JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengawasan terhadap produk impor yang masuk ke Indonesia sungguh mencemaskan. Kondisi dimaksud meliputi penanganan dan pengawasan barang-barang produksi ekspor yang menyangkut kebutuhan mendasar seperti makanan dan obat-obatan. Terlebih sarana penampungan khusus untuk fasilitas karantina barang di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta masih sangat minim.

Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, penanganan dan kontrol pengawasan makanan dan obat-obatan di pelabuhan menjadi penting memastikan kualitas mutu barang. Sebagai lembaga legislatif yang bermitra langsung dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ia menilai perlu pembangunan sarana dan fasilitas karantina yang memadai untuk menjamin legalitas dan keamanan kondisi barang sebelum beredar ke masyarakat.

"Pemeriksaan dan pengawasan perlu ditangani serius oleh masing-masing lembaga berwajib sesuai bidang kerjanya," kata Dede kepada gresnews.com, Senin (5/10).

Terkait keamanan dan sterilisasi barang, BPOM wajib hukumnya melakukan pengawasan dan pengecekan terutama produksi legal yang siap beredar dimasyarakat melalui kordinasi bersama pihak Bea Cukai pelabuhan.

Politisi Partai Demokrat itu menilai, tidak hanya BPOM yang turun tangan, namun Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan perlu aktif menjaga peredaran barang sesuai ruang lingkupnya.

Sejauh pengamatannya, Dede menyebut ada temuan produk makanan yang mengandung bahan kimia berbahaya. "Peredaran bahan makanan selama ini sebagian diketahui memiliki kandungan narkoba dan lain-lain,"ungkapnya.

Disebutkan, jika merujuk pada data BPOM, terjadi peningkatan temuan kasus peredaran obat dan makanan ilegal. Khusus di provinsi DKI Jakarta, data tahun 2014 lalu ditemui serangkaian kasus peredaran bahan makanan dan obat berbahaya sebanyak 253 kasus.

Di samping itu, khusus untuk makanan yang mengandung bahan berbahaya semisal formalin dan boraks juga meningkat dari 7,86 persen menjadi 15,06 persen tahun lalu.

"Temuan dan kasus itu sudah ada sebelumnya sehingga izin edarnya diperketat tentu dilibatkan pihak imigrasi dan bea cukai untuk proses karantina," ucapnya.

RENTAN TERHADAP PEREDARAN BAHAN BERBAHAYA - Tidak hanya BPOM, Kementerian Kesehatan juga diminta terjun langsung menangani produk bahan makanan dan obat-obatan. Dimana, fungsinya untuk melakukan karantina produk kesehatan. Namun begitu, faktor pendorong terbesar peredaran produk berbahaya dipicu minimnya sarana seperti fasilitas laboratorium di pelabuhan.

Sebab, butuh uji lab bahan-bahan baku makanan melalui treatment khusus guna menjaga sterilisasi barang. Terkait kondisi itu, pemerintah dinilai perlu menyediakan fasilitas tersebut di area pelabuhan agar menjamin peredaran barang dalam kondisi aman untuk kebutuhan konsumsi.

Kurangnya fasilitas juga terjadi pada saat terjadi endemik penyakit menular. Pemerintah pun kerepotan menyediakan fasilitas karantina khusus penyakit menular tersebut. Misalnya, kata Dede, ketika terjadi ancaman penyakit Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS CoV). Saat itu pemerintah kesulitan untuk melakukan karantina terhadap orang-orang yang menjadi suspect penyakit itu ketika misalnya baru pulang dari negara Timur Tengah seperti Saudi Arabia.

Karena itu, kata dia, DPR mendorong pemerintah untuk membuat RUU khusus menyangkut karantina kesehatan. "Saya belum rapatkan soal itu, tetapi intinya pemerintah harus memiliki sarana prasarana khusus untuk menangani penyakit yang membutuhkan karantina khusus," kata Dede ketika dihubungi gresnews.com, Senin (14/9).

Lembaga karantina penyakit ini tak hanya ada di pusat melainkan juga di daerah. "Karena penanganan virus dan penyebarannya butuh treatment spesial," lanjut Dede.

Karantina dapat diartikan pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular. Selama ini, pasien dengan penyakit menular dengan pasien biasa sering dikumpulkan dengan pasien biasa. Alasannya karena keterbatasan ruangan dan ini sering terjadi di RS daerah.

Padahal seharusnya ada pemisahan antara penderita penyakit menular dari orang sehat. Itu hanya bisa dilakukan lewat fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan khusus. Pemerintah harus memiliki sarana prasarana khusus untuk penanganan jenis penyakit penyakit yang butuh karantina khusus.

PERLU LAB KHUSUS - Direktur National Maritime Institute (NAMARIN) Siswanto Rusdi mengatakan, harus diakui selama ini belum ada pembangunan fasilitas laboratorium oleh kementerian terkait di pelabuhan Tanjung Priok.  Padahal, kata Rusdi, proses  itu merupakan faktor penting dalam tahapan memeriksa kualitas dan masa berlaku bahan baku makanan.

Menurutnya, standar pemeriksaan tidak hanya sebatas mengecek tanggal kadaluarsa produk seperti yang selama ini dilakukan pihak terkait. Namun, harus tetap di uji lab terkait kondisi dan tingkat kandungan kimia produk itu. Tidak hanya itu, barang-barang konsumsi dan kesehatan impor harus dilihat legalitas dokumen dan fisik barang.

"Karantina dibebani misi menjaga keselamatan dan kesehatan terhadap semua produk yang tiba dari luar negeri. Sampai saat ini, belum ada fasilitas lab di pelabuhan," kata mantan Sekjen Asosiasi Wartawan Maritim Indonesia itu kepada gresnews.com, Senin (5/10).

Akibat daripada itu, sterilisasi perlu melibatkan Beacukai, badan karantina dan BPOM. Ia mencontohkan, pembagian sudah sesuai bidang kerja tiap-tiap Kementerian/Lemabaga. Karantina tumbuhan dan daging misalnya ada dibawah kontrol Kementan, produk perikanan adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, sementara obat dan produksi kesehatan ditangani Kemenkes dan BPOM.

Sebab, apabila skema pemeriksaan tidak berjalan, Rusdi khawatir peredaran bahan baku makanan dan obat cukup rentan bagi konsumen. Untuk itu, guna memenuhi jaringan pengaman produk di pelabuhan, setidaknya tiap kementerian dapat berupaya mengalirkan anggaran pembangunan fasilitas lab dan peremajaan sarana yang berkaitan dengan alur barang.

"Pengadaan lab di pelabuhan mempercepat arus barang. Selama ini, lokasi lab yang jauh dari pelabuhan menjadi penghambat pergerakan barang," katanya.

BACA JUGA: