JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 berjalan lancar. Meski begitu beberapa permasalahan tetap mencuat mulai dari dugaan terjadinya kecurangan, politik uang, hingga masalah teknis yang membuat banyak warga kehilangan hak pilihnya. Untuk politik uang diakui Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia, paling banyak ada di DKI Jakarta.

"Temuan politik uang tertinggi saat pencoblosan terjadi di DKI Jakarta 8 temuan, Bangka Belitung 7 temuan, dan Banten 5," kata staf ahli Bawaslu RI, Rikson Nababan di kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (16/2).

Koordinator Divisi Pengawasan Bawaslu RI Daniel Zuchron mengatakan timnya masih terus melakukan investigasi terkait temuan pelanggaran di DKI Jakarta. Bawaslu RI juga masih mengumpulkan temuan pelanggaran yang terjadi di sejumlah daerah.

"Masih dalam penyelidikan. Agak sabar sedikt. Setahu saya Bawaslu DKI concern melakukan penelitian. Mereka bisa menyebutkan. Tapi masih kita kumpulkan di Bawaslu RI. Tapi problem di Bawaslu DKI itu problem rasa nasional," kata Daniel di lokasi yang sama.

Selain politik uang, Bawaslu menemukan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah di sejumlah daerah. Daerah yang mendapat permasalahan DPT terbanyak adalah Banten. "Temuan permasalahan DPT tertinggi terjadi di Banten 29 temuan, DKI Jakarta 26 temuan, dan Aceh 11 temuan," kata Rikson.

Mengatasi hal ini Bawaslu RI juga mengutus gugus kerjanya, dalam hal ini termasuk juga KPU untuk memperhatikan tiga konsekuensi atas pelanggaran yang muncul di lapangan. Konsekuensi tersebut adalah pindana. "Yang kedua administrasi, dan yang ketiga adalah kode etik yang ditangani oleh KPU," pungkas Daniel.

Terkait berbagai masalah ini, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyatakan, siap mengawal warga yang melaporkan berbagai masalah yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada di DKI Jakarta. Direktur Eksekutif KIPP Jakarta Rindang Adrai mengatakan, pilkada bukan hanya soal perolehan suara.

"Pilkada adalah pengakuan kedaulatan rakyat melalui pemenuhan hak untuk menggunakan hak pilih. Akan tetapi, persoalan pemilih masih tetap membuka luka lama yang tidak pernah sembuh setiap ajang pesta demokrasi," kata Rindang dalam pernyataan tertulis yang diterima gresnews.com, Kamis (16/2).

Dalam soal pemilih, KIPP menilai ada beberapa masalah. Pertama, setiap data pemilih tambahan di ajang pemilu tidak pernah mengurangi penambahan data pemilih tambahan. "Seharusnya, pemilih tambahan yang memilih dari jam 12.00-13.00 berkurang setiap penyelenggaraan pemilu. Namun, pemilih di waktu sisa masih menjadi bukti nyata ketidaksiapan data pemilih baik dari pihak Depdagri dan KPU," kata Rindang.

Kedua, pemilih yang harus menggunakan hak pilih dengan bantuan surat keterangan memiliki kesulitan tersendiri. Seperti, pemilih harus mengurus sendiri surat keterangan yang ruwet sekali. "Bayangkan saja, pemilih wajib berurusan dengan pihak RT/RT dan kelurahan yang belum tentu semua pihak bisa mendapatkan surat keterangan dengan murah dan mudah," ujarnya.

Di lain pihak, pemilih yang menggunakan surat keterangan wajar tidak menggunakan hak pilih. Alasan sederhana adalah mereka harus mengeluarkan biaya pribadi demi mendapatkan surat keterangan. Lalu, mereka wajib menunggu waktu sisa antara pukul 12.00-13.00.

"Belum lagi pemilih yang tidak mendapatkan surat keterangan, mereka belum tentu mendapatkan hak pilih dengan mudah. Sungguh-sungguh kejam politik di Indonesia, pemilih hanya sebagai mainan politik tanpa bisa mendapatkan hak asasi politik secara penuh," tegas Rindang.

Ketiga, penyelenggara ad hoc tidak siap untuk menjelaskan dan memberikan pengetahuan kepada pemilih. Ketidaknyamanan penyelenggara pemilu dirasakan dari sisi variasi pengaduan. Sebenarnya, setiap TPS memiliki pengawas TPS, dalam artian sederhana para pemilih baik terdaftar atau tidak seharusnya di TPS langsung bisa melapor ke pengawas TPS kemudian ditindaklanjuti demi mendapatkan dan menggunakan hak pilih.

Oleh karena itu, kata Rindang, KIPP mengimbau, pertama, khusus pemilihan putaran kedua untuk pilgub DKI Jakarta, KPU dan Pemerintah wajib menyelesaikan pemilih tambahan yang menggunakan surat keterangan. Bila, persoalan data pemilih paskaputaran pertama tidak diselesaikan, maka, bisa saja pemerintah dan KPU secara bersama-sama tidak melakukan klarifikasi dan pendataan ulang sehingga mengorbankan hak pilih sesuai Pasal 177 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Kedua, KIPP siap menerima pengaduan masyarakat. "Bagi masyarakat yang merasa disusahkan, disulitkan dan marah karena tidak bisa menggunakan hak pilih atau tetap menggunakan hak pilih dengan prosedur yang ribet. Silakan menghubungi KIPP agar kita mengingatkan para pihak termasuk penyelenggara pemilu mengevaluasi semua teknis kepemiluan," tegas Rindang.

Ketiga, kepada penyelenggara pemilu menunaikan semua tanggungjawab atas kerjasama program dengan pihak organisasi masyarakat sipil. Padahal dana Pilgub DKI termasuk fenomenal karena anggaran yang diajukan oleh KPU DKI disetujui hingga ke angka-angka dibilakang koma. "Penyelenggara harus ingat, dana pilgub adalah dana rakyat yang akan dipertanggungjawabkan," tegas Rindang.


PERBAIKAN DPT - Selain siap menerima pengaduan, KIPP juga memberikan beberapa evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta putaran pertama. Persoalan mendasar adalah terjadinya lonjakan pemilih yang tidak memiliki kertas suara (DPTB). Kemudian, adanya ketidakjelasan informasi apabila terjadi kekurangan surat suara di TPS. "Dalam hal ini, PPS tidak mengantisipasi membludaknya calon pemilih," kata Rindang.

Terkait Petugas KPPS, KIPP juga menemukan beberapa masalah. Misalnya ada petugas KPPS yang telah bertugas lebih dari dua periode. "Juga ada indikasi KPPS tidak netral," katanya.

Temuan-temuan lain KIPP adalah terkait ketidaksiapan KPU dengan data pemilih dan juga tidak beresnya pengurusan KTP elektronik (e-KTP). Terkait hal ini ada masalah yaitu, masih ada warga DKI Jakarta yang belum memiliki E-KTP. Atas beberapa temuan itu, KIPP merekomendasikan agar KPU segera memperbarui DPT dan melakukan pelatihan serius dan profesional buat petugas KPPS.

Pihak KPU sendiri menegaskan, akan mengatasi masalah DPT terkait banyaknya warga yang tidak bisa menggunakan hak pilih di putaran pertama. Caranya, melalui rekapitulasi data Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno menjelaskan daftar pemilih pada putaran kedua adalah formulasi dari DPT dengan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). "Jadi nanti DPT dan DPTb di putaran pertama ini akan menjadi DPT di putaran kedua, kita sudah punya datanya. Jadi nanti DPTb ini akan kita masukkan dalam DPT. Kalau sudah masuk dalam DPT kan artinya surat suara bagi mereka sudah terjamin disediakan," ujar Sumarno di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (16/2).

Pihak KPU DKI tidak akan mendata kembali data untuk DPT yang digunakan pada Pilgub DKI jika masuk putaran kedua. Hal yang akan dilakukan adalah memperbarui data agar seluruh warga DKI dapat menggunakan hak pilihnya.

"Ya nanti akan kita lakukan updating data. Kalau dia punya hak pilih dan memenuhi persyaratan, akan kita masukkan di DPT, tapi ya prosesnya sekarang sedang kita siapkan. Selesainya belum tahu kapan, ya nanti akan kita lihat, sambil juga kita harus menunggu hasil resmi KPU apakah Pilkada ini berlanjut ke putaran kedua atau tidak," jelasnya.

Namun, untuk putaran kedua nanti, KPU DKI masih akan mempertimbangkan apakah DPTb masih ada atau tidak. Sebab, jumlah DPTb pada putaran pertama sudah masuk ke data. "Ya sekarang masih kita pertimbangkan apakah masih akan ada DPTb atau tidak, karena kan DPTb putaran pertama kita masukkan dalam DPT putaran kedua, jadi nanti untuk apakah masih kita adakan ruang untuk DPTb lagi ini masih belum kita putuskan," tutupnya. (dtc)

BACA JUGA: