JAKARTA, GRESNEWS.COM - Ditemukannya daging sapi di pasaran yang mangandung zat agonis beta-2 menimbulkan pertanyaan atas kualitas sistem karantina dan pengawasan produk Indonesia. Sebab kasus sejenis juga sebelumnya pernah terjadi beberapa tahun lalu, dimana ditemukan masuknya benih-benih berpenyakit asal China.   

Koordinator Pokja Beras Aliansi Desa Sejahtera (ADS) Said Abdullah menyatakan fungsi karantina adalah menyensor segala produk impor saat produk datang. Atau, menginspeksi langsung di negara pengimpor. "Ketentuannya seperti itu, sayang proses sudah dilakukan, dikarantina, tapi banyak produk yang tetap lolos," katanya kepada gresnews.com, Kamis (9/7).

Persoalannya adalah saat proses dilakukan masih terdapat kemungkinan lolos dari beberapa hal. Hal ini dimungkinkan karena beberapa sebab. Pertama, karena adanya keterbatasan teknologi untuk menyensor produk-produk yang berbahaya.

Kedua, keterbatasan pengetahuan, dalam hal ini, benih berpenyakit misalnya, akan berkembang setiap waktu, sehingga perlu adanya peningkatan pengetahuan untuk mengetahui jenis penyakit baru. Ketiga, produk dibawa dengan cara ilegal melewati pintu-pintu yang longgar pengawasannya, sebab diketahui, pintu-pintu masuk di Indonesia cukup banyak.

"Atau terakhir memang ada kepentingan bisnis tertentu  sehingga sengaja diloloskan," katanya.

Alasan terakhir inilah yang dinilainya paling kuat karena memiliki kepentingan yang sangat besar. Apalagi, penjualan bibit ini menghasilkan keuntungan yang luar biasa besar. Ujung-ujungnya proses penyensoran yang terdiri dari sekian langkah bisa dipotong jadi hanya beberapa langkah saja.

"Ini bukan hal baru, hanya tak pernah terekspos bagaimana produk bisa lolos di pengkarantinaan," katanya.

Dalam hal benih tanaman, ada kemungkinan jika Indonesia tak kuat mengamankan produk-produk ini maka akan terjadi ledakan hama baru yang tak bisa diantisipasi. Produk-produk yang membawa bibit penyakit ini berpotensi menimbulkan jenis penyakit baru di Indonesia.

Serangan hama penyakit yang disebabkan masuknya bibit penyakit yang terbawa dalam bibit yang diimpor, baik lewat jalur resmi maupun illegal telah berulangkali terjadi. Ia juga membeberkan sejumlah serangan hama akibat benih-benih berpenyakit, yang datanya telah dikonfirmasikan dengan departemen proteksi tanaman IPB.

Diantaranya pertama, jenis penyakit pada tanaman kentang, yakni Golden Sisnematod (nematoda), ditemukan merebak pada tahun 2000 dan berasal dari bibit kentang yang berasal dari Australia. Kedua, White tipe nematoda (nematoda), penyakit pada tanaman padi, ditemukan merebak tahun 2010, dan berasal dari bibit padi asal China. Ketiga, lalat pengorok daun tanaman kentang, timun dan tomat, ditemukan merebak tahun 1994, dan berasal dari Eropa.

Keempat, Tomato TLCP, yakni virus pada tanaman tomat, merebak pada tahun 2010 dan belum diketahui dari mana asalnya. Namun kemungkinan masuk lewat bibit tomat secara illegal. Kelima, PRSV, yakni virus pada tanaman pepaya, ditemukan pada tahun 2013 di Aceh dan kemungkinan masuk lewat bibit illegal karena tak diketahui negara asalnya.

Keenam, Tungau panonychus citri, yakni hama pada tanaman jeruk, ditemukan pada tahun 1980-an, dan berasal dari Amerika. Ketujuh, bakteri busuk batang pada tanaman tomat, merebak pada tahun 2007, asalnya dari bibit tanaman tomat China. Dan terakhir, Nematoda pada padi yang merebak pada tahun 2013, ditemukan di Karawang, Banjar Negara dan beberapa daerah lainnya, berasal dari benih padi asal China.

"Penyakit-penyakit ini menyebabkan kegagalan panen yang masif. Padahal ada proses inspeksi karantina," kata Said.

AKIBAT KEPENTINGAN BISNIS - Said menuturkan tren mengimpor benih yang dilakukan Indonesia amat luar biasa. Komoditas bahan baku industri misalnya pemakaian kentang pada perusahaan tertentu akan dikembangkan sendiri oleh perusahaan tersebut. Jika ada yang tak beres maka ledakan hamalah dampaknya.

"Bisa saja bibit masuk tahun ini tapi berkembang tahun depan, dan jika teknologi tak kuat maka tak akan terdeteksi," katanya.

Sejauh ini, ia menilai pengetahuan dan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi di pengkarantinaan sudah baik. Hanya saja terdapat persoalan  proses integritasnya yang perlu dipertanyakan. Sebab, sudah lumrah, impor benih dari luar untuk pengembangan melalui proses amplop -mengamplop.

"Itu saja persoalannya, pastikan itu ada dan tak ada kepentingan politik," katanya.

Sebab diketahui, pada pemerintahan lalu, ada kegiatan impor benih dari China, sayangnya pada kasus ini petugas pengkarantina langsung dibawa ke China untuk melakukan inspeksi. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat waktu penyeleksian. Otomatis, jika inspeksi dilakukan di negara asal maka ada suasana psikologis yang berbeda dari petugas karantina.

"Pemerintahan lalu juga pernah meloloskan benih cacat. Benih itu bisnis yang besar, pemainnya juga besar sehingga intervensi politiknya pun besar," ujarnya.

PEMERINTAH HARUS TEGAS - Ditambahkan anggota Komisi IV Firman Soebagyo, dalam UU Pangan No. 18 Tahun 2012 dinyatakan, sanitasi pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia maupun benda lain. Untuk itu komoditi yang dikonsumsi masyarakat haruslah higienis.

Namun, berdasarkan temuan Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan pada Maret 2015, terdapat sepuluh perusahaan yang berlokasi di Sumatera Utara, Lampung, Banten, dan Jawa Barat memakai zat  Agonis Beta 2. Perusahaan itu yakni PT GPDM, PT ISM, PT LAL, PT TUM, PT EI, PT NTF, PT GGLC, PT CMT, PT WMP, dan PT RAI.

Padahal, pada tahun 2011 lalu. Bahkan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 30059/HK.340/F/11/2011 tentang Pelarangan Peredaran dan Penggunaan Obat-obat Kelompok Agonis Beta-2 dan Turunannya di Indonesia. Dalam surat edaran itu disebutkan, obat-obat yang termasuk kelompok agonis beta-2 antara lain adalah Clenbuterol, Salbutamol, Salmoterol, Farmoterol, Cimaterol, dan Zilpaterol.

Pelarangan itu didasarkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 50 Ayat (1) dan Pasal 51 Ayat (3). Pasal 50 Ayat (1) yang berbunyi, "Obat hewan yang dibuat dan disediakan dengan maksud untuk diedarkan harus memiliki nomor pendaftaran". Pasal 51 Ayat (3) berbunyi, "Setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia".

"Untuk itu, pemerintah harus ambil tindakan tegas atas pelaku penggunaan agonis beta-2," katanya kepada gresnews.com, Kamis (9/7).

Ia juga mempertanyakan asal penggunaan daging yang tercemar. Jika perusahaan tersebut menggunakan daging impor, maka selain terdapat zat berbahaya, maka daging juga tak segar lantaran telah mengalami proses pembekuan yang lama sehingga tingkat gizi jelas berbeda," katanya.

"Tapi jika ini daging lokal, maka ada unsur pelemahan karena importir takut berkompetisi dengan pengusaha lokal yang dagingnya lebih segar," katanya. Hal ini serupa dengan isu pelemahan beras beberapa waktu lalu melalui beras plastik. Dimana tak terdapat ujung dan pangkalnya.

Salbutamol dan Clenbuterol ini telah lama digunakan sejak tahun 1960 sebagai suplemen untuk menggemukkan sapi potong, babi, dan ayam broiler. Kedua obat itu meningkatkan massa otot dan membuat pemberian pakan lebih efisien.

Namun, pada manusia, Agonis beta-2 adalah kelompok obat-obatan bronchodilator atau pelebar saluran napas bagian dalam. Dipakai guna melemaskan otot di sekitar saluran napas yang menyempit pada serangan asma atau penyakit paru-paru tersumbat kronis.

EFEK TERHADAP MANUSIA - Efek samping pada manusia tercatat ada 73 macam, antara lain percepatan detak jantung serta bergetarnya lengan dan tungkai. Efek samping lainnya adalah rasa sakit di perut dan kantung kemih, kencing berdarah, halusinasi, dan kelemahan tubuh.

"Ini juga termasuk contoh kelemahan karantina, seharusnya badan karantina dijadikan satu. Jangan dipisah-pisah antara kehutanan, perikanan, perkebunan dll," katanya.

Langkah ini, menurutnya akan memudahkan pengawasan seluruh produk berbahaya. Sebab kemungkinan lolosnya produk berbahaya baik yang sudah maupun belum dikarantina dikhawatirkan lantaran tak satunya koordinasi. Pada negara lain seperti Amerika dan Inggris, sistem karantina, pengawasan satu atap ini sudah lama diterapkan.

"Ini juga meminimalisir kemungkinan ada main di bawah tangan untuk meloloskan barang berbahaya," katanya.

Ia menyatakan, barang yang sudah dikarantina memang banyak yang lolos lantaran ketidaksinergian penegakan hukum. "Ini tindak pidana ekonomi tapi polisi tak bisa masuk karena  pabean. Saya juga usulkan UU Pabean direvisi," tutupnya.

BACA JUGA: