JAKARTA, GRESNEWS.COM - Konflik agraria di Indonesia menjadi persoalan yang terus terjadi dan tak kunjung memperoleh penyelesaian. Bahkan terjadi eskalasi konflik  terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan itu salah satunya dipicu oleh gencarnya upaya pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur. Dimana program tersebut membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Program ini kerap berdampak terjadinya gesekan antara kepentingan proyek infrastruktur dengan kepemilikan lahan.    

Berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) konflik agraria di Indonesia tercatat tahun 2014 saja ada 472 kasus, tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Di mana pada tahun 2013 ada 369 kasus, tahun 2012 ada 198 kasus, tahun 2011 ada  163 kasus, tahun 2010 ada 106 kasus dan 89 kasus pada 2009.

Dari informasi direktori putusan Mahkamah Agung bahwa kasus sengketa tanah yang telah diputus kasasi dan peninjauan kembali (PK) termasuk sengketa yang persentasenya besar. Dari sekitar 12.847 putusan perdata umum yang diunggah oleh Mahkamah Agung, tercatat 44 persen perkaranya adalah jenis sengketa pertanahan. Sementara itu prosentase sengketa pertanahan dalam lingkup sengketa tata usaha negara yang ditangani oleh Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung ada 1.126 putusan atau  59,8 persen.

Oleh karena itu RUU Pertanahan yang sedang dibahas di DPR saat ini, dalam pasal 61 muncul ide tentang pembentukan pengadilan pertanahan. Tujuannya menyediakan sebuah badan peradilan yang memfasilitasi pencari keadilan dalam konteks agraria (pertanahan). Ini untuk menyelesaikan perkara agraria termasuk konflik/sengketa pertanahan yang masif, berskala luas dan multi dimensi.

Namun meskipun dirasakan penting kehadirannya, persoalan membentuk badan pengadilan baru ini tidak semudah membalikan telapak tangan. Anggota komisi II Ammy Amalia Fatma Surya mengakui saat ini banyak sengketa pertanahan yang tidak bisa diselesaikan secara cepat dan baik  oleh lembaga mediasi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau lewat badan peradilan umum.  

Namun pembentukan peradilan khusus itu menurutnya akan menghadapi sejumlah kendala. Diantaranya terkait kompleksitas masalah tanah, sehingga harus ditentukan hakim yang benar-benar paham masalah pertanahan.

"Apakah kita menginginkan hakim-hakim yang paham betul mengenai pengetahuan tentang pertanahan sehingga dia bisa memberikan putusan dan ketetapan yang seadil-adilnya terkait permasalahan pertanahan atau di luar itu," tanya politisi Partai Amanat Nasional, di depan Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Selasa (22/9).

PERLU HAKIM KHUSUS - Menurut Ammy, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sendiri sudah mengakui bila hakim-hakim yang ada sekarang tidak paham betul tentang persoalan pertanahan di Indonesia. "Kompetensi masalah pertanahan ini tidak hanya soal permasalahan perdata dan pidana saja, tetapi juga soal hukum agama," ujar anggota Badan Legislasi ini.

Ammy mencontohkan bila ada sengketa waris tentang tanah, saya beragama Islam. Kemana harus pergi menyelesaikannya? Bila melihat permasalahan ini berarti kompetensinya pengadilan agama.  

Kalau itu yang jadi esensi, Ammy mengatakan, hakim pengadilan agama yang memutus perkara itu harus tahu masalah pertanahan juga. Begitu pula dengan kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dalam membatalkan sertifikat tanah, apakah hakimnya harus belajar juga masalah pertanahan.

Apabila pengadilan khusus pertanahan ini didirikan apakah semua kompetensi itu akan dijadikan satu. Ammy membayangkan betapa power fullnya pengadilan pertanahan ini nantinya. Sang hakim harus mengerti hukum acara di TUN sekaligus soal hukum waris Islam. "Ini harus dipertimbangkan secara matang. Mendirikan pengadilan pertanahan Tidak sesederhana hanya dibicarakan oleh Komisi II dan Komisi III,” tandasnya.

Sebelumnya dalam rapat dengar pendapat umum bersama Badan Legislasi DPR, IKAHI memang telah menolak pembentukan badan pengadilan khusus pertanahan ini. Alasannya sulit mencari hakim ad-hoc yang mengerti permasalahan pertanahan. Selain itu akan ada pemborosan uang negara membiayai hakim-hakim ad-hoc tersebut.

Sementara itu Ketua Panita Kerja RUU Pertanahan A Riza Patria mengakui ada dua kubu terkait usulan pembentukan pengadilan khusus pertanahan dalam pembahasan RUU ini. Satu kubu meyakini tentang pentingnya pengadilan khusus pertanahan, dan kubu lain berpendapat belum perlu pembentukan pengadilan khusus ini.

"Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan DPR memang perlu segera dicari titik temu tentang perlu tidaknya peradilan khusus pertanahan ini," ujar Wakil Ketua Komisi II ini.

KONSEP BELUM JELAS - Sedang Menteri Agraria Ferry Mursyidan Baldan mengatakan kementeriannya telah mengambil langkah-langkah proaktif untuk menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan ini.

Soal kepemilikan lahan misalnya, ia mengaku sudah melakukan mediasi. "Kalau sudah mediasi kita jadi tahu Untuk mengetahui riwayat ikatan  tanahnya sejak kapan. Kita tidak pernah berhenti apa yang diinginkan pihak-pihak dalam mediasi," ujar Politisi dari Partai Nasdem ini.

Terkait dengan perkebunan, Ferry menegaskan kementerianya sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) yang mengakui bila masyarakat yang sudah hidup dan tinggal di  kawasan tersebut lebih dari sepuluh tahun, maka tanah itu diberikan haknya kepada mereka.

"Tetapi tidak individual, misal ada sekelompok orang 15 kepala keluarga, itu yang kita kasih. Kita tidak mengatur masing-masing dapat berapa," katanya ujarnya di Gedung KK Kompleks DPR RI (22/9). Selain itu peraturan tersebut juga membolehkan lahan perkebunan yang tidak terpakai bisa digunakan untuk padang penggembalaan bagi masyarakat di sekitar kawasan.

Menanggapi usulan pembentukan pengadilan pertanahan untuk menyelesaikan konflik dan sengketa pertanahan.  Ferry masih menunggu konsep yang sedang dibuat oleh Komisi II terkait badan tersebut. Mengingat RUU ini merupakan usul inisiatif dari DPR.

Namun Ferry berharap, pengadilan pertanahan tersebut nantinya bisa menjadi jalan memperoleh keadilan. Selain itu Ferry juga menginginkan proses pengadilan yang cepat dan tidak panjang seperti pada peradilan umum.

"Jangan terlalu panjang, selama ini kan ada tingkat pertama, banding, kasasi, ada Peninjauan kembali. Itu saja bisa makan waktu enam sampai tujuh tahun. Tanah itu kan jadi ngganggu selama itu," ujarnya kepada gresnews.com

LEBIH BAIK AD-HOC - Sementara itu pengamat peradilan di Indonesia Erwin Natosmal Oemar melihat pendirian pengadilan pertanahan ini penting. Karena isu di peradilan umum sendiri sangat luas, sehingga diperlukan orang-orang yang memahami isu tanah secara lebih rinci.

Namun Erwin menyebut isu pembentukan pengadilan pertanahan ini bukan hal baru, hal itu sudah pernah ada di peradilan adat. Tapi kemudian konsolidasi peradilan di satu atap, hal itu dilepaskan dan diasumsikan masuk ke dalam pengadilan umum.

"Bahkan di Undang-undang Pokok Agraria pengadilan pertanahan ini sudah diamanatkan tapi tidak pernah terlaksana," ujarnya kepada gresnews.com

Pengadilan pertanahan ini memang akan erat kaitannya dengan ikatan sosiologis dan adat di masing-masing daerah. Misalnya hak ulayat di Minangkabau yang tidak bisa disamakan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu penting melihat responsif negara terhadap pluralisme hukum di Indonesia.

Peneliti di Indonesia Legal Roundtable ini juga menegaskan karena tidak bisa dicampurkan dengan peradilan umum yang banyak isu. Maka diperlukan orang-orang yang lebih dalam memahami isu pertanahan ini sebagai hakim-hakimnya.

Menurut Erwin, tantangan yang akan dihadapi dalam mendirikan pengadilan khusus ini  ialah, apakah pengadilan ini akan berbentuk ad-hoc atau menjadi kamar khusus dalam peradilan. Penting juga persoalan pengelolaan sumber daya manusianya. Apakah itu di  bawah Mahkamah Agung atau Kementerian Agraria. "Dalam RUU belum jelas logika penyelenggaraan yang akan dibangun di sana," katanya.

Namun Erwin cenderung setuju dengan bentuk pengadilan ad-hoc untuk mencegah adanya gap antara satu putusan dengan putusan lainnya. Karena selama ini tidak ada kesinambungan antara satu putusan dengan putusan lainnya. "Bahkan dalam kasus-kasus yang mirip itu bisa menghasilkan putusan yang berbeda,” pungkasnya. (Lukman Al Haries)

BACA JUGA: