JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sikap kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang menolak penetapan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan penetapan capres-cawapres terpilih dinilai sebagai langkah tepat. Langkah itu dinilai sejalan dengan rencana mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Alasannya, ketika Keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/Tahun 2014 yang menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019 itu diterima Prabowo-Hatta, maka akan bertolak belakang dengan rencana mengajukan gugatan ke MK.
 
“Akan menjadi tidak konsisten dan di cap aneh ketika tim Prabowo-Hatta menerima hasil rekapitulasi, tetapi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Sangat tepat ketika Prabowo mengambil sikap menolak hasil Pileg,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Solidaritas Indonesia M. Taufik Budiman kepada Gresnews.com, Kamis (24/7).

Karena itu, kata Taufik, siapa pun tidak etis menjustifikasi keputusan penolakan itu sebagai hal yang buruk. Sebaliknya harus dihormati karena langkah penolakan itu merupakan hak politik capres-cawapres pasangan nomor urut 1 untuk memperjuangkan hak yang dinilai dilanggar atau dicurangi selama tahapan Pilpres.

"Tahapan pemilu belum selesai, begitu juga tahapan sengketa pemilihan presiden dan wakil presiden 2014 masih bergulir. Segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam proses persidangan di MK. Selayaknya kita hormati keputusan tersebut, kita berikan kesempatan kepada tim advokat Prabowo-Hatta untuk menyiapkan bukti dan saksi yang bisa menyakinkan MK mengabulkan permohonan mereka,” ujar Taufik.

Taufik berpendapat, penolakan yang dilatarbelakangi dugaan terjadinya kecurangan dan pelanggaran itu sama dengan kondisi ketidakpercayaan pada hasil Pemilu Legislatif (Pileg) yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) 9 Mei 2014 lalu. Buktinya, tak kurang 900 perkara masuk ke Mahkamah Konstitusi dan sedikitnya 697 perkara disidangkan karena dianggap layak dengan bukti yang cukup.
 
"Perkara perselisihan hasil Pileg di MK tersebut secara tegas menyatakan bahwa data-data hasil Pileg yang ditetapkan KPU ditenggarai banyak berisikan data palsu. Terbukti kemudian MK mengabulkan sebagian dari permohonan yg diajukan parpol peserta Pemilu 2014," jelasnya.
 
Oleh Majelis Hakim MK, Putusan KPU No. 411 tahun 2014 yang berisi Penetapan Hasil suara Parpol dalam Pemilu Legislatif 2014 yang kemudian diajukan dasar untuk mengusung pasangan Capres dinyatakan dibatalkan (sebagian).
 
"Artinya MK telah memutuskan bahwa sebagian data Hasil Pileg 2014 yang ditetapkan oleh KPU adalah merupakan data palsu atau hasil kejahatan Pemilu," tegasnya.

Konsekuensi hukumnya, kata Taufik, maka SK KPU No. 411 tahun 2014 tersebut haruslah diganti atau diubah dengan SK KPU yang baru. "Sebagai turunannya maka proses pencalonan pasangan capres yang menggunakan SK KPU No. 411 tahun 2014 juga menjadi cacat yuridis. Ini buah dari keterburu-buruan KPU dalam menetapkan hasil pemilu," jelas Taufik.

Kondisi dalam Pileg tersebut, kata dia, bisa terjadi dalam Pilpres.  
 
Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2014. Hasil resmi menetapkan pasangan Jokowi-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dengan perolehan suara 70.997.833 suara (53,15%) dari total suara sah nasional.
 
Namun, tim Prabowo-Hatta menolak rekapitulasi pelaksanaan Pilpres 2014 melalui lima pernyataan sikapnya. Alasannya, tim Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menemukan banyak dugaan kecurangan dan pelanggaran Pilpres. Dengan alasan ini, tim Prabow0-Hatta akan menyampaikan gugatan ke MK.

Namun sebelumnya,Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natasomal Umar justru mengatakan, penarikan diri Prabowo dari keseluruhan proses Pilpres 2014 tersebut justru menghilangkan legal standing Prabowo sebagai peserta pemilu untuk menggugat keputusan KPU ke Mahkamah Konstitusi.

"Ketika pengunduran diri itu dimaksudkan dari keseluruhan Pilpres 2014, maka Prabowo tidak lagi menjadi pasangan calon nomor urut 1 yang berlaga dalam Pilpres 2014," kata Erwin.


Sebab dalam syarat pemohon dan objek perkara yang tertuang dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden, disebutkan, para pemohon dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden adalah pasangan calon presiden-calon wakil presiden.


Sedangkan objek perkaranya adalah penetapan perolehan suara hasil pemilihan presiden dan wakil predsiden yang dilakukan secara nasional oleh termohon (KPU). "Kalau bukan lagi peserta Pilpres 2014, berarti dia secara otomatis sudah melepaskan haknya untuk menempuh jalur hukum," tegas Erwin.

 
BACA JUGA: