JAKARTA, GRESNEWS.COM - Guliran dana desa dari pemerintah setiap tahun semakin besar. Jika sebelumnya pemerintah mengucurkan Rp46,89 triliun, maka di tahun 2017 pemerintah menggulirkan dana desa sebesar Rp60 triliun.

Peneliti Merapi Cultural Instutute (MCI) Fins Purnama mengatakan, peningkatan anggaran dana desa ini tentunya menggembirakan. "Akan tetapi, apakah hal itu dibarengi dengan mekanisme pengawasan yang lebih baik? Kata korupsi dan penyelewengan menunjukkan nuasa kecemasan yang tinggi pada program yang satu ini," papar Fins, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (14/8).

Melihat data di lapangan, Fins yang merupakan dosen tetap Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya mengatakan, hingga Juli 2017 saja sudah ada 300 laporan ke KPK dan 600 laporan dugaan penyelewengan dana desa yang masuk di Kemendesa PDTT. Peneliti asal lereng Gunung Merapi ini menegaskan secara legal-formal, pengawasan oleh KPK diperbolehkan karena dana yang mengalir ke tiap desa yang mencapai Rp1 miliar.

Akan tetapi persoalannya, apakah itu sudah cukup? Ia pun mendesak perlunya pendekatan yang lebih bersifat positif. "Meminjam ide Foucault, wacana adalah energi dari disiplin, maka wacana apa yang ada pada para perangkat desa akan sangat menentukan perilaku mereka. Maka tidak ada jalan lain, sosialisasi kepada perangkat desa tidak bisa ditawar," tegasnya.

Ia menambahkan, disiplin tidak selalu dalam arti yang negatif, bahkan bisa jadi sangat produktif. Disiplin menjadi sesuatu yang produktif, ketika dilakukan dengan sukarela, dengan nuansa merdeka.

"Wacana KPK untuk mengganti ancaman pidana bagi pelaku korupsi dana desa dengan sanksi administratif dan kewajiban mengembalikan dana korupsi cukup efisien dalam arti penghematan dana yang harus dikeluarkan untuk penyelidikan kasus. Akan tetapi, hal itu tidak relevan dalam upaya pengurangan potensi penyalahgunaan dana desa," ujarnya.

Peningkatan pengawasan secara formal maupun dalam bentuk informal dari masyarakat sendiri dirasa belum cukup. Mencermati beberapa kasus korupsi, persoalan dana desa ini bermuara pada persoalan penggunaan dan pertanggungjawaban oleh aparat desa.

"Ada 3 langkah strategis yaitu kampanye penggunaan dana desa untuk publik, sanksi sosial bagi pelaku korupsi dan membangun kisah prestasi desa dan penyelewengan dana desa," ujarnya.

Ia mengakui, selama ini sudah ada sosialiasi bagi camat dan kepala desa, akan pentingnya transparansi dan publikasi secara lebih intens bagi publik terkait alokasi penggunaan dana yang masih minim.

"Pertanyaannya tentu saja bagaimana cara masyarakat mengawasi penggunaan dana desa, jika mereka lack of information tentang penggunaan dana tersebut? Saat ini kan sudah ada SISKEUDES, aplikasi itu bisa lebih dipopulerkan. Selain itu, perlu dikedepankan: Pertama, kampanye terus-menerus terkait penggunaan Dana Desa secara benar karena ini uang negara sekaligus uang rakyat," imbuh Fins.

Kedua, sanksi sosial dalam bentuk kerja sosial yang harus dilakukan oleh koruptor juga merupakan cara yang efektif. "Melihat kultur kita, menyapu balai desa atau membersihkan toilet di tempat umum dapat menjadi alternatif sanksi sosial yang efektif," paparnya.

Ketiga, Fins menunjuk peran wacana yang penting dalam membangun karakter. "Sejak bangku Sekolah Dasar, kita diajak mengenali kisah-kisah kepahlawanan dalam rangka menanamkan rasa nasionalisme. Hal yang sama diperlukan untuk membentuk perilaku penguna Dana Desa. Bentuknya bisa dalam bentuk ILM atau juga disisipkan dalam film," ujarnta.

Ia berpendapat, kisah keberhasilan akan menginspirasi, sedangkan pelanggaran akan memberikan efek jera bagi desa lain. "Apa lagi sebentar lagi kita akan merayakan HUT RI yang ke-72, saya rasa inilah saatnya kita bersama-sama mendukung sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban dana desa yang transaparan dan bebas korupsi menuju kemerdekaan dana desa," pungkasnya. (mag)

 

BACA JUGA: