JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mengatasi terhambatnya penyaluran dana desa, tiga lembaga kementerian yakni Kementerian Desa, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan akhirnya menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB). SKB ini diharapkan akan mempermudah pencairan dana desa yang sebelumnya terkendala karena dinilai rumit. Namun SKB ini dinilai belum menjamin penyelenggaraan pembangunan desa akan lebih baik,  karena sulitnya koordinasi di antara tiga kementerian terkait.

SKB ini sendiri akan menyederhanakan semua prosedur pencairan dana desa agar desa-desa dapat segera menggunakan dana desa itu untuk program desa. Sehingga kegiatan perekonomian di pedesaan bisa tumbuh. "Tidak ada alasan bagi desa-desa untuk tidak segera membelanjakan dana itu. Segera belanjakan dana desa dan jangan ragu-ragu karena justru kalau tidak dibelanjakan itu yang masalah," tegas Menteri Desa Marwan Jafar seperti dilansir kemendesa.go.id.

Melalui SKB ini syarat-syarat pencairan yang sebelumnya sangat birokratis seperti harus ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) bisa ditiadakan. Begitu juga dengan ketentuan Peraturan Bupati yang bisa digantikan dengan instruksi dari pusat maupun provinsi.

Tahun ini pemerintah rencananya akan mencarikan dana desa sebesar 20,7 triliun rupiah yang akan dibagikan kepada 74.093 desa yang ada di seluruh Indonesia.  Setiap desa akan mendapatkan dana yang berbeda-beda sesuai dengan klasifikasi yang sudah ditetapkan pemerintah.

Menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,  jumlah dana desa diperoleh dari 10 persen Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil.

Merujuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2015, Desa A yang memiliki 21 dusun dengan luas 7,5 km persegi ini akan mendapatkan dana desa sebesar Rp 312 juta, sedangkan Desa B yang memiliki tiga dusun dan luas 1,5 km persegi mendapatkan sebesar 263 juta.

Sehingga rata-rata tiap desa akan menerima jatah dana desa dari APBN sebesar Rp 280,51 juta. Mekanisme pencairan dana itu sendiri langsung dari Kementerian Keuangan kepada bupati atau walikota. Setelah itu baru dana tersebut ditransfer kepada rekening milik desa. Namun penyaluran dana itu tidak semudah yang dibayangkan. Sampai saat ini dari 434 kabupaten/kota penerima dana desa, baru 174 daerah yang melaporkan telah menyalurkan dana desa.

SYARAT PENCAIRAN RUMIT - Rumitnya proses pencairan dana desa ini sempat diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy. Rumitnya syarat pencairan tersebut mengakibatkan  penyerapan angggaran menjadi lambat. "Transfer dana dari pemerintah pusat ke Bupati dan Walikota sudah 80 persen. Dari angka itu baru 20 persen yang ditransfer ke rekening pemerintah desa. Dan baru 5 persen yang benar-benar sudah dicairkan untuk pembangunan di masyarakat," ujar Edy

Mantan Menteri Pembangunan Desa Tertinggal era pemerintahan SBY ini mengungkapkan Komisinya memperoleh laporan dari kepala desa-kepala desa yang merasa keberatan dengan ribetnya peraturan untuk mencairkan dana tersebut.

Menurut Edy, Kepala desa ketakutan untuk mencairkan dana tersebut, karena aturan yang ada tumpang tindih satu sama lain. Sebab, masalah dana desa ini diatur oleh tiga kementerian yang masing-masing menerbitkan peraturan menterinya sendiri-sendiri. "Ini menimbulkan kebingungan bagi kepala desa. Aturan mana yang harus diikuti oleh mereka," ujar Edy di kompleks Gedung DPR RI, (9/9).

Para kepala desa tersebut takut bila mereka dipidanakan karena tidak mengikuti aturan yang ada. ini disebabkan adanya perbedaan prioritas penggunaan anggaran antara Peraturan Menteri Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Akibatnya meskipun ada yang sudah ditransfer dana tersebut tetap ngendon di rekening desa, dan tidak bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan.

"SKB itu harus mampu mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada dalam peraturan menteri tersebut.  SKB harus merinci cara pencairan dana yang ada di kas desa oleh masyarakat," ujar Politisi PKB ini.

Untuk itu Edy meminta kepada pemerintah agar tahun ini sebagai tahun transisi. Bila ada kepala daerah yang salah prosedur dalam pencairan dana tersebut bisa dimaklumi karena masih dalam proses pembelajaran. "Beri dispensasi kepada desa mencairkan secara praktis. Kepala desa ini masih sporadis pelatihannya. Jadi wajar kalau salah masih belajar. Apalagi masalah-masalah pencairan di lapangan belum ditemukan seluruhnya" ujar Edy

Edy mengingatkan kepada masyarakat bahwa dana desa ini tiap tahun akan semakin besar jumlahnya sehingga benar-benar bisa dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. "Tahun ini 20 triliun, komitmen Banggar dan pemerintah tahun depan 70 triliun. Tahun 2017 nanti menjelang tahun politik, tahun menjelang pemilihan legislatif. Jumlahnya itu hingga 100 triliun dari APBN," paparnya.

Namun Edy menegaskan bila dana desa tidak boleh diperuntukan bagi kepentingan politik di desa. Sebab prioritas peruntukannya sudah ditentukan oleh peraturan. Tetapi Edy tidak menolak jika dana desa ini akan memuat dana politik di desa untuk menjadi kepala daerah semakin mahal karena adanya dana desa ini. "Sekarang di Jawa Timur itu  biaya untuk menjadi kepala desa mencapai Rp1,2 miliar. Itu hampir sama dengan biaya jadi anggota dewan," tandas Edy.

PESIMISTIS BERJALAN BAGUS - Namun mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermasyah Djohan mengaku pesimistis. Sebab hingga saat ini masih sulit mengurai kerumitan pembangunan desa.  "Ruang persinggungan antar kementerian sangat luas dan sangat banyak dalam praktek dana desa ini," ujar mantan birokrat yang juga guru besar ini.

Djoher menerangkan Kementerian Desa bertanggung jawab dalam melakukan pemberdayaan kepada masyarakat penerima dana desa. Untuk itu Kemendes harus menyediakan fasilitator sejumlah  32.142 pendamping lokal. Sedangkan Kemendagri bertanggung jawab atas pembangunan kapasitas aparatur desa itu 222.279 perangkat desa. Sementara itu pertanggungjawaban keuangan berurusan dengan Kementerian Keuangan.

"Tidak mungkin dengan lembaga dan kewenangan yang baru ini akan langsung berjalan bagus dan beres, karena ada berbagai macam regulasi yang ada. Ini masih masa transisi. Sinergitas di antara tiga komponen harus lebih diperkuat," ujarnya.

Djoher menilai lambatnya perjalanan program dana desa ini karena kesalahan pemerintah sendiri. Hal itu diakibatkan lambanya pemerintah dalam mengeluarkan revisi Perpres  60 tahun 2014 menjadi Perpres Tahun 12 tahun 2015.  

Perubahan Perpres tentang dana desa itu baru diselesaikan 29 april 2014. Sedangkan daerah baru action bulan Mei dan Juni baru bikin peraturan bupatinya sebagai syarat transfer dana dari Kemenkeu. Kemudian setelah itu desa baru bisa bikin peraturan Kepala Desa, APBD Desa agar bisa mencairkan. "Itu sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan," ujar Djoher

Namun Djoher mendukung langkah penyederhanaan mekanisme birokrasi pencairan dana desa ini. Menurutnya satu lembar saja itu cukup, jangan ada dokumen-dokumen yang tidak bisa kepala desa kerjakan. Atau persyaratan yang berlebihan. "Untuk administrasi desa minimal ada perencanaan  dan pertanggungjawabannya yang memadai,"  tandasnya. (Lukman Al Haries)

BACA JUGA: