JAKARTA, GRESNEWS.COM — Strategi politisasi agama disebut masih memiliki tuah untuk menumbangkan pasangan petahana Basuki Tjahja Purnama-Djarot Saeful Hidayat di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Pernyataan itu dikeluarkan Direktur Eksekutif Lingkar Madari (LIMA) Ray Rangkuti saat dihubungi gresnews.com. "Saat ini, tidak ada cara lain untuk mengalahkan Ahok kecuali dengan politisasi agama," kata Ray, Minggu (18/3).

Lantaran itulah Ray menerangkan, dalam kaitannya dengan politisasi agama, baik kubu Ahok-Djarot maupun Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno, keduanya terus berupaya sebisa mungkin memanfaatkan simbol-simbol agama untuk mendongkrak perolehan suara mereka. "Di putaran kedua ini, ada upaya untuk memaksimalkan simbol-simbol agama. Misalnya, mendekati NU. Secara simbolik, hal itu penting dilakukan kedua pasangan calon karena amat menguntungkan," kata Ray.

Ray memaparkan, meski secara simbolik, kalaulah NU terlihat ramah dengan Ahok, keuntungan yang diraih Ahok adalah namanya bisa jadi bersih dari kasus penistaan agama. Demikian juga bagi Anies, simbol kedekatan dirinya dengan NU bisa menepis dugaan sejumlah kalangan yang menyebut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu pro-kelompok radikal atau representasi Islam garis keras.

Dengan kata lain, kedekatan simbolik dengan kelompok agama (dalam hal ini Islam) bisa membersihkan nama kedua pasangan calon Pilkada DKI dari pandangan negatif yang melekat pada keduanya, yang justru sama-sama timbul lantaran persoalan politisasi agama. "Kedekatan Ahok dengan NU dapat menekan para pemilih yang mendasarkan pilihannya berdasarkan agama. Mereka tidak perlu segan memilih Ahok dengan dalih tokoh NU sekalipun ramah sama dia (Ahok). Kira-kira begitu. Demikian juga Anies. Kalau dia terlihat dekat dengan NU, asumsi orang bahwa dia merupakan sosok yang sangat kanan, terbantahkan," papar Ray.

Namun demikian, Ray menegaskan, persoalan kedekatan simbolik itu memang belum tentu bersesuaian dengan sikap Nahdiyin di bilik suara. Menurut pria kelahiran Mandailing Natal tersebut, bahwa kemudian orang NU memilih Ahok atau Anies, itu soal lain. Yang jelas, simbol kedekatan dua cagub DKI itu dengan NU secara otomatis membawa keuntungan yang tak bisa dianggap sebelah mata.

Kalaupun kedekatan simbolik tersebut tidak bisa menarik jumlah pemilih dari kalangan NU, Ray menyebut hal itu bisa mempengaruhi sikap pemilih dari kalangan lain di luar NU. Alasan pendapat itu didasarkan pada pandangan umum bahwa NU merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia yang dianggap punya sikap paling moderat.

"Bagi pemilih yang kerap mendasarkan pilihannya berdasar alasan-alasan yang rasional, tidak semata-mata berdasar agama, rujukannya pasti NU. Sedang bagi mereka yang mendasarkan pilihannya atas agama, bisa jadi rujukannya adalah FPI dan ormas lain yang memiliki pandangan serupa. Makanya dalam hal ini posisi NU itu sangat strategis untuk menyasar para pemilih yang rasional," kata Ray.

Disinggung ke mana kecenderungan kedekatan simbolik NU dengan kedua pasangan calon gubernur DKI, secara pribadi, Ray menyebut kedekatan itu cenderung ke Ahok. "Secara eksplisit NU tidak menyatakan itu. Tapi dilihat dari simbol-simbol atau kode-kode yang dibuat NU, NU cenderung ke Ahok. Cirinya, NU tidak terlalu keukeuh menuntut Ahok untuk diproses secara hukum. Ormas ini juga relatif tidak terlalu aktif bicara soal kasus Al-Maidah 51," kata Ray.

Di sisi lain, saat spanduk jenazah pemilih Ahok (yang diklaim sebagai kalangan munafik) tidak layak disalatkan bertebaran, Banser NU justru punya inisiatif untuk membuat fatwa bahwa memilih pemimpin beda agama tidak haram. Demikian juga PP Anshor, kelompok underbouw NU ini malah menyediakan posko khusus untuk membantu mengurus jenazah pemilih Ahok andai mereka benar-benar tidak dishalatkan kaum muslim di sekitarnya.

"Terakhir, simbol kedekatan NU kepada pasangan Ahok-Djarot bisa dilihat dari pertemuan Djarot dengan Kyai Aqil Siradj," kata Ray.

Disinggung bahwa Anies pun menyambangi KH. Aqil Siradj beberapa waktu lalu, Ray menyebut pertemuan itu berlangsung unik. Pasalnya, salah satu hal yang disampaikan Ketua PBNU tersebut kepada Anies adalah pesan agar Anies-Sandi dapat mengembangkan Islam yang plural dan dialogis andai keduanya melenggang ke Balai Kota.

"Itu tantangan terhadap Anies. Kyai Aqil seolah mau mengatakan bahwa saat ini Anies sudah terlalu kanan. Makanya, jika dilihat dari simbol-simbol itu, NU lebih dekat ke Ahok," pungkasnya.

POLITIK ISLAM ADALAH HAL YANG LUMRAH — Sementara itu, ditanya kecenderungan suara pemilih NU di Pilkada DKI, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU Rumadi Ahmad menegaskan, secara institusional, NU tidak akan memihak pada salah satu calon pun di Pilkada DKI. Kalaupun kedua calon pasangan yang ada saat ini berupaya mendekati NU, Rumadi menganggap NU akan bersikap sewajarnya—menerima kedatangan mereka dengan terbuka, dengan komitmen tidak untuk meng-endorse salah satu di antara keduanya.

"Jika kedua calon datang, paling-paling Kyai Aqil akan bilang bahwa warga Nahdiyin silakan memilih calon yang paling banyak memberi maslahat dan manfaat. Bahwa siapa calonnya, ya tentukan sendiri," kata Rumadi kepada gresnews.com, Minggu (19/3).

Rumadi tidak menafikan bahwa mendekati NU bisa dianggap sebagai upaya politisasi simbolik. Namun demikian, Rumadi menegaskan bahwa NU sendiri sudah menarik diri dari pusaran politik praktis sejak Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 dan Muktamar NU ke-27 tahun 1984. "NU menarik diri dari wilayah politik praktis dengan alasan agar marwah NU terjaga dari unsur politisasi agama," katanya.

Hanya, bicara soal politisasi agama, Rumadi menerangkan bahwa hal demikian merupakan hal yang lumrah dalam dinamika politik Indonesia. Menurutnya, dilihat dari aspek sejarah, perjalanan politik umat Islam di Indonesia memang segendang-sepenarian dengan perjalanan politik bangsa ini. Lantaran itulah jika ada pihak-pihak yang memaksakan diri meminta umat Islam memisahkan perjuangan politik dengan nilai-nilai agama, hal itu dianggap Rumadi sebagai pandangan sekuler dan ahistoris.

"Umat Islam tidak pernah sama sekali lepas dari persoalan politik. Apalagi di Indonesia, Islam sudah sejak awal terlibat dalam urusan politik. Tapi, keterlibatan Islam zaman dulu bukan untuk perebutan kekuasaan atau politik praktis, melainkan untuk kepentingan kebangsaan dan kerakyatan," kata Rumaidi.

Rumadi menerangkan, politik kebangsaan dan politik kerakyatan itulah yang kini masih dipertahankan NU sejak berdiri pada 1926. Menurutnya, NU menjalankan politik kenegaraan demi menjaga nilai-nilai kebangsaan dan keutuhan Pancasila. Dan politik kerakyatan dilakukan demi mengawal setiap kebijakan agar berpihak pada rakyat.

"Itulah yang membedakan politik Islam dahulu dengan kecenderungan politik praktis saat ini. Dalam konteks hari ini, tujuan politik umat Islam sudah sangat bergeser. Mereka terlibat untuk perebutan kekuasaan," katanya.

Lantaran itulah Rumadi menyebut bahwa politisasi agama yang terjadi saat ini berlangsung kebablasan. Menurutnya, jika tidak segera dihentikan, harga yang dipertaruhkan sungguh demikian mahal.

"Pertarungan sudah sampai ke akar rumput. Masjid dan mushola sudah menjadi wilayah pertempuran. Jangan main-main soal ini. Jika hal semacam ini diikuti provinsi lain, bangsa ini bisa rusak akibat polarisasi agama," katanya.

PERGESERAN OTORITAS — Sementara itu, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirodjudin Abbas menilai, fenomena politisasi agama bisa berlangsung tanpa tedeng aling-aling lantaran saat ini tidak ada otoritas tertentu yang bisa menjadi panutan bersama segenap umat Islam. Menurutnya, saat ini, doktrin agama sudah demikian cair sehingga bisa disampaikan oleh siapa pun. Termasuk oleh berita hoax sekalipun.

"Itu yang membuat masyarakat bingung. Semua orang punya hak untuk bicara persoalan keagamaan, sementara tokoh-tokoh yang sebelumnya punya otoritas dan ucapannya didengar, suaranya menghilang. Suara mereka hanya bagian kecil dari kebisingan yang beredar di masyarakat. Itulah yang membuat masyarakat sulit mencari pegangan manakala menghadapi isu-isu politisasi agama seperti sekarang ini," kata Sirodj kepada gresnews.com, Minggu (18/3).

Lantaran itulah Sirodj menganggap wajar pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin beberapa waktu lalu soal perlunya semacam sertifikasi bagi para mubaligh atau khotib. Dengan kebijakan seperti itu, Sirodj menilai ada upaya yang dilakukan Lukman agar para mubaligh atau khatib yang kerap bertemu langsung dengan publik bisa dipertanggungjawabkan kapabilitas serta integreritasnya.

"Dalam arti, sebelum menjadi penceramah, para mubaligh itu harus diperiksa kadar keilmuannya agar jangan sampai pihak-pihak yang sumber bacaannya tidak jelas, berani memberi pendapat soal agama. Makanya saya kira ide menteri agama itu bagus," katanya.

Senada dengan Rumadi, Sirodj juga tidak menafikan bahwa proses politisasi agama di Indonesia adalah suatu hal yang bersifat kontinyu dan berkesinambungan. Sirodj pun menyebut peristiwa Piagam Jakarta bisa dijadikan ´tugu nol kilometer" untuk memulai pembicaraan mengenai hal itu. "Umat Islam mengusulkan Piagam Jakarta sebagai upaya melibatkan diri untuk menentukan sistem tata-negara bangsa ini," kata Sirodj.

Bahwa kemudian 7 kalimat dalam Piagam Jakarta itu dihilangkan—-dan dengan demikian dianggap sebagai hal yang mengecewakan bagi sebagian kalangan umat Islam—-perjuangan untuk turut menentukan cara-cara bernegara terus dilangsungkan dengan cara yang elegan oleh umat Islam, setidaknya hingga tahun 50-an.

"Saat itu, politisasi agama berlangsung lewat partai politik resmi yang ditunjukkan Masyumi dan NU. Mereka menyuarakan sikap politik umat Islam di parlemen," terang Sirodj.

Barulah pada tahun 70-an, sikap perjuangan resmi itu agak mulai kendur setelah Soeharto melebur partai-partai Islam menjadi satu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sirodj menilai, hal demikian dilakukan Soeharto agar parta-partai Islam sulit bergerak menyuarakan aspirasinya. Mereka dikontrol dan dikerdilkan, sehingga untuk bertarung di parlemen mereka kesulitan.

"Bagaimanapun, untuk mengubah ideologi negara harus ada persetujuan MPR. Dan itu sulit dilakukan oleh PPP. Bahkan pada 1983, NU memutuskan untuk keluar dari politik praktis dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal," katanya.

Sirodj juga menyebut bahwa pada tahun 2004 upaya memperjuangkan aspirasi umat Islam sudah dirintis kembali oleh Yusril Ihza Mahendra lewat Partai Bulan Bintang. Sayangnya, sambung Sirodj, partai muda tersebut malah kehilangan dukungan. Lantaran itulah praktik-praktik menegakkan hukum Islam yang berlangsung belakangan, dilakukan pihak-pihak non-partai, contohnya dilakukan oleh organisasi non-formal seperti FPI atau Hizbu Tahrir Indonesia (HTI).

"Mereka kerap bicara soal khilafah dan syariah. Dengan kata lain, mereka akan berupaya menghidupkan kembali spirit Piagam Jakarta," kata Sirodj.

Terlepas dari persoalan Piagam Jakarta—dan secara umum persoalan penegakkan hukum Islam di Indonesia—Sirodj menilai ketiadaan dua hal tersebut justru membuat proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini berjalan lebih maju dibanding proses demokrasi yang terjadi di negara lain. Alasan Sirodj, demokrasi di Indonesia berhasil membuat kompromi antara unsur agama sebagai rujukan moral dan jaminan normatif di satu sisi, dengan kebebasan individu di sisi lainnya.

"Kebebasan individu dan agama keduanya dijamin di dalam konstitusi. Dan saya kira itu kompromi yang baik sebelum naskah Piagam Jakarta dimasukkan sebagai mukadimah di dalam UUD 1945," katanya.

Hanya, senada dengan Rumadi, Sirodj tidak menampik bahwa demokrasi yang ada saat ini—dengan kecenderungan politisasi agama yang sudah sedemikian kebablasan—harus segera direm. "Penting dimunculkan argumen alternati agar masyarakat tidak didominasi dengan paham kegamaan tertentu," katanya.

Disinggung soal kecenderungan suara Nahdiyin, Sirodj menerangkan bahwa pada dasarnya warga Nahdiyin punya tradisi yang terbuka dan inklusif. Mereka cenderung lentur dalam menentukan pilihan di Pilkada DKI 2017, hingga kemungkinan suaranya sulit diprediksi.

"Mereka (Nahdiyin—red) bisa ke mana-mana. Tapi jika NU bisa memberikan garansi atau pandangan agama alternatif bahwa pilihan masyarakat (baik kepada Ahok maupun Anies—red) itu bebas dan sama-sama benar secara keagamaan, saya kira akan ada kesempatan lebar terjadinya migrasi pemilih," ujar Sirodj.

Bagaimanapun, kata dia, pemilih yang ketakutan dicap sebagai golongan munafik, tentu berpihak ke Anies. Tapi jika mereka tidak takut dengan label tersebut dan merasa lebih bebas serta lebih leluasa menentukan pilihan, bisa saja mereka malah memberi dukungan ke Ahok. "Meski demikian, saat ini belum kelihatan betul suara Nahdiyin itu akan dilimpahkan ke siapa," pungkasnya. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: