oleh : Taswa Witular, S.IP (kang Away)

Joko Widodo vs Prabowo Subianto. Ini bukan soal integritas dan kapasitas. Tapi, soal bagaimana merebut hati rakyat. Skenario penentuan calon Wakil Presiden oleh kubu Joko Widodo (Jokowi) dan kubu Prabowo bukan saja mengejutkan, namun kemudian merubah angin politik dari semula diprediksi penuh dengan dinamika isu agama menjadi ke arah lain.

Kubu Prabowo rupanya meyakini segmen pemilih muslim akan tetap berpihak padanya. Ini terlihat dengan keputusannya menjadikan Sandiaga Uno menjadi calon Wakilnya (Uno bukan background ulama). Beralasan memang, selain strategi politik tidak akan menghasilkan nilai memuaskan dalam event berikutnya (strategi pilkada DKI Jakarta harus beda dengan strategi pilpres), pun ada segmen yang sangat besar (sekitar 40% pemilih) yang harus menjadi "fokus penanganan", yakni kalangan milenial.

Sisa waktu menjelang pilpres tidak lebih dari 4 bulan. Meski masih unggul dibanding lawannya, elektabilitas Joko Widodo sebagai petahana cenderung stagnan, bahkan trendnya menurun. ( Survei Indikator pada Februari 2018 menunjukkan elektabilitas Jokowi sebesar 61,8%. Pada Maret 2018, angkanya menurun menjadi 60,6%. Elektabilitas Jokowi kembali melorot pada Juli 2018 sebesar 59,9% dan turun lagi 2,9% pada survei berikutnya). Sebagai perbandingan, merujuk data agregat dari LSI dan SMRC, elektabilitas Jokowi pada September 2018 secara top of mind masih lebih baik dibanding Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di September 2008. Namun, kondisi SBY saat itu memiliki tren meningkat seiring mendekati pemilihan presiden pada Juli 2019. Selain itu, jika dibandingkan hasil pilpres 2009, pasangan SBY-Boediono sebagai petahana mampu unggul di atas 60%.

Penurunan elektabilitas ini bukanlah atas kreasi isu agama meskipun oleh-oleh pilkada DKI Jakarta tersebut masih tersisa. Pertama, Jokowi dikepung oleh isu Ekonomi. Harga kebutuhan naik, sulitnya cari kerja, dan lainnya. publik saat ini menilai pembangun infrakstruktur pemerintahan Jokowi tidak berpengaruh terhadap kebutuhan ekonomi yang memadai. Menghadapi isu ini, kubu Jokowi justru lebih memperbanyak wacana program ke depan, diantaranya masih dengan slogan "kerja,kerja,kerja". Idealnya, petahana tidak harus kebanyakan meracik hal tersebut karena akan mengundang memori pemilih pada janji sebelumnya yang belum terealisasi. Jokowi sendiri sempat hanyut pada genderang yang dimainkan lawan, ini tercermin dari munculnya istilah "sontoloyo" atau "politik genderuwo".

Beberapa bulan ke belakang, keponakan saya mendapat tugas internship dari kampusnya (ITB) ke Korea. Saya minta keponakan untuk bertanya kepada sahabatnya di sana tentang bagaimana pandangannya tentang Indonesia. Sebuah kalimat yang tidak menggembirakan, "Indonesia’s infrastruktur is a mess". Orang luar berpikir kritis dengan data, fakta dan perbandingan. Sebagai petahana, Jokowi sebenarnya bisa membuat pencitraan lebih baik untuk dapat menetralisir isu yang dipakai pihak lawan. Kubu Jokowi bisa menyampaikan bahwa kondisi yang terjadi terkait ekonomi ini karena peralihan subsidi untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur. Sebelumnya, subsidi menjejali sektor ini. Namun tentu saja bukan hal yang baik untuk jangka panjang. Selama ini, kubu Jokowi justru tidak mau mengiyakan kenyataan ekonomi dan sibuk membuat argumen yang justru mengundang serangan lainnya. Ini juga sebenarnya bisa digoreng oleh pihak Jokowi bahwa Jokowi adalah pemimpin yang berani beresiko, berani mengambil kebijakan yang tidak populis.

Kedua, tidak terlihatnya pembagian peran untuk menarik suara. Figur Ma`ruf belum difungsikan maksimal dalam mendatangkan elektoral lainnya. Sedianya Ma`ruf diharapkan bisa meredam gaung 212, namun ternyata fatwa Ma`ruf terkait reuni justru dijawab dengan jumlah massa yang jauh lebih besar dari aksi-aksi sebelumnya. Dan dalam reuni itu yang bergema adalah shalawat khas kaum Nahdliyyin. Sebuah tanda yang membawa makna. Sebaliknya dengan Sandiaga Uno (cawapres nomor urut 2), selain menyasar pemilih millenial, Uno beserta program dan inovasi ekonominya tampak menggairahkan dimata kaum usahawan, berwarna indah dimata emak-emak, dianggap menawan dalam kaca mata anak muda.

Ketiga, faktor SBY. mantan menkopolkam diera Megawati ini dikenal dengan permainan caturnya. Terbukti 2 kali menang banyak saat pilpres. Rupanya, resistensi pimpinan PDIP tak memberi ruang yang nyaman buat SBY dan Demokrat untuk berada di kubu Jokowi-Ma’ruf.

Isu ekonomi menjadi penentu dalam pergeseran elektabilitas para capres 2019. Jika trend persepsi ekonomi mengarah pada kategori buruk, ini menjadi kesempatan emas bagi oposisi untuk meraih suara lebih banyak. Kemampuan self branding Jokowi yang kini terbius oleh orasi - orasi Prabowo, bisa kembali diasah. Jika ada hasil atau produk kerja yang spektakuler dan luar biasa, Jokowi pun tidak akan kesulitan menghadang pergerakan cawapres lawan (Sandiaga Uno) yang kerap melakukan dialog rasional terkait ekonomi.

Penulis adalah pemerhati sosial politik, dikenal sebagai konsultan politik nasional

BACA JUGA: