JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tragedi kemanusiaan tahun 1965 paska pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) silam meninggalkan luka mendalam bagi para korban. Peristiwa pembantaian lebih dari satu juta orang ketika itu masih menghantui masyarakat Indonesia sampai sekarang. Ada jutaan keluarga yang juga mengalami trauma dari pembunuhan massal dan pemenjaraan yang membabi-buta, atau karena bersalah telah ikut serta bergabung atau menjadi simpatisan PKI.

Lemahnya peran negara dalam mengungkap pelaku tragedi kemanusiaan dan motif sesungguhnya dibalik peristiwa tersebut, mendorong sejumlah pihak yang terdiri dari korban dan kelompok masyarakat untuk terus memperjuangkan keadilan. Melalui aksinya, kelompok-kelompok yang terlibat telah berhasil melakukan pembentukan pengadilan rakyat 1965 atau International People’s Tribunal (IPT) on 1965 crimes against humanity in Indonesia.

Ketua Panitia Penyelenggara Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) Kejahatan Kemanusiaan 1965 di Indonesia, Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, melalui pengadilan rakyat di Den Haag, diharapkan mampu melahirkan suara dan dukungan agar kasus tragedi 1965 bisa dituntaskan melalui forum hukum internasional.

Berdasarkan kabar di lapangan, rencana aksi penuntutan itu semakin kuat berhembus paska terjadi pertemuan bersama tim Dewan Pertimbangan Presiden terkait waktu pelaksanaan sidang yang rencananya berlangsung di Den Haag, Belanda.

"IPT 1965 akan digelar di Den Haag, Belanda, 10 sampai 13 November," kata Advokat Senior Nursyahbani saat dihubungi gresnews.com, Kamis (5/11).

Ia menyebut, proses hukum yang ditempuh melalui pengadilan rakyat, tidak hanya merupakan keinginan besar korban kasus 1965, melainkan mendapat dukungan dari sejumlah kalangan termasuk diantaranya kaum akademisi dan para jurnalis.

Ketika dikonfirmasi terkait urgensi pembentukan pengadilan rakyat itu, Nursyahbani menyebut sebagai tindakan hukum menyikapi dugaan pembunuhan masal 1965 yang kental dengan aksi pembantaian, penyekapan dan penyiksaan jutaan korban.

Kemudian, belum adanya titik terang penyelesaian disebut sebagai salah satu dasar dilakukannya desakan supaya membangkitkan kesadaran negara mengusut keterlibatan oknum-oknum dalam peristiwa tersebut.

Lebih lanjut, Ia menerangkan, terkait latar belakang hingga terbentuknya aksi ini, tidak terlepas dari inisiatif para korban, pegiat hak asasi manusia, para jurnalis dan akademisi atau mahasiswa.

Dalam inisiasi atau gerakan menuntut kebenaran ini, Ia menjelaskan, seluruh pihak yang terlibat satu suara berharap agar aksi pembantaian kemanusiaan masa lalu segera dituntaskan dan diselesaikan. Selama ini, negara masih dianggap gagal melakukan langkah-langkah pemulihan hak korban, bahkan pelaku-pelaku dibalik tragedi 1965 pun sama sekali belum diungkap ke publik.

"Pemerintah harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaraan seperti yang diungkap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia," sambung Nursyahbani.
PANDANGAN PEMERINTAH SOAL TRAGEDI 1965 - Isu International People’s Tribunal (IPT) mulai ramai diperbincangkan karena waktu penyelenggaraan sidang pengadilan yang semakin dekat yaitu 10 sampai 13 November 2015. Isu yang berkaitan dengan konteks internasional itu menyita perhatian pemerintah khususnya Kementerian Luar Negeri.

Juru Bicara Arrmanatha Nasir menilai, pergerakan mengusut kasus 1965 yang kini tengah gencar dibangun merupakan sebuah manifestasi dari aksi kelompok masyarakat Indonesia yang ada di Belanda. Namun menurutnya, tidak ada tindakan khusus dari pemerintah untuk menyikapi itu.

"Bagi pemerintah, masalah tahun 1965 sudah ada upaya rekonsiliasinya. Pemerintah saat ini terus mengambil langkah rehabilitasi mengenai nama-nama orang yang terlibat atau terindikasi pada saat kejadian itu," kata pria yang akrab disapa Tata itu, Kamis (5/11).

Menanggapi pertanyaan terkait pertanggungjawaban negara terhadap korban 1965, Tata menegaskan, pemerintah berupaya melakukan langkah mediasi dan membantu memperbaiki hal-hal atau keadaan yang berkaitan dengan tragedi tersebut.

"Kami tidak mengambil sikap khusus terkait tindakan yang diperjuangkan korban atau masyarakat di pengadilan Den Haag, Belanda," lanjut Tata.

Namun pergerakan menyambut pengadilan rakyat di Belanda turut menghadirkan spekulasi yang menyudutkan pemerintah. Tata menyesalkan, adanya penyebaran berbagai rumor dalam rangkaian proses penuntutan kasus 1965 di Belanda.

Dalam pandangannya, penyebaran isu itu berindikasi mengganggu kinerja pemerintah khususnya Kementerian Luar Negeri. "Diharapkan, isi pemberitaan perlu diklarifikasi sumbernya terlebih dahulu karena belakangan ini banyak tersebar isu di sosial media yang tidak accountable," kata dia.

Ia menuturkan, ada berbagai penyebaran informasi yang keliru dan tidak objektif dalam pemberitaan. Salah satunya, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, dituding melakukan intimidasi terhadap anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda yang ingin membantu pelaksanaan acara tersebut.

Kemudian, ada pemberitaan yang menuding ada keterlibatan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopasus) mendatangi mahasiswa Indonesia di Belanda agar tidak terlibat dalam aksi tersebut. "Saya sudah cek dan dan dapat klarifikasi dari KBRI Den Haag, semua tidak benar," tegasnya.

Ia meluruskan, kejadian sebenarnya, sudah ada koordinasi dan komunikasi antara ketua PPI di Belanda bersama pihak atase pendidikan Indonesia setempat. Responnya dari atase pendidikan, kata Tata, sama sekali tidak ada indikasi pelarangan atau ancaman terhadap pelajar di Belanda.

"Indonesia negara demokrasi sehingga tidak bisa menghalangi atau melarang siapapun yang ingin terlibat," tuturnya.

Mengenai aksi yang akan digelar, Tata menyampaikan perlu ada sisi pertimbangannya dari pihak-pihak yang terlibat. Menurutnya, anggota atau komunitas akademisi di Belanda perlu memperhatikan benefit maupun konsekuensinya.

IMBAS TRAGEDI GERAKAN 30 SEPTEMBER 1965 - Tragedi kemanusiaan di Indonesia dalam rentang tahun 1965 –1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang komunis dan simpatisannya setelah terjadinya Gerakan 30 September. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai, ada pula pendapat yang menyebutkan hingga tiga juta lebih korban yang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut.

Tragedi ini berawal dari konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat yang muncul sebagai akibat kesenjangan perikehidupan antara prajurit dengan tentara perwira. Konflik laten dalam tubuh Angkatan Darat yang sudah dimulai sejak 17 tahun sebelumnya, kemudian meletup ketika muncul isu kudeta terhadap kekuasaan Presiden Soekarno yang dilancarkan Dewan Jenderal.

Perwia-perwira Angkatan Darat yang mendukung kebijakan Sosialisme Soekarno kemudian memutuskan untuk melakukan aksi polisionil dengan menghadapkan tujuh orang Jendral yang diduga mengetahui Dewan Jendral ini ke Soekarno. Target operasi adalah menghadapkan hidup-hidup ketujuh orang Jendral tersebut. Namun yang terjadi tiga dari tujuh orang Jendral yang dijemput paksa dalam keadaan anumerta.

Mayjend Soeharto yang saat itu memegang Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) bergerak dan menyebut PKI sebagai dalang dari peristiwa pagi hari Jumat tanggal 01 Oktober 1965 tersebut. Panglima Kostrad Mayjend Soeharto kemudian memimpin serangan balasan yang cepat dan efisien, menumpas para perencana aksi hanya dalam jangka waktu 24 jam.

Episode selanjutnya adalah kisah muram pembantaian yang dimulai pada Januari 1966 seiring dengan maraknya aksi demonstrasi mahasiswa yang digerakkan oleh Angkatan Darat melalui Jendral Syarif Thayeb. Peristiwa memilukan tersebut memuncak selama kuartal kedua tahun 1966 sebelum akhirnya mereda pada awal tahun 1967 menjelang pelantikan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

BACA JUGA: