JAKARTA, GRESNEWS.COM - Wacana pengucuran dana kepada partai politik (parpol) senilai Rp 1 triliun perpartai menuai perdebatan. Sejumlah anggota DPR  menilai pengucuran dana itu hanya bisa dilakukan ketika ada pengaturan transparansi penggunaan yang ketat. Sebab jika tidak diatur ketat, pengucuran itu hanya akan menjadi ladang korupsi partai.

Anggota Komisi II Fraksi PPP Arwani Thomafi mengatakan dukungan dana APBN untuk parpol ini sudah berjalan melalui perhitungan jumlah perolehan suara. Meskipun demikian, ia mengakui besaran dana tersebut sangat jauh dari kebutuhan misalnya untuk pengkaderan dan persiapan pemilu.

"Masing-masing parpol peruntukan dananya digunakan untuk membiayai pendidikan politik atau pengkaderan. Tapi karena Indonesia sangat luas, tentu membutuhkan dana yang besar yang diorientasikan untuk penyadaran tanggungjawab negara. Sehingga memang dibutuhkan. Tapi berapa idealnya harus dihitung lagi," ujar Arwani pada Gresnews.com, kemarin.

Ia mengaku pada prinsipnya menyetujui usulan yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri sepanjang ada transparansi pengelolaan keuangannya. Penerapan transparansi bisa diatur dengan mewajibkan parpol menyerahkan laporan keuangannya. Lalu bisa juga dilakukan dengan menempatkan kuasa pengguna anggaran di setiap parpol dengan perangkat pengawasan yang lengkap. Tujuannya agar terhindar dari mismanajemen dalam pengelolaan keuangan. Selanjutnya, untuk kegiatan yang akan didanai anggaran dari APBN tersebut bisa ditentukan dari Undang-Undang partai politik.

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran Idil Akbar mengatakan bisa saja parpol dibiayai oleh negara. Misalnya seperti di Perancis dan Jerman, negara membiayai hampir semua anggaran parpol. Dalam UU parpol sendiri sebetulnya negara sudah mengalokasikan anggaran untuk membiayai parpol yang besarannya dihitung proporsional berdasarkan jumlah suara yang diperoleh parpol tersebut secara nasional.

"Tapi wacana ini tetap perlu dipertanyakan terutama dalam kerangka mekanisme dan sistem bagaimana parpol bisa memperoleh dana di APBN sebesar Rp 1 triliun per tahun ini," ujar Idil saat dihubungi Gresnews.com, kemarin.

Menurut Idil, untuk saat ini pembiayaan negara sebesar Rp 1 triliun belum bisa diterapkan karena dua hal. Pertama, parpol belum sepenuhnya transparan dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan dan anggaran di parpol. Anggaran negara yang diberikan kepada parpol dari APBN selama ini juga masih dipertanyakan pengelolaannya dan pertanggungjawabannya.

Ia berpendapat parpol tidak mampu menjamin bagaimana anggaran keuangannya terkelola dengan benar dan dipergunakan dalam kerangka menjalankan fungsi parpol. Misalnya melakukan pendidikan politik, rekrutmen, sosialisasi dan komunikasi politik.

Kedua, akibat dari persoalan tidak transparannya parpol dalam pengelolaan keuangan, maka pesimisme akan terjadi korupsi juga tak terelakkan. Parpol dengan demikian tidak mampu menjamin bisa melaksanakan usaha pemberantasan korupsi yang terjadi di internalnya sendiri.

Idil menyarankan agar Kemendagri mempersiapkan infrastruktur dan perangkat politik yang lebih komprehensif dan ketat lebih dahulu sebelum mampu melaksanakan wacana ini. Selain merevisi UU parpol, juga perlu disiapkan kerangka operasional lain seperti sanksi yang lebih berat, model pertanggungjawaban keuangan, sistem dan mekanisme dalam pemberian anggaran, dan variabel lainnya.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan perlunya pembiayaan parpol sebanyak Rp 1 triliun yang didanai APBN. Wacana ini diharapkan mendapatkan dukungan dari DPR dan masyarakat pro demokrasi untuk bisa meningkatkan transparansi dan demokrasi. Namun ia mensyaratkan adanya kontrol yang ketat dan transparan ketika wacana ini bisa diterapkan.

"Parpol merupakan rekrutmen kepemimpinan nasional dalam negara yang demokratis. Parpol membutuhkan dana untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu dan pendidikan kaderisasi," ujar Tjahjo.

BACA JUGA: