JAKARTA, GRESNEWS.COM - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno akhirnya mengumumkan besaran upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta, Rabu (1/11). Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menetapkan UMP 2018 sebesar Rp 3.648.035.

UMP DKI dihitung berdasarkan inflasi nasional sebesar 3,72%, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,99%, dan kenaikan UMP yang ditetapkan Menteri Ketenagakerjaan sebesar 8,71%. UMP 2018 lebih tinggi sebesar Rp 292.285 dibandingkan UMP 2017 yang sebesar Rp 3.355.750. "Akan siap kerja per 1 Januari 2018. Warga bisa melaksanakan itu dalam waktu cepat," ujar Anies Baswedan di Balai Kota DKI Jakarta.

Anies menjelaskan, penetapan UMP itu sudah menimbang aspirasi dari pihak pengusaha maupun pekerja. "Tidak sederhana, negosiasi cukup panjang. Wakil Gubernur negosiasi dengan multi stakeholder. Ini memudahkan semua pihak, dari sisi buruh kenaikan, dan pengusaha tidak menanggung beban berat," lanjutnya.

Setelah Gubernur mengumumkan UMP, para Bupati/Wali Kota akan menyiapkan kenaikan upah minimum kota/kabupaten (UMK), dan diumumkan paling lambat 21 November 2017. Kebijakan upah tersebut mulai berlaku 1 Januari 2018.

Sandiaga menambahkan, penetapan UMP sudah memperhitungkan beberapa hal, mulai dari regulasi hingga kebutuhan pekerja. "Ada 15 acuan, ada undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri. Solusi bagi dunia usaha yang melemah, dan serikat pekerja soal biaya hidup tinggi, ongkos transportasi dan belanja," tutur Sandiaga.

Diakui Sandi, penetapan kenaikan UMP tersebut telah mempertimbangkan berbagai sisi dan aspek. Dirinya ingin menghadirkan program yang executable atau langsung bisa dijalankan.

"Dari serikat buruh bilang kenaikan UMP untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup tinggi di Jakarta. Oleh karena itu kita harapkan dengan diturunkannya biaya belanja dan transportasi mampu menjadi solusi yang berkecukupan," jelas Sandi.

Sandi menambahkan, dirinya ingin menghadirkan solusi yang adil dan mampu mengakomodir kebutuhan pengusaha dan pekerjanya. Kendati demikian nilai penetapan UMP Rp 3,6 juta memiliki artinya masing-masing.

"Angka punya masing-masing posisi sendiri punya kewernangan untuk mengakomodir semua. Membantu kaum pekerja kami berusaha menurunkan biaya hidup mereka, di dunia usaha bisa diterima mampu menggerakkan dunia usaha tanpa ancaman PHK," imbuhnya.

Anies Baswedan mengatakan, selain menetapkan UMP DKI tahun 2018 menjadi Rp3,6 juta. Pemprov juga akan menggelontorkan sejumlah subsidi. "Jadi kita memberikan subsidi yang akan dianggarkan di tahun 2018. Di satu sisi kita akan naikkan UMP, satu sisi kita akan turunkan biaya hidupnya dengan cara bantuan subsidi pangan kemudian yang kedua adalah pemotongan biaya transportasi dan yang ketiga adalah biaya pendidikan untuk anak-anaknya dipermudah," kata Anies.

"Kita memberikan subsidi pangan yang dianggarkan nilainya Rp685 miliar di tahun 2018. kemudian kita akan meningkatkan penerimaan kartu jakarta pintar (KJP) dan peningkatan besaran transfer sebesar Rp 560 miliar. lalu kita akan memberikan pelayanan transportasi angkutan jalan yang lebih berkeadilan bagi pekerja dengan angka gaji UMP," jelas Anies.

DUA USULAN - Sebelumnya, Dewan Pengupahan DKI Jakarta mengusulkan dua angka sebagai referensi penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta 2018. Usulan itu disampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dan Wakil Gubernur, Sandiaga Uno.

Angka yang diusulkan yakni Rp3.648.035 dan Rp3.917.398. Anggota Dewan Pengupahan DKI dari unsur pengusaha, Sarman Simanjorang, menjelaskan angka dari unsur pengusaha dan pemerintah tetap pada angka sesuai dengan PP 78 Tahun 2015, yaitu UMP tahun berjalan yang saat ini, Rp3.355.750, dikali 8,71 persen (angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional).

"Maka yang kami ajukan adalah Rp3.648.035," ujar Anggota Dewan Pengupahan DKI dari unsur pengusaha, Sarman Simanjorang, di Balai Kota DKI Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (30/10).

Sedangkan angka UMP yang diusulkan dari unsur serikat pekerja yakni Rp3.917.398. Sarman menjelaskan, angka itu berpedoman pada kebutuhan hidup layak (KHL) yang mereka survei, yakni Rp3.603.531.

"Dari serikat pekerja mereka meminta di angka Rp3.917.398. Perhitungannya adalah dari angka KHL tadi yang Rp 3,6 juta dikali dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional yaitu 8,73 persen," kata Sarman.

Sarman menjelaskan, mulanya angka KHL yang disurvei tiga unsur Dewan Pengupahan yakni unsur pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja di lima pasar di Jakarta sebesar Rp3.149.631. Namun, unsur serikat pekerja kembali melakukan survei sendiri, sehingga KHL naik menjadi Rp3.603.531.

"Tapi kami setujui hal itu. Daripada berlarut-larut karena kan harus tetap berdasar PP 78 itu harus disepakati oleh Gubenur. Maka hasil revisi KHL itu menjadi Rp3.603.531. Minggu lalu survei itu ada di angka Rp3.149.631. Ini antara pemerintah dewan pengupahan unsur pemerintah, pengusaha dan pekerja. Di lima pasar di lima wilayah. Pasar Jatinegara, Pasar Santa, Pasar Koja, Pasar Cengkareng, Pasar Cempaka Putih," kata Sarman.

Ada tiga komponen yang naik dalam KHL yang disurvei oleh serikat pekerja. Pertama, angka kontrakan rumah dari Rp850.000 menjadi Rp1 juta per bulan. Kedua, angka transportasi dari Rp450.000 menjadi Rp600.000 per bulan. Ketiga, biaya listrik yang semula Rp175.000 menjadi Rp300.000. "Tapi yang bikin survei mereka sendiri akan hasil ini. Kami dari unsur pengusaha tidak ikut survei," kata Sarman.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, mengatakan kenaikan UMP tersebut bakal menyusahkan pengusaha. Apalagi, kenaikan UMP itu terjadi di tengah situasi toko-toko ritel tutup. Contohnya, 7-Eleven, Matahari di Pasaraya dan Blok M, dan yang terakhir Lotus serta Debenhams.

"Tentunya menyusahkan, menambah beban yang mesti dibayar. Makanya saya selalu dalam berbagai kesempatan mengatakan kebijakan UMP harus melibatkan pengusaha. Kebijakan yang rumusan inflasi tambah produk domestik bruto itu," kata Roy.

Menurut dia, tak semua perusahaan punya kemampuan yang sama untuk memenuhi kenaikan UMP yang ditetapkan. Apalagi beberapa belankangan ini, banyak sekali toko ritel yang tutup.

"Jadi pengusaha mesti dilibatkan karena kelangsungan bisnis tergantung dari mampunya perusahaan membayar biaya tenaga kerja, macam-macam, sewa dan produktivitas, faktor biaya banyak," lanjutnya.

SUDAH ADIL - Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, kenaikan UMP sebesar 8,71% tersebut sudah adil. "Saya rasa adil itu. Tidak ada yang menolak," kata JK di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (31/10).

JK menuturkan, kenaikan UMP tersebut diukur sesuai dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1%. Selain itu kenaikan UMP juga telah disesuaikan dengan nilai inflasi. "Pertumbuhan ekonomi 5,1% dan inflasi 3,47%. Jadi pas lah 8,7%," tutur JK.

Sesuai dengan Pasal 44 Ayat (1) dan 2 PP Nomor 78 Tahun 2015, peningkatan nilai UMP tersebut berdasarkan formula penambahan dari pertumbuhan ekonomi nasional (PDB) dan data inflasi nasional. Data inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional (pertumbuhan produk domestik bruto) yang akan digunakan untuk menghitung upah minimum tahun 2018, bersumber dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) sesuai dengan Surat Kepala BPS RI Nomor B-188/BPS/1000/10/2017 tanggal 11 Oktober 2017.

Sebelumnya, dari pihak pengusaha mengusulkan UMP 2018 sebesar Rp3.355.750 berdasarkan kenaikan 8,71% yang dihitung dari angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dengan faktor pengali upah yang berlaku saat ini. Namun pihak buruh menginginkan angka UMP sebesar Rp3,9 juta.

Sekjen Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Sabda Pranawa menjelaskan, mereka memiliki hitungan sendiri mengenai kenaikan upah di tahun depan yang didasarkan pada upah riil sebagai faktor pengali. Sehingga UMP yang layak tahun depan ditetapkan Rp3,9 juta.

"Kita minta di angka Rp3,9 juta. Kalau pengusaha kan patokannya berdasarkan PP 78 tahun 2015, artinya hitungan inflasinya 8,7% dikalikan dengan UMP sekarang ketemu Rp3,6 juta. Kalau kita minta patokannya upah riil berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL)," kata Sabda.

"Kalau hitungan upah sekarang dikalikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi itu enggak riil. Makanya kita survei komponen paling naiknya tinggi sewa rumah, biaya transportasi naik, listrik naik. Kita survei di 5 wilayah masing-masing 1 pasar dan rumah-rumah kontrakan, dan kemudian survei juga di pasar modern," ungkap Sabda. (dtc)

BACA JUGA: