulasikan kemarahan publik saat menentukan berat ringannya sangsi terhadap pelaku kejahatan terhadap anak.

Selain itu, unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) hingga saat ini masih berada pada level Polres. Padahal, kecepatan dalam merespon kasus-kasus kejahatan terhadap anak akan lebih tinggi jika unit PPA bisa didorong hingga ke level Polsek.

Karena itu, sesuai fungsinya, Komisi VIII DPR RI memiliki peran strategis untuk melakukan pemantauan terhadap kinerja eksekutif. Instruksi Presiden 5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (Inpres GN-AKSA) sebagai produk kebijakan eksekutif, juga termasuk menjadi bahan cermatan DPR.

"Bahkan karena Inpres GN-AKSA ditujukan kepada seluruh kepala daerah, maka sudah seharusnya DPRD di seluruh daerah juga melakukan pemantauan intensif terhadap kerja kepala daerah, lembaga atau dinas setempat di bidang pencegahan dan penanganan anak dari kejahatan seksual maupun kejahatan-kejahatan lainnya," jelas Sara.

Dengan demikian, Sara yang tergabung dalam Panitia Kerja (Panja) Perlindungan Anak DPR RI menakar sekaligus mendorong percepatan kerja Kementerian/Lembaga terkait di bidang perlindungan anak. "Utamanya mengenai program kerja pencegahan dan penanganan kejahatan seksual terhadap anak," pungkasnya.

PERWUJUDAN HAK ANAK - Terkait pengesahan UU Perlindungan Anak, Wakil Ketua Komisi VIII Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, UU ini merupakan perwujudan dari penjaminan negara atas hak anak. Selain itu UU ini juga diharapkan dapat menjadi payung perlindungan anak dengan memberikan pemenuhan hak-hak anak di berbagai bidang, seperti agama, sosial, pendidikan, maupun kesehatan.

"Juga melindungi anak dari perluasan ruang lingkup dari perlindungan khusus yang sebelumnya tidak diatur terhadap anak yang menjadi korban kejahatan seksual, anak korban pornografi, anak korban HIV/AIDS, anak korban jaringan terorisme, anak dengan perilaku sosial menyimpang, dan lain sebagainya," kata Ledia seperti dikutip dpr.go.id.

Di samping itu, tambah Ledia, perlindungan anak yang diatur dalam RUU ini juga bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

"Juga anak mendapat perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Hal ini demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera," harap Ledia.

Untuk itu, memang diperlukan penguatan lembaga terkait perlindungan anak baik penguatan atas Komisi Perlindungan Anak termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PP dan PA).

Anggota Komisi VIII DPR RI Hidayat Nur Wahid mengatakan, pihaknya telah mengambil keputusan bersama dengan Menteri PP dan PA Linda Amalia Sari Gumelar pada tahun 2014 lalu untuk meningkatkan status kementerian ini tidak lagi sekadar Kementerian Negara.

Diharapkan nantinya Komnas PA dan lembaga lain menjadi bagian dari kementerian yang secara spesifik sesuai dengan tupoksinya untuk melindungi perempuan dan anak. "Dulu nomenklaturnya kementerian negara dan sudah disepakati siapapun yang menjadi presiden dan menteri agar statusnya ditingkatkan menjadi kementerian. Kalau statusnya naik maka selain kewenangan, kapasitas, personil, dan anggarannya pasti menguat," ungkapnya.

Menurut Hidayat, Komisi VIII juga telah mendorong Menteri PP dan PA untuk mengingatkan Presiden segera merealisasikannya. "Saya merasa optimis dengan diubahnya menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tetapi kalau dilihat dari kewenangan maupun anggarannya masih sama saja seperti yang lalu. Malah dibanding dengan dulu anggarannya turun, ini aneh bin ajaib," keluhnya. (dtc)

BACA JUGA: