JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Komite Penyelamat Lambang Negara (KPLN) yang melaporkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait penyalahgunaan lambang negara oleh pasangan capres dinilai salah alamat. Sebab KPU dan Bawaslu tidak memiliki otoritas mengijinkan atau tidak mengijinkan penggunaan lambang garuda berwarna merah seperti yang dilakukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo-Hatta.

Menurut Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang, Muhammad Ali Syafaat, mestinya yang dilaporkan adalah yang menyalahgunakan dan laporan itu disampaikan ke kepolisaan bukan ke DKPP. Sebab,  penyalahgunaan penggunaan lambang Negara bisa dikategorikan tindak pidana. “Lambang Negara memang tidak boleh digunakan sembarangan,” kata Syafaat kepada Gresnews.com, Kamis (3/7). Hal ini, lanjutnya, diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Di dalamnya ada larangan bagi partai politik, perseorangan, perkumpulan atau organisasi menggunakan lambang yang menyerupai lambang negara. Sedangkan pengertian lambang negara diatur dalam  Pasal 1 Ayat (3) adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam undang-undang tersebut juga tidak ada pelarangan dalam mengenakan lambang negara, termasuk Garuda Pancasila bagi masyarakat. Namun, lambang garuda yang dikenakan harus benar-benar memenuhi kriteria yang diatur undang-undang.

"Dalam kasus ini lebih tepat Pasal 57 huruf C," jelas Syafaat. Pasal tersebut menegaskan, Setiap orang dilarang membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara.

Dalam Pasal 46 hingga Pasal 50 dijelaskan bentuk Garuda Pancasila. Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke se
belah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.

Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan. Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45.

Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa. Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut: a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima; b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai.

Kemudian, dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai; d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.

Selanjutnya lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas: a. warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai; b. warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai; c. warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda; d. warna hitam di tengah tengah perisai yang berbentuk jantung; dan e. warna alam untuk seluruh gambar lambang.

Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan
dari undang-undang tersebut. Sehingga siapapun yang membuat lambang yang sama atau menyerupai Garuda Pancasila maka dianggap telah melanggar Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. "Larangan itu ada ancaman pidananya," tegas Syafaat.

Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 57 yang berisi: "Setiap orang dilarang: a. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara; b. menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran; c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan d. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
 
Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 
Sedangkan dalam Pasal 69 disebutkan: "Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
a. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
b. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik,
perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; atau
c. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini".

Dalam Pilpres 2014 ini, lambang garuda yang menyerupai Garuda Pancasila digunakan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Penggunaan lambang ini menuai protes dari KPLN. Namun yang mereka laporkan bukan pasangan Prabowo-Hatta, tapi  justru Bawaslu dan KPU ke DKPP. Alasannya, kedua lembaga ini dinilai lalai karena memberikan izin penggunaan lambang garuda berwarna merah oleh Prabowo-Hatta. Mereka berharap DKPP bisa menegur kedua lembaga tersebut karena lambang negara burung garuda diubah menjadi garuda berwarna merah. "Warna lambang negara tidak boleh diubah dengan alasan apapun," ujar Sekretaris Jenderal KPLN Teuku Chandra Adiwana.

BACA JUGA: