Jakarta - Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Asvi Warman Adam, dihadirkan sebagai ahli dalam sidang gugatan Tim Advokasi Gugat Ruhut Sitompul. Dalam keterangannya, Asvi menilai penyebutan istilah PKI (Partai Komunis Indonesia) hingga saat ini masih memiliki stigma negatif.

"Partai PKI itu memang tidak ada lagi. Tapi stigma buruk itu masih ada," kata Asvi, dalam keterangannya sebagai ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (1/8).

Asvi menyatakan, stigma negatif PKI itu terjadi karena pemerintahan orde lama dan orde baru menganggap PKI sebagai pemberontak. PKI, lanjut Asvi, dianggap melakukan pemberontakan pada tahun 1948 dan 1965.

Asvi mencontohkan dalam pemberontakan PKI tahun 1965, pemerintah mengistilahkannya dengan G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia). Istilah itu masih berlanjut hingga masuk ke dalam kurikulum pendidikan.

"Istilah G30S/PKI pada tahun 2004 sempat dihapuskan menjadi G30S. Namun pada tahun 2006 diubah lagi menjadi G30S/PKI. PKI ini dianggap sesuatu yang sudah tidak sehat bagi pemerintah," papar Asvi.

Asvi menyayangkan, alasan penggunaan istilah G30SPKI dalam kurikulum karena mengacu pada  Tap XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI. Menurutnya aturan itu hanya mengatur tentang pembubaran dan bukan mengatur penggunaan istilah.

"Aturan itu mengenai pembubaran ajaran marxisme, komunisme. Bukan pengaturan istilah G30S pakai garis miring PKI atau tidak," ungkap Asvi.

Akibat sejarah yang sudah sengaja dibentuk itu, Asvi mengatakan, bekas anggota PKI beserta keturunannya mendapatkan stigma buruk. Misalnya, tutur Asvi, seorang manajer Hotel ternama harus memborong buku tentang PKI agar orang lain tidak tahu dirinya merupakan anak PKI.

Selain itu, terdapat peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan Badan Perwakilan Desa yang masih menyaratkan pernyataan bebas dari keanggotaan/keturunan PKI. Bahkan, sambungnya, di DKI Jakarta, seorang yang pernah terlibat PKI tidak bisa mendapatkan KTP seumur hidup.

"Jadi ada semacam traumatik psikologis," kata Asvi.

Kendati demikian, kondisi saat ini tetap lebih baik dari era orde baru. Asvi menilai, terdapat beberapa keadaaan yang menghilangkan stigma dan diskriminasi tersebut. Misalnya, kata dia, Oki Asokawati merupakan keturunan PKI tetapi faktanya tetap bisa menjabat sebagai anggota DPR dari Partai PPP.

"Ada upaya dari pemerintah era Abdurrahman Wahid. Screening terhadap keterlibatan G30S/PKI dicabut. Bahkan sudah ada pula judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa eks PKI itu bisa ikut kebijakan umum. Itu sesuatu yang positif," kata dia.

Selain Asvi, pihak penggugat juga menghadirkan pakar filsafat politik UI Rocky Gerung. Namun, keterangan Rocky ditunda hingga pekan depan, Senin (8/8) karena belum membawa kelengkapan riwayat hidup (CV) sebagai ahli.

Seperti diketahui, gugatan Tim Advokasi ini berawal dari ucapan Ruhut Sitompul beberapa waktu lalu sebagai berikut "Yang tak setuju Soeharto jadi pahlawan cuma anak PKI".

Seolah tak terima dengan kalimat yang keluar dari anggota Komisi III DPR RI tersebut, maka lahirlah Tim Advokasi Gugat Ruhut (TeGUR) yang terdiri dari beberapa kelompok Kerja Petisi 50, Tewas Orde Baru, GRM dan Himpunan Mahasiswa Islam (MPO).

BACA JUGA: