JAKARTA, GRESNEWS.COM - Aparat penegak hukum, kepolisian maupun kejaksaan diragukan memiliki sikap netral dalam mengamankan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Karena itu kalangan akademisi dan lembaga swadaya masyarakat aktif mengajak masyarakat untuk ikut mengawasi jalannya pemilu yang adil.

Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti mengatakan kecurigaan mereka bukan tanpa sebab. Pada pemilu lalu setidaknya sejak 2004 banyak bukti yang menunjukkan keberpihakan aparat penegak hukum.

"Tahun 2004 ada kasus video Banjarnegara yang melibatkan Kapolres Banjarnegara yang mendukung pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi pada 2004. Lalu ada kasus Ponpes Zaitun yang melibatkan Wiranto dan TNI," kata Poengky kepada Gresnews.com, Kamis (13/2).

Pada 29 Mei 2004, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) menyimpulkan dari bukti video yang ditemukan terkait pertemuan Kapolres Banjarnegara saat memberikan pengarahan kepada satuannya agar mendukung pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi. Kepala Polwil Banyumas Komisaris Besar Ahmad Aflus Mapparessa dalam video itu memberi pengarahan yang berisi program pemerintahan Megawati bagi kepolisian.

Hal-hal seperti itulah, menurut Poengky, menjadi kerawanan terhadap penyelenggaran pemiku yang dilakukan oleh aparat keamanan. Selain itu potensi lain yang mungkin terjadi dari Partai Demokrat pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini pun masih bisa terjadi. Beberapa petinggi Partai Demokrat adalah purnawirawan militer, dan presiden sendiri adalah mantan anggota TNI, sehingga kekuasaan ini sangat rawan digunakan melalui lembaga negara.

"Tahun 2009, ada tuduhan dari PDIP dan Partai Gerindra bahwa Partai Demokrat gunakan operasi inteligen dengan menambah suara-suara siluman yang tidak pernah diusut oleh KPU dan Bawaslu," imbuh Poengky.

Pada Pemilu 2014 ini pun, pelanggaran itu masih kemungkinan terjadi. Menurut Poengky hal karena posisi para mantan jenderal itu masih menjabat sebagai ketua umum partai dan mencalonkan diri sebagai presiden. Sehingga bukan hal yang mustahil bila operasi inteligen dan penggunaan aparat untuk kepentingan partai mereka.

Sementara itu, salah satu inisiator pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) pengawasan Pemilu 2014 Muradi mengatakan keterlibatan masyarakat sipil dalam mengawasi jalannya Pemilu sangat penting. Untuk itulah ia dan sejumlah LSM di Indonesia membentuk Pokja untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu.

"Pokja ini dibuat agar ada pengawasan dan keterlibatan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan Pemilu. Keterlibatan ini penting untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil, serta tidak ada kecurangan yang dilakukan oleh aparat keamanan," kata Muradi kepada Gresnews.com, Kamis (13/2).

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjajaran Bandung itu menambahkan ada lima tujuan dari dibentuknya Pokja pengawasan Pemilu ini. Pertama yaitu memastikan Pemilu berjalan secara netral, dan tidak ada keterlibatan dari pihak manapun. Kedua, memastikan masyarakat sipil terlibat secara kontekstual dalam Pemilu.
Ketiga, mekanisme penyelenggaran Pemilu yang menurun kualitasnya saat ini, baik dari segi sumber daya manusia maupun program juga menjadi suatu keresahan dibentuknya Pokja. Keempat, luasnya wilayah penyelenggaraan Pemilu, terutama di daerah-daerah terpencil yang jauh dari pengawasan. Kelima, menjaga jalannya demokrasi Pemilu secara tuntas.

Pokja ini dibentuk dengan sejumlah LSM di Indonesia, baik nasional maupun lokal di daerah. Hingga saat ini sudah terbentuk Pokja di sembilan provinsi di Indonesia. Muradi katakan jumlah sukarelawan dalam Pokja akan terus meningkat. Ditargetkan setidaknya 3/4 anggota Pokja dapat terbentuk dari keseluruhan total provinsi di Indonesia. Pokja ini didirikan hingga penyelenggaraan Pemilu 2014 berakhir, yaitu tanggal 20 Oktober 2014, atau hingga saat masa pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra Martin Hutabarat mengatakan wibawa Kepolisian Republik Indonesia memang selalu dipertaruhkan dalam tugas-tugas pengawalan agenda negara, seperti Pemilu. Menurutnya, independensi lembaga menjadi taruhan manakala ada pasangan diantara peserta Pemilu yang merupakan pihak incumbent.

"Tak ada jaminan bahwa aparat hukum kita benar-benar netral. Kita memerlukan jaminan yang tulus dari penegak hukum kita. Jangan sampai penegak hukumnya tidak netral seperti yang lalu," kata Martin Hutabarat kepada Gresnews.com di Jakarta, Selasa (11/2).

Martin menambahkan dalam penyelenggaraan Pemilu kali ini, Polri dibawah pimpinan Sutarman diminta harus benar-benar menjamin kenetralan aparat penegak hukum itu. Sebab dalam Pemilu kali ini tidak ada lagi pihak incumbent. Bila ada pihak incumbent diantara peserta Pemilu, menurut Martin Hutabarat menjadi celah bagi lembaga negara untuk memihak pada pihak incumbent. Sehingga keberpihakan sebuah lembaga, terutama aparat hukum dan penyelenggara Pemilu juga menjadi taruhan.

Sebelumnya, dalam sidang Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu, disetujui bahwa anggaran pengamanan Pemilu untuk Kepolisian Republik Indonesia sebesar Rp 1,6 triliun. Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Sutarman mengatakan dana sebesar itu akan digunakan untuk mengantisipasi pengamanan pemilu sejak tahap awal hingga pilpres putaran kedua hingga pelantikan kelak. Namun bila tidak terjadi putaran kedua, Kapolri katakan dananya akan dikembalikan ke negara.

BACA JUGA: