JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang saat ini bergulir di DPR memunculkan gagasan pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, juga walikota dan wakil walikota) kembali dilakukan oleh DPRD. Model ini menggantikan mekanisme sebelumnya dipilih melalui mekanisme secara langsung lewat pemilihan umum atau pemilukada.

Pada awalnya, wacana tersebut muncul sebagai gagasan yang diusulkan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan latarbelakang dua hal besar. Pertama, mahalnya biaya pemilukada, baik ongkos untuk petugas penyelenggara maupun penyelenggaraannya. Kemudian, maraknya konflik horizontal maupun tindak kekerasan dalam pemilukada.

Menurut Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dari telaah pendekatan konsolidasi demokrasi, gagasan pilkada oleh DPRD merupakan wacana yang mengingkari semangat dan tujuan demokratisasi di Indonesia.

Demokrasi mensyaratkan peningkatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat sebesar-besarnya. Menguatkan transparansi proses politik dan ketatanegaraan.  Serta menjamin akuntabilitas proses peralihan kekuasaan dan kepemimpinan baik dalam skala nasional maupun lokal sehingga lahir pemimpin yang betul-betul bertanggung jawab terhadap rakyatnya.

"Alasan mahalnya ongkos politik penyelenggaraan pemilukada adalah alasan yang tidak bisa menjustifikasi pilkada oleh DPRD," kata Direktur Perludem Titi Anggraeni kepada Gresnews.com, Minggu (6/9).

Pasalnya, belum ada penelitian ilmiah yang bisa memastikan bahwa biaya pilkada oleh DPRD jauh lebih efisien daripada pemilukada langsung. "Tidak ada yang bisa menjamin bahwa ongkos politik "tidak resmi" untuk "membeli perahu" partai di DPRD jauh lebih sedikit ketimbang penyelenggaraan pemilihan langsung oleh rakyat," tegasnya.

Menurut Titi, untuk mengatasi mahalnya ongkos penyelenggaraan pemilukada adalah dengan secepatnya memperbaiki kualitas aturan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilukada itu sendiri. Sebab, dalam konteks substansi, harus diakui bahwa pengaturan yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada memang isinya jauh lebih mundur daripada pengaturan pileg dan pilpres 2014.

Bahkan UU 32/2004 jo UU 12/2008 yang saat ini berlaku, ketentuannya sudah terlalu banyak dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena itu, kata dia, pemerintah sebaiknya fokus saja pada pembuatan aturan yang bisa menekan maraknya politik uang, jual beli ‘perahu politik” dan suara pemilih, serta penegakan hukum dan sanksi yang tegas atas pelanggaran yang terjadi. Aturan dana kampanye pilkada yang saat ini ada juga sangat tidak bergigi dalam menjerat penyalahgunaan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.

"Aturan yang adalah yang telah memfasilitasi terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang berujung pada politik biaya tinggi penyelenggaraan pemilukada," tuturnya.

Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pelanggaran yang bersifat sistematis, massif, dan terstruktur yang diputus MK, yang harusnya jadi domain penyelenggara pemilu untuk menyelesaikannya. Namun, tidak bisa terwujud karena aturan yang ada tidak bisa membuat itu dilakukan, sehingga diambilalih oleh MK.

Sedangkan argumentasi konflik horizontal atau kekerasan dalam pemilukada juga tidak disertai dengan data yang kuat tentang tindak masifnya kekerasan terjadi. Misalnya,  terdapat 10 sampai 20 dari sekitar 244 daerah yang melaksanakan pemilukada pada tahun 2010. Antara lain Mojokerto, Toraja, Humbang Hasundutan, Sumbawa, dan lainnya.
Contoh ini, kata dia, tidak lantas melegitimasi bahwa pemilukada identik dengan kekerasan. "Justeru pembinaan politik yang jadi tanggung jawab pemerintah daerah dan partai politiklah yang harus ditata dengan lebih baik lagi," ujarnya.

Menyikapi hal itu, Perludem mendorong agar DPR lebih berkonsentrasi pada perbaikan substansi aturan yang bisa menjamin kualitas pemilukada. Memilih sistem pemilu yang efisien (misalnya usulan pemilu serentak dan pemilukada satu putaran saja), menekan maraknya politik uang dengan membuat aturan penegakan hukum yang jelas atau tidak multitafsir disertai sanksi yang tegas. Termasuk pengaturan dana kampanye yang tidak hanya formalitas, ketimbang menganbil langkah mundur untuk menyelenggarakan pilkada oleh DPRD.

"DPR berpihaklah kepada suara rakyat. Mari perkuat perjalanan demokratisasi Indonesia dan tinggalkan semangat tambal sulam berwajah kepentingan sementara," jelas Titi.

Terkait mahalnya biaya, maraknya konflik dan petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye pribadi dalam pemilukada, Pakar Pemilu Ramlan Surbakti, memberikan jawaban.

Pertama, berkaitan dengan pemilukada mahal. Efisiensi dalam pembiayaan penyelenggaraan pemilukada dapat diwujudkan melalui pemilu lokal serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.

Penghematan ini tidak saja terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal.

Menurut Ramlan, pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

"Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk "sewa perahu" agar dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih secara langsung ataupun melalui perantara," tuturnya kepada Gresnews.com. Minggu (6/9).

Kedua, kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan pemilukada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena kekerasan di beberapa daerah. 1). Berbagai ketegangan akibat adanya kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan.

Partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di daerah.

2. Pemilu merupakan konflik yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan kursi atau jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.

"Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik," jelas Ramlan.

Pelembagaan konflik seperti itu dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah kekerasan.

Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi hendaklah dilihat sebagai kesediaan masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu fenomena positif.

Ketiga, berkaitan dengan petahana yang cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye pribadi. Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa.

Pengaturan mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya. Asumsi yang hendaknya dipegang, lanjut Ramlan, bukan "manusia pada dasarnya baik" sehingga tidak perlu diatur, melainkan "apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk".

"Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk. Pelaksanaan demokrasi harus berpedoman pada hukum," tuturnya.

Kata Ramlan, pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.

BACA JUGA: