JAKARTA,GRESNEWS.COM- Meski pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya menjanjikan tim kabinetnya telah menyiapkan ruang manuver bagi pemerintahan yang baru dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015. Namun ruang fiskal yang tersedia masih membuat pemerintah  baru sulit bermanuver, sementara anggaran yang tersisa untuk belanja yang bersifat non-mandatory (fleksibel) juga terbatas.

Menurut pengamat ekonomi Hendri Saparini jika dilihat dari postur anggaran dalam APBN 2015, porsi belanja terikat (mandatory spending) sangat besar sehingga mengurangi porsi belanja tidak terikat (discreationary spending). Disatu sisi, kondisi ini akan membatasi ruang gerak pemerintah untuk melakukan ekspansi belanja yang bersifat produktif. "Misalnya, ekspansi untuk belanja modal akan menjadi semakin terbatas," kata Hendri.

Hendri menuturkan dalam kurun 2009-2013 alokasi belanja modal rata-rata hanya sebesar 11 persen dari total belanja negara, bahkan dalam RAPBN-P 2014 nilainya rendah lagi dibandingkan realisasi RAPBN-P 2013 yaitu Rp172,4 triliun menjadi hanya Rp151,3 triliun. Padahal dalam kondisi ekonomi domestik yang mengalami perlambatan akhir-akhir ini, dana stimulus melalui peningkatan belanja modal semestinya ditingkatkan.

Dia menambahkan rendahnya alokasi belanja modal tersebut selama ini diperparah dengan rendahnya penyerapan anggaran. Misalnya, pada tahun 2013 realisasi belanja modal hanya Rp172,4 triliun dari total anggaran sebesar Rp196 triliun hanya 89,5 persen.

"Terlepas kecilnya porsi discretionary spending tersebut, masih ada beberapa hal yang dapat dioptimalkan oleh pemerintah mendatang dari RAPBN 2015," kata Hendri.

Sementara itu, Tim Ekonomi Jokowi-JK Arief Budimanta mengungkapkan ada dua hal yang akan diubah oleh pemerintahan Jokowi JK dalam RAPBN 2015. Pertama, terkait dengan asumsi makro ekonomi Indonesia dalam satu tahun mendatang.

Menurut Arief pemerintahan Jokowi-JK akan berjuang untuk meningkatkan target pertumbuhan ekonomi di angka 5,8 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan target SBY yaitu di angka 5,6 persen. Arief mengaku optimis dicapai yaitu dengan melakukan penurunan impor terutama jenis bahan bakar minyak untuk mengurangi defisit neraca transaksi jasa yang tiap tahunnya mengalami defisit.

Kedua, terkait asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Menurut Arief nilai tukar pemerintah saat ini berada pada Rp11.900 per dolar karena dipengaruhi oleh inflasi, importasi dan pengaruh subsidi. Arief mengungkapkan pemerintahan Jokowi-JK akan berupaya agar rupiah menjadi lebih rendah di angka Rp11.500-Rp11.600 per dollar.

Dia menilai dengan penetapan nilai tukar rupiah di angka Rp11.600, dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi pada 5,8 persen maka diyakini dapat menghemat APBN negara secara signifikan. "Mudah-mudahan nanti harapan itu dapat terpenuhi di akhir tahun 2015," kata Arief.

BACA JUGA: