JAKARTA, GRESNEWS.COM - Perilaku korup di masyarakat Indonesia sangat sulit diberantas. Mesti sudah ada payung hukum untuk memberantas perilaku negatif yang sangat merugikan masyarakat ini, toh korupsi masih saja berlangsung.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan salah satu kegagalan menangani korupsi karena aturan yang ada tak lengkap. Karena itu  pemerintah harus mencabut Undang-Undang  Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo UU 7 Tahun 2006 karena tidak sesuai dengan ketentuan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Menurut peneliti ICW Tama S Langkun, UNCAC telah menghasilkan beberapa prinsip penting yang harus dilaksanakan para pesertanya. Antara lain menerapkan peraturan nasional mendasar tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektifitas dan mengkoordinasilan kebijakan anti korupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Tama mengatakan sejumlah ketentuan UNCAC seperti "Illicit Enrichment", "trading in influence", "bribery in the private sector", dan "abuse of function" ternyata belum diatur oleh UU Tipikor Indonesia sehingga tak dapat menjerat pelaku korupsi yang semakin hari semakin canggih dan licin.

Tama menuturkan ada empat isu utama yang berkaitan dengan penguatan sanksi pidana atas tindak pidana korupsi. Pertama, unsur merugikan keuangan negara yang terdapat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, justru mengatasi upaya pemberantasan korupsi.

"Di dalam UNCAC sendiri unsur kerugian lebih luas dari sekadar kerugian keuangan negara karena mencakup pula kerugian non material seperti kerusakan alam," kata Tama di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (8/12).

Kedua, pemberian sanksi atas beberapa tindakan pidana korupsi perlu diatur kembali karena perbedaan sanksi penjara yang cukup jauh antara satu tindak pidana dengan tindak pidana lainnya. Tama mengungkapkan dengan adanya perbedaan sanski penjara tersebut telah timbul penyalahgunaan kewenangan, misalnya dapat dipidana penjara hingga seumur hidup sedangkan penjara untuk suap hanya 1 tahun hingga 4 tahun.

Ketiga, perlu ada pengaturan khusus tentang suap kepada pegawai publik asing, pegawai organisasi internasional, maupun swasta, memperdagangkan pengaruh (trading in influence) serta peningkatan harta kekayaan secara mencurigakan (illicit enrichment).

Keempat, pasal 12 B jo pasal 12 C UU Tipikor sebaikanya dihapus karena bertentangan dengan pasal 15 dan pasal 37 UNCAC. Menurut Tama, pasal 12 B adalah bentuk suap yang tidak jelas peruntukkannya (aggravated form of bribery) ditambah lagi adanya imunitas yang diberikan kepada pelapor melalui pasal 12 C UU Tipikor.

"Keempat hal tersebut menunjukkan UNCAC di Indonesia belum berjalan maksimal padahal sudah enam tahun lalu Indonesia sudah meratifikasi UNCAC dan mengadopsinya dalam UU No 7 Tahun 2006," kata Tama.

Sementara itu, Direktur Advokasi YLBHI Bahrain mengatakan implementasi UNCAC di Indonesia masih sangat rendah dan jauh dari harapn serta komitmen pemerintah dan DPR dalam upaya pemberantasan korupsi layak dipertanyakan.

Terbukti saat ini pemerintah dan DPR belum menyelesaian RUU Tipikor meskipun disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional sejak tahun 2009.

"DPR dan Pemerintah tidak menilai Revisi UU Tipikor menjadi penting. Dampaknya banyak koruptor kakap yang masih lolos dan Indonesia masih tergolong terkorup versi Transparency International," kata Bahrain.

Bahrain meminta kepada Pemerintah agar serius dalam mengimplementasikan norma UNCAC sebagai bentuk komitmen pemberantasan korupsi. Hal ini juga sebagai konsekuensi yuridis dengan diratifikasi konvensi PBB melawan korupsi.

Maka dari itu pemerintah dan DPR harus secepatnya melalukan pembahasan dan pengesahan Revisi UU Tipikor dan RUU Perampasan Aset.

"Kedua regulasi tersebut harus mampu mengadopsi beberapa norma penting UNCAC kedalam pengaturannya," kata Bahrain.

(Heronimus Ronito/GN-04)

BACA JUGA: